Agonistik secara
esensial mesti menjadi gaya berpolitik yang penting di era demokrasi Indonesia.
Chantal Mouffe (2005) secara gamblang dan tegas menyatakan, jika dipahami
dengan benar semua politik mesti bersifat agonistik. Agonistik dapat dengan
mudah diartikan sebagai serangkaian nilai pemberi teladan yang digunakan untuk
menggantikan musuh (enemy) dengan
lawan (adversary). Singkatnya, musuh
diubah menjadi lawan. Di sini, musuh boleh dikonsepsikan sebagai entitas yang
keberadaannya tidak memiliki legitimasi apapun, dan karenanya mesti dimusnahkan
sampai ke akar-akarnya. Sebaliknya lawan dikonsepsikan sebagai entitas yang
memiliki legitimasi, karenanya tidak mesti dimusnahkan namun dibiarkan eksis.
Sekelompok atau
partai-partai politik di Indonesia selama ini cenderung menjadikan satu sama
lain sebagai musuh, hanya karena yang satu bukan bagian dari yang lain. Yang
satu memusuhi yang lain hanya karena yang satu membenci kelebihan-kelebihan
yang lain. Jika satu kelompok dijadikan sebagai musuh oleh kelompok yang lain,
maka legitimasi tidak ada pada kelompok itu, dan karenanya, sebagai musuh yang
merepresentasikan kebodohan, keterbelakangan, anti kebebasan, dll., perlu
dihancurkan. Sebaliknya, jika musuh diubah menjadi lawan
politik, maka ada arena untuk kontestasi. Namun sebagai lawan, segala bentuk
hak-hak, gagasan, gerak-geriknya mesti dipandang penting dan memiliki
legitimasi.
Meskipun musuh
dan lawan merupakan alternatif yang dapat ditempu oleh gaya berpolitik, hanya
kepekaan untuk menancapkan yang lain sebagai lawan-lah yang menjadi fitrah
politik. Karena perjuangan untuk meraih emansipasi tenaga kerja, perjuangan
demi menaklukkan kemiskinan, keterpurukan, diskriminasi, perjuangan demi peneguhan
manusia sebagai subjek yang utuh dalam ruang demokrasi akan kehilangan makna
jika satu kelompok politik masih menjadikan kelompok politik yang lain sebagai
musuh.
Kegelisahan
adalah cara kebebasan menampakan parasnya. Kegelisahan adalah meluapnya napsu
yang terus merengek ingin lengkap–sementara tidak ada jaminan bahwa, begitu
segala kelengkapan tercapai, kelengkapan itu akan bernilai. Hal serupa,
dinamika berpolitik di Indonesia secara sadar terus merangsang kegelisahan
untuk membentuk bara api antara partai politik yang satu terhadap partai
politik yang lain. Lebih jauh, di dalam kubu pendukung (partai) pun ada
terdapat banyak sekali gejolak untuk saling memberhangus kubu pendukung (partai)
yang lain. Mereka saling antagonistik dan mencoba-coba menonjolkan eksistensi
tentang kepantasan bertanggung jawab dalam menjawab segala kebutuhan mendasar setiap
subjek penduduk dalam negara ini. Bukti empiris dapat
dilihat dari sekian besarnya “black campaign”
(pada pesta demokrasi 2014) yang hingga saat ini belum berakhir.
Satu kubu
pendukung sering menciptakan anggapan fantastis yang bahannya adalah;
ketakutan, keresahan, rasa tertekan, ancaman dalam ketidaktahuannya sendiri
terhadap kubu pendukung yang lain. Satu kubu pendukung dianggap gerombolan
seram yang pantas dimusnahkan oleh kubu pendukung yang lain. Untuk menjalankan
aksi pemusnahan itu, “mereka” mencoba-coba mengompori rakyat agar terus percaya
bahwa ada ketidakadilan dalam diri “kita.”
Bertahun-tahun lamanya para politisi di
Indonesia saling menjelek-jelekkan, dan rakyat sering dikambing-hitamkan. Yang
dijadikan musuh cenderung disebut dalang segala bentuk kekerasan dan keresahan
rakyat. Yang menjadi soal, ketika kepercayaan diberikan dari rakyat kepada para
politisi-politisi untuk menduduki parlemen, politisi-politisi itu pun bertugas sebagai
ancaman terbesar bagi rakyat. Korupsi, kolusi, nepotisme, mendominasi sumber daya,
menutup akses untuk banyak orang memperoleh sumber daya, merampas hak dan
pendapatan banyak orang, adalah cerminannya. Para politisi boleh dibilang
sangat sibuk mengurusi karikatur bengkok, yakni jumlah mata uang yang bisa
dirampok. Di sisi lain, media sering menjadi budaya menyerang antara satu
dengan yang lain. Inilah persoalan pokok jika kita masih menjadikan yang lain
sebagai musuh, dan hal ini merupakan hambatan utama untuk berkembang.
Bagaimana
tindakan mengubah musuh menjadi lawan untuk Indonesia maju dalam dinamika
politik? Francis Fukuyama dalam Cultute
Matters (2000: 98), berpendapat, “trust
acts like a lubricant that makes any group or organization run more efficiently.”
#bersambung...
#bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar