-Menyeluruh, Fundamental, dan Penyerahan Diri-
Spiritual merupakan unsur penting dalam
upaya mendidik seorang manusia. Dalam pengertian bahwa, spiritual
merupakan unsur fundamental yang mesti dilakoni dalam kehidupan, baik
mencakup pola berpikir maupun juga mencakup pola bertindak dari seorang
manusia. Oleh karena itu, jika spiritual ditempatkan dalam bingkai
“pendidikan” bagi seorang pendeta, maka spiritual mesti dipahami
secara baik. Di sini kita akan melihat cara di mana
spiritual menjalankan tugasnya untuk mendidik manusia, dalam hal ini
manusia-manusia yang berkompeten dalam pengorganisasian sebuah gereja (pendeta).
Yang pertama, spritual sebagai bagian
dari pembentukan otonomi diri. Spiritualitas bukanlah suatu benda yang
jauh dari diri manusia. Tetapi spiritual merupakan suatu hal yang secara
esensial mutlak berada dalam diri manusia, yang juga secara prinsip
mesti diasah. Artinya, ketika kita berbicara mengenai spritualitas dalam
upaya pembentukan otonomi diri, maka tentunya kita akan mengarah pada
moralitas seorang manusia (pendeta). Moralitas merupakan prinsip universal
yang di dalamnya telah terkandung nilai-nilai (sebuah peraturan dalam
diri manusia) untuk menyelidiki baik dan buruknya, positif dan
negatifnya dimensi kehidupan. Bahkan lebih daripada itu, moralitas
mengandung prinsip nilai-nilai mengenai apa yang mesti dilakukan oleh
manusia dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia.
Lebih lanjut, validitasnya dari prinsip
tersebut tidak tergantung pada konfirmasi pengalaman. Sebaliknya,
validitasnya dari prinsip tersebut sudah ditentukan oleh semua keputusan
yang hendak memberi kita pengalaman tentang fenomena. Jadi singkatnya,
moralitas merupakan sumber keputusan yang lahir dari dalam diri seorang
manusia untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang
positif dan mana yang negatif, dan keputusan itulah yang akan menentukan
kita selaku manusia (pendeta) untuk berpijak mengarungi pengalaman kita terhadap
fenomena-fenomena sosiologi, antropologi, biologi, bahkan teologi.
Sebab, dasar dari moralitas seorang manusia salah satunya adalah
perasaan dan perasaan itulah yang akan membuat diri kita menentukan
segala hal dalam hidup ini, yang tentunya terkait dengan kepribadian.
Yang kedua, masih terkait otonomi diri.
Pada tahap ini kita akan melihat hubungan spritual dengan rasio atau
paradigma berpikir. Intelektual seorang manusia apalagi seorang pendeta
tentunya mesti dipertajam. Persoalan fundamental spiritual dalam
hubungannya dengan rasio boleh dikatakan adalah, bagaimana kita selaku manusia (pendeta) dapat rasional dalam menyikapi keberadaan Tuhan yang kita imani.
Bukan hanya itu, kita juga diharuskan untuk se-rasional mungkin untuk
menyikapi berbagai fenomena kehidupan yang dihadapi.
Yang ketiga, kita akan melihat inti dari
spiritual, yakni, doa (beribadah). Pada tahap yang ketiga ini tentunya
mencakup tahap pertama dan yang kedua. Artinya, totalitas moralitas dan
rasio kita selaku pendeta mesti diimbagi dengan doa. Doa bukan menyangkut
keindahan kata-kata yang dilantunkan pada Tuhan. Bukan juga mengenai
perbuatan baik yang penting dan utama yang mesti dilakukan seusai
berdoa. Tetapi, doa adalah pertobatan, doa adalah unsur paling utama
dalam spiritualitas kita. Tanpa doa tidak ada spiritualitas. Doa yang
dimaksudkan di sini bukanlah konsep doa yang mesti mulai dan mulai atau
kalau perlu semalam suntuk kita mesti berdoa. Bukan itu maksudnya. Namun,
doa seperti itu sebenarnya tidak salah, tetapi yang harus diwaspadai
adalah bahwa, doa sebagai alat, metode, kita jadikan pistol untuk
memaksa Tuhan memenuhi apa yang kita kehendaki. Doa yang sebenarnya
adalah ekspresi penyerahan diri kepada Tuhan, sikap hati, sikap hidup.
Dalam pengertian, jadikanlah seluruh hidup kita itu sebuah doa.
Dengan demikian ketiga hal ini mesti
dijalankan secara terpadu bagi setiap manusia, khususnya bagi para pendeta. Untuk itu, dalam pencapaian sebuah moralitas yang baik, kita
mesti juga mengimbaginya dengan cara berpikir kita. Dan untuk mencapai
pola berpikir yang maksiamal, kita juga mesti mengimbaginya dengan daya
moral yang menunjang. Terhadap kedua hal ini (moral dan rasio) mesti
berjalan dalam doa. Jika moral dan rasio itu adalah sikap hidup, maka
moral dan rasio merupakan doa. Doa, moral dan rasio bukan sebuah
dikotomi yang mesti diperdebatkan dalam pengertian psikologi. Namun,
doa, moral dan rasio adalah suatu kesatuan. Untuk mencapai sebuh doa
yang benar, tentunya kita mesti memiliki moralitas yang memadai dalam
menyikapi kehidupan. Sebalikinya, untuk menemukan dasar moralitas yang
baik bagi seorang manusia, doa kepada Tuhan merupakan jalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar