Halaman

Jumat, 19 Juli 2013

Politik Agonistik Dalam Cakrawala Demokrasi Indonesia.


Agonistik secara esensial mesti menjadi gaya berpolitik yang penting di era demokrasi Indonesia. Chantal Mouffe (2005) secara gamblang dan tegas menyatakan, jika dipahami dengan benar semua politik mesti bersifat agonistik. Agonistik dapat dengan mudah diartikan sebagai serangkaian nilai pemberi teladan yang digunakan untuk menggantikan musuh (enemy) dengan lawan (adversary). Singkatnya, musuh diubah menjadi lawan. Di sini, musuh boleh dikonsepsikan sebagai entitas yang keberadaannya tidak memiliki legitimasi apapun, dan karenanya mesti dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Sebaliknya lawan dikonsepsikan sebagai entitas yang memiliki legitimasi, karenanya tidak mesti dimusnahkan namun dibiarkan eksis.
Sekelompok atau partai-partai politik di Indonesia selama ini cenderung menjadikan satu sama lain sebagai musuh, hanya karena yang satu bukan bagian dari yang lain. Yang satu memusuhi yang lain hanya karena yang satu membenci kelebihan-kelebihan yang lain. Jika satu kelompok dijadikan sebagai musuh oleh kelompok yang lain, maka legitimasi tidak ada pada kelompok itu, dan  karenanya, sebagai musuh yang merepresentasikan kebodohan, keterbelakangan, anti kebebasan, dll., perlu dihancurkan. Sebaliknya, jika musuh diubah menjadi lawan politik, maka ada arena untuk kontestasi. Namun sebagai lawan, segala bentuk hak-hak, gagasan, gerak-geriknya mesti dipandang penting dan memiliki legitimasi.
Meskipun musuh dan lawan merupakan alternatif yang dapat ditempu oleh gaya berpolitik, hanya kepekaan untuk menancapkan yang lain sebagai lawan-lah yang menjadi fitrah politik. Karena perjuangan untuk meraih emansipasi tenaga kerja, perjuangan demi menaklukkan kemiskinan, keterpurukan, diskriminasi, perjuangan demi peneguhan manusia sebagai subjek yang utuh dalam ruang demokrasi akan kehilangan makna jika satu kelompok politik masih menjadikan kelompok politik yang lain sebagai musuh.
Kegelisahan adalah cara kebebasan menampakan parasnya. Kegelisahan adalah meluapnya napsu yang terus merengek ingin lengkap–sementara tidak ada jaminan bahwa, begitu segala kelengkapan tercapai, kelengkapan itu akan bernilai. Hal serupa, dinamika berpolitik di Indonesia secara sadar terus merangsang kegelisahan untuk membentuk bara api antara partai politik yang satu terhadap partai politik yang lain. Lebih jauh, di dalam kubu pendukung (partai) pun ada terdapat banyak sekali gejolak untuk saling memberhangus kubu pendukung (partai) yang lain. Mereka saling antagonistik dan mencoba-coba menonjolkan eksistensi tentang kepantasan bertanggung jawab dalam menjawab segala kebutuhan mendasar setiap subjek penduduk dalam negara ini. Bukti empiris dapat dilihat dari sekian besarnya “black campaign” (pada pesta demokrasi 2014) yang hingga saat ini belum berakhir.
Satu kubu pendukung sering menciptakan anggapan fantastis yang bahannya adalah; ketakutan, keresahan, rasa tertekan, ancaman dalam ketidaktahuannya sendiri terhadap kubu pendukung yang lain. Satu kubu pendukung dianggap gerombolan seram yang pantas dimusnahkan oleh kubu pendukung yang lain. Untuk menjalankan aksi pemusnahan itu, “mereka” mencoba-coba mengompori rakyat agar terus percaya bahwa ada ketidakadilan dalam diri “kita.”
 Bertahun-tahun lamanya para politisi di Indonesia saling menjelek-jelekkan, dan rakyat sering dikambing-hitamkan. Yang dijadikan musuh cenderung disebut dalang segala bentuk kekerasan dan keresahan rakyat. Yang menjadi soal, ketika kepercayaan diberikan dari rakyat kepada para politisi-politisi untuk menduduki parlemen, politisi-politisi itu pun bertugas sebagai ancaman terbesar bagi rakyat. Korupsi, kolusi, nepotisme, mendominasi sumber daya, menutup akses untuk banyak orang memperoleh sumber daya, merampas hak dan pendapatan banyak orang, adalah cerminannya. Para politisi boleh dibilang sangat sibuk mengurusi karikatur bengkok, yakni jumlah mata uang yang bisa dirampok. Di sisi lain, media sering menjadi budaya menyerang antara satu dengan yang lain. Inilah persoalan pokok jika kita masih menjadikan yang lain sebagai musuh, dan hal ini merupakan hambatan utama untuk berkembang.
Bagaimana tindakan mengubah musuh menjadi lawan untuk Indonesia maju dalam dinamika politik? Francis Fukuyama dalam Cultute Matters (2000: 98), berpendapat, “trust acts like a lubricant that makes any group or organization run more  efficiently.

#bersambung...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates