Halaman

Selasa, 27 Agustus 2013

Spiritualitas Dalam Bingkai Otonomi Diri Seorang Pendeta

-Menyeluruh, Fundamental, dan Penyerahan Diri-
Spiritual merupakan unsur penting dalam upaya mendidik seorang manusia. Dalam pengertian bahwa, spiritual merupakan unsur fundamental yang mesti dilakoni dalam kehidupan, baik mencakup pola berpikir maupun juga mencakup pola bertindak dari seorang manusia. Oleh karena itu, jika spiritual ditempatkan dalam bingkai “pendidikan” bagi seorang pendeta, maka spiritual mesti dipahami secara baik. Di sini kita akan melihat cara di mana spiritual menjalankan tugasnya untuk mendidik manusia, dalam hal ini manusia-manusia yang berkompeten dalam pengorganisasian sebuah gereja (pendeta).

Yang pertama, spritual sebagai bagian dari pembentukan otonomi diri. Spiritualitas bukanlah suatu benda yang jauh dari diri manusia. Tetapi spiritual merupakan suatu hal yang secara esensial mutlak berada dalam diri manusia, yang juga secara prinsip mesti diasah. Artinya, ketika kita berbicara mengenai spritualitas dalam upaya pembentukan otonomi diri, maka tentunya kita akan mengarah pada moralitas seorang manusia (pendeta). Moralitas merupakan prinsip universal yang di dalamnya telah terkandung nilai-nilai (sebuah peraturan dalam diri manusia) untuk menyelidiki baik dan buruknya, positif dan negatifnya dimensi kehidupan. Bahkan lebih daripada itu, moralitas mengandung prinsip nilai-nilai mengenai apa yang mesti dilakukan oleh manusia dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia.

Lebih lanjut, validitasnya dari prinsip tersebut tidak tergantung pada konfirmasi pengalaman. Sebaliknya, validitasnya dari prinsip tersebut sudah ditentukan oleh semua keputusan yang hendak memberi kita pengalaman tentang fenomena. Jadi singkatnya, moralitas merupakan sumber keputusan yang lahir dari dalam diri seorang manusia untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang positif dan mana yang negatif, dan keputusan itulah yang akan menentukan kita selaku manusia (pendeta) untuk berpijak mengarungi pengalaman kita terhadap fenomena-fenomena sosiologi, antropologi, biologi, bahkan teologi. Sebab, dasar dari moralitas seorang manusia salah satunya adalah perasaan dan perasaan itulah yang akan membuat diri kita menentukan segala hal dalam hidup ini, yang tentunya terkait dengan kepribadian.

Yang kedua, masih terkait otonomi diri. Pada tahap ini kita akan melihat hubungan spritual dengan rasio atau paradigma berpikir. Intelektual seorang manusia apalagi seorang pendeta tentunya mesti dipertajam. Persoalan fundamental spiritual dalam hubungannya dengan rasio boleh dikatakan adalah, bagaimana kita selaku manusia (pendeta) dapat rasional dalam menyikapi keberadaan Tuhan yang kita imani. Bukan hanya itu, kita juga diharuskan untuk se-rasional mungkin untuk menyikapi berbagai fenomena kehidupan yang dihadapi.

Yang ketiga, kita akan melihat inti dari spiritual, yakni, doa (beribadah). Pada tahap yang ketiga ini tentunya mencakup tahap pertama dan yang kedua. Artinya, totalitas moralitas dan rasio kita selaku pendeta mesti diimbagi dengan doa. Doa bukan menyangkut keindahan kata-kata yang dilantunkan pada Tuhan. Bukan juga mengenai perbuatan baik yang penting dan utama yang mesti dilakukan seusai berdoa. Tetapi, doa adalah pertobatan, doa adalah unsur paling utama dalam spiritualitas kita. Tanpa doa tidak ada spiritualitas. Doa yang dimaksudkan di sini bukanlah konsep doa yang mesti mulai dan mulai atau kalau perlu semalam suntuk kita mesti berdoa. Bukan itu maksudnya. Namun, doa seperti itu sebenarnya tidak salah, tetapi yang harus diwaspadai adalah bahwa, doa sebagai alat, metode, kita jadikan pistol untuk memaksa Tuhan memenuhi apa yang kita kehendaki. Doa yang sebenarnya adalah ekspresi penyerahan diri kepada Tuhan, sikap hati, sikap hidup. Dalam pengertian, jadikanlah seluruh hidup kita itu sebuah doa.

Dengan demikian ketiga hal ini mesti dijalankan secara terpadu bagi setiap manusia, khususnya bagi para pendeta. Untuk itu, dalam pencapaian sebuah moralitas yang baik, kita mesti juga mengimbaginya dengan cara berpikir kita. Dan untuk mencapai pola berpikir yang maksiamal, kita juga mesti mengimbaginya dengan daya moral yang menunjang. Terhadap kedua hal ini (moral dan rasio) mesti berjalan dalam doa. Jika moral dan rasio itu adalah sikap hidup, maka moral dan rasio merupakan doa. Doa, moral dan rasio bukan sebuah dikotomi yang mesti diperdebatkan dalam pengertian psikologi. Namun, doa, moral dan rasio adalah suatu kesatuan. Untuk mencapai sebuh doa yang benar, tentunya kita mesti memiliki moralitas yang memadai dalam menyikapi kehidupan. Sebalikinya, untuk menemukan dasar moralitas yang baik bagi seorang manusia, doa kepada Tuhan merupakan jalannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates