Secara umum, pembangunan sumber
daya alam merupakan kunci utama dalam pertumbuhan ekonomi, dan hal ini terjadi
terutama di negara-negara berkembang di mana perkembangan industrinya tidak
begitu maju. Di negara-negara tersebut, sektor industri sumber daya alam ini
merupakan sumber utama pendapatan ekspor. Sektor ini memberi dorongan kuat bagi
pembangunan nasional, tersedianya infrastruktur dasar di daerah terpencil,
tersedianya lowongan kerja, dan pembelajaran keahlian dasar di bidang industri,
dan dalam banyak kasus, untuk menyediakan dana untuk membayar hutang luar
negeri, untuk menciptakan perimbangan neraca perdagangan, atau bahkan untuk
mempertebal kantong politikus yang korup.
Karena sektor idustri sumber daya alam ini sangat penting bagi stabilitas ekonomi dan pembangunan nasional, maka pemerintah memberi prioritas tinggi pada sektor tersebut. Untuk mempromosikan dan menarik investasi di bidang industi sumber daya alam ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi, seperti “deregulasi”, arus investasi asing yang bebas, dan beberapa jenis insentif, sepeti jangka waktu bebas pajak.
Sejalan dengan itu, ketika di negara-negara berkambang industri sumber daya alam memegang peranan penting terhadap perkembangan ekonomi, kebutuhan sumber daya alam di negara-negara maju justru makin besar. Di negara-negara maju, tersedianya produk sumber daya alam merupakan prasyarat untuk kepentingan stabilitas ekonomi mereka, dan untuk meningkatkan kekayaan dan standar hidup. Akhirnya, negara-negara berkembang memproduksi sebagian besar cadangan mineral tetapi hanya menggunakan sebagian kecilnya saja. Sebagian basar dari produk sumber daya alam digunakan oleh negara-negara maju. Sebagai konsekuensinya, permintaan terhadap persediaan sumber daya alam semakin bertamba pesat. Bertambahnya permintaan ini telah mendorong pencarian dan eksploitasi sumber daya alam di seluruh dunia.
Dengan adanya permintaan yang besar terhadap persediaan sumber daya alam, maka kawasan terpencil yang sulit dijangkau secara topografi, kini manjadi mudah dijangkau (dengan teknologi modern) oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak di bidang industri tersebut.
Umumnya, di kawasan-kawasan terpencil ini adalah wilayah-wilayah yang terutama dikuasai oleh masyarakat adat (indigenous peoples). Wilayah-wilayah ini mungkin awalnya dianggap sebagai aset yang paling tidak bernilai ekonomis, namun kini telah terbukti kaya akan sumber daya alam dan sangat penting dalam hal perlindungan lingkungan.
Di negara-negara tropis misalnya, kebanyakan masyarakat adat tinggal di kawasan-kawasan terpencil yang ditutupi hutan. Kawasan-kawasan ini, di samping kaya akan cadangan kayu, juga kaya akan keanekaragaman hayati dan sumber air. Di samping itu, ternyata juga kaya akan kadungan minyak bumi, gas, dan bahan mineral. Wilayah masyarakat adat ini secara fundamental telah menjadi sasaran utama proyek pembangunan yang dibuat pemerintah.
Bagi masyarakat adat, proyek pembangunan ini dilihat sebagai hal yang mengancam kelangsungan hidup mereka, mendepak mereka dari tanah dan sumber daya alamnya. Hal ini khususnya terjadi pada kegiatan-kegiatan pertambangan umum dan minyak bumi, industri kayu, proyek pembangkit tenaga listrik berskala besar, transmigrasi, dan bahkan proyek perkebunan. Dari persepsi masyarakat adat, mereka merasa dan menyadari bahwa mereka merupakan korban pembangunan, karena sebagian besar proyek pembangunan tersebut lebih ditujukan untuk kepentingan pemerintah, lembaga-lembaga internasional termasuk di dalamnya perusahaan-perusahaan multinasional, dan penduduk non-masyarakat adat. Satu hal yang perlu digarisbawahi, perusahaan multinasional tidak mempunyai komitmen untuk merekrut pekerja dari penduduk lokal (masyarakat adat), atau untuk mengadakan pelatihan untuk masyarakat adat sehingga memperoleh kemampuan untuk bekerja di proyek, bahkan lebih dari itu perusahaan multinasional tidak berkomitmen untuk memberikan konpensasi yang tinggi bagi masyarakat adat.
Dalam perkembangannya, masyarakat adat terpaksa meninggalkan tanah mereka, dan dipaksa untuk pindah dan menetap di daerah yang bukan pilihan mereka. Wilayah, tempat-tempat keramat, dan lingkungan mereka dirampok, dirampas. Mereka tercabut dari kebudayaannya. Kepentingan nasional selalu didalihkan oleh pemerintah pada saat ingin memajukan dan mengembangkan industri sumber daya alam, dan untuk mencapainya, pemerintah menyediakan subsidi langsung bagi perusahaan (multinasional) dalam bentuk bantuan militer dan kontrol atas penduduk (masyarakat adat). Dalam kamus perusahaan, diktator militer telah membuktikan “iklim investasi yang baik”. Berapa pun kesengsaraan dan korban kemanusiaan, korupsi dan tradisi penyuapan adalah fenomenanya.
Pada sudut lain, adanya tuntutan dan prioritas utama yang diberikan untuk kepentingan nasional, dibarengi dengan perundang-undangan yang lemah dan diskriminatif dalam cakupan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat terhadap tanah dan sumber daya alamnya, menyebabkan masyarakat adat menjadi pihak yang paling menerima dampak negatif dari proyek-proyek sumber daya alam tersebut.
Dalam banyak praktik, negara menyatakan bahwa tanah dan sumber daya alam masyarakat adat adalah tanah “publik”, dan berdasarkan “proklamsi” ini, negara menguasai tanah-tanah dan sumber daya alam, dan seolah-olah masyarakat adat tidak pernah ada di situ. Negara misalnya, memberikan konsesi penebangan hutan bagi perusahaan multinasional (transnasional corporation, TNC). Dalam hal skala dan durasi aturan-aturan dalam perundang-undangan (misalnya di Indonesia), terdapat ambivalensi atau dualisme hukum yang mempengaruhi hak-hak masyarakat adat; UUPA 1960 dan UUPK 1967. Secara fundamental, bila kita membaca kedua undang-undang pokok ini, tidaklah menguntungkan masyarakat adat, namun menguntungkan pihak luar (investor) untuk dapat memperoleh tanah dan sumber daya alam lainnya, karena ada kolusi dengan pejabat pemerintah. Mekanisme aturan-aturan seperti ini dilaksanakan karena tekanan atau pengaruh kekuatan politik dan ekonomi, atau bisa pula disebabkan karena kurangnya kapasitas institusional dan keahlian yang relevan pada pemerintah. Demikian dari hal ini, dapat dikatakan bahwa negara telah menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada perusahaan-perusahaan multinasional.
Maka, seberapa jauh negara atau pemerintah menggunakan prinsip kedaulatan (terhadap sumber daya alam) untuk mencapai manfaat yang sebaik-baiknya bagi kesejahteraan penduduknya? Ini sangat bergantung pada “kekuatan” negara. “Kekuatan di sini merujuk pada sistem ekonomi, sumber daya alam itu sendiri, dan sistem hukum lagi politik. Namun demikian, dalam negara-negara berkembang (Indonesia pada khususnya), relatif lemah dalam bidang ekonomi, lemah dalam bidang perundang-undangan dan pelaksanaannya, lebih dari itu kurang demokratis.
Negara berkembang selalu menghadapi defisit yang besar dalam keseimbangan pembayaran, atau dalam beban hutang. Negara-negara ini biasanya memajukan dan menerapkan kebijakan terbuka bagi investasi asing dalam bidang sumber daya alam. Hal itu paling tidak sebagai bagian dari usaha menarik investasi asing, dan karena tren ekonomi global dengan perdagangan bebasnya. Negara-negara seperti ini dapat selalu tergoda untuk menerima persyaratan-persyaratan yang tidak menguntungkan sebagai upaya untuk menarik perusahaan-perusahaan (multinasional) atau investasi asing.
Meskipun begitu, apa yang semestinya kita pahami dan ketahui tentang tanah atau wilayah dan sumber daya alam bagi kehidupan masyarakat adat? Anggapan tentang tanah atau wilayah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya sangatlah penting bagi kehidupan masyarakat adat. Secara prinsip, masyarakat adat menganggap tanah atau wilayah mereka sebagai sarana bagi keberlangsungan hidup maupun budaya mereka. Betapa pentingnya hal ini sampai bisa dikatakan bahwa tanah adalah alasan keberadaan sesuatu (Perancis: raison d’etre) bukan saja bagi kehidupan sosial, budaya, spiritual, ekonomi dan politik mereka, melainkan juga bagi eksistensi mereka. Oleh karena itu, dalam studinya mengenai masalah diskriminasi terhadap masyarakat adat, Jose Martinez Cobo (1986) mangatakan bahwa, “adalah penting untuk mengetahui dan memahami hubungan yang sangat khusus dan bersifat spiritual antara masyarakat adat dan tanah mereka, yang mendasar bagi eksistensi mereka dan untuk semua kepercayaan, kebiasaan, tradisi dan budaya mereka. Bagi orang-orang seperti ini, tanah bukan lagi sekedar barang yang dimiliki dan alat reproduksi. Keseluruhan hubungan antara kehidupan spiritual masyarakat adat dan tanah mereka, memiliki implikasi yang sangat dalam. Tanah mereka bukan sebuah komoditas yang dapat diperoleh, tetapi sebuah elemen atau unsur yang sangat penting yang dapat dinikmati dengan bebas.
Sejalan dengan itu, dalam kertas kerja pendahuluannya, Erica-Irene Daes (1997), seorang pelopor khusus untuk studi tentang “masyarakat adat dan hubungan mereka dengan tanah” menyimpulkan sejumlah unsur yang unik pada masyarakat adat dalam hubungan mereka dengan tanah, yaitu: ada hubungan yang erat antara masyarakat adat dengan tanah, wilayah dan sumber daya mereka; bahwa hubungan ini memiliki berbagai dimensi dan tanggungjawab sosial, budaya, spiritual, ekonomi dan politik; bahwa dimensi kolektif dari hubungan ini adalah signifikan, dan bahwa aspek antara-generasi dari hubungan semacam ini juga krusial bagi identitas masyarakat adat, kelangsungan hidup dan budayanya.
Namun demikian, sejarah menjadi saksi bagaimana perampasan dan pengambilan tanah telah menjadi bagian dari takdir dan perjuangan masyarakat adat. Dan dalam perjuangan ini, masyarakat adat telah dan terus menjadi pecundang. Hurst Hannum (1994), seorang pakar hukum internasional mengatakan; “sejarah dari masyarakat adat sebagian besar merupakan kronik atau catatan dari upaya-upaya mereka yang gagal dalam mempertahankan tanah mereka melawan penjajah, beserta pula pemerintah dan hukum-hukum yang termuat di dalam undang-undang. (penekanan oleh penulis)*
Karena sektor idustri sumber daya alam ini sangat penting bagi stabilitas ekonomi dan pembangunan nasional, maka pemerintah memberi prioritas tinggi pada sektor tersebut. Untuk mempromosikan dan menarik investasi di bidang industi sumber daya alam ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi, seperti “deregulasi”, arus investasi asing yang bebas, dan beberapa jenis insentif, sepeti jangka waktu bebas pajak.
Sejalan dengan itu, ketika di negara-negara berkambang industri sumber daya alam memegang peranan penting terhadap perkembangan ekonomi, kebutuhan sumber daya alam di negara-negara maju justru makin besar. Di negara-negara maju, tersedianya produk sumber daya alam merupakan prasyarat untuk kepentingan stabilitas ekonomi mereka, dan untuk meningkatkan kekayaan dan standar hidup. Akhirnya, negara-negara berkembang memproduksi sebagian besar cadangan mineral tetapi hanya menggunakan sebagian kecilnya saja. Sebagian basar dari produk sumber daya alam digunakan oleh negara-negara maju. Sebagai konsekuensinya, permintaan terhadap persediaan sumber daya alam semakin bertamba pesat. Bertambahnya permintaan ini telah mendorong pencarian dan eksploitasi sumber daya alam di seluruh dunia.
Dengan adanya permintaan yang besar terhadap persediaan sumber daya alam, maka kawasan terpencil yang sulit dijangkau secara topografi, kini manjadi mudah dijangkau (dengan teknologi modern) oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak di bidang industri tersebut.
Umumnya, di kawasan-kawasan terpencil ini adalah wilayah-wilayah yang terutama dikuasai oleh masyarakat adat (indigenous peoples). Wilayah-wilayah ini mungkin awalnya dianggap sebagai aset yang paling tidak bernilai ekonomis, namun kini telah terbukti kaya akan sumber daya alam dan sangat penting dalam hal perlindungan lingkungan.
Di negara-negara tropis misalnya, kebanyakan masyarakat adat tinggal di kawasan-kawasan terpencil yang ditutupi hutan. Kawasan-kawasan ini, di samping kaya akan cadangan kayu, juga kaya akan keanekaragaman hayati dan sumber air. Di samping itu, ternyata juga kaya akan kadungan minyak bumi, gas, dan bahan mineral. Wilayah masyarakat adat ini secara fundamental telah menjadi sasaran utama proyek pembangunan yang dibuat pemerintah.
Bagi masyarakat adat, proyek pembangunan ini dilihat sebagai hal yang mengancam kelangsungan hidup mereka, mendepak mereka dari tanah dan sumber daya alamnya. Hal ini khususnya terjadi pada kegiatan-kegiatan pertambangan umum dan minyak bumi, industri kayu, proyek pembangkit tenaga listrik berskala besar, transmigrasi, dan bahkan proyek perkebunan. Dari persepsi masyarakat adat, mereka merasa dan menyadari bahwa mereka merupakan korban pembangunan, karena sebagian besar proyek pembangunan tersebut lebih ditujukan untuk kepentingan pemerintah, lembaga-lembaga internasional termasuk di dalamnya perusahaan-perusahaan multinasional, dan penduduk non-masyarakat adat. Satu hal yang perlu digarisbawahi, perusahaan multinasional tidak mempunyai komitmen untuk merekrut pekerja dari penduduk lokal (masyarakat adat), atau untuk mengadakan pelatihan untuk masyarakat adat sehingga memperoleh kemampuan untuk bekerja di proyek, bahkan lebih dari itu perusahaan multinasional tidak berkomitmen untuk memberikan konpensasi yang tinggi bagi masyarakat adat.
Dalam perkembangannya, masyarakat adat terpaksa meninggalkan tanah mereka, dan dipaksa untuk pindah dan menetap di daerah yang bukan pilihan mereka. Wilayah, tempat-tempat keramat, dan lingkungan mereka dirampok, dirampas. Mereka tercabut dari kebudayaannya. Kepentingan nasional selalu didalihkan oleh pemerintah pada saat ingin memajukan dan mengembangkan industri sumber daya alam, dan untuk mencapainya, pemerintah menyediakan subsidi langsung bagi perusahaan (multinasional) dalam bentuk bantuan militer dan kontrol atas penduduk (masyarakat adat). Dalam kamus perusahaan, diktator militer telah membuktikan “iklim investasi yang baik”. Berapa pun kesengsaraan dan korban kemanusiaan, korupsi dan tradisi penyuapan adalah fenomenanya.
Pada sudut lain, adanya tuntutan dan prioritas utama yang diberikan untuk kepentingan nasional, dibarengi dengan perundang-undangan yang lemah dan diskriminatif dalam cakupan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat terhadap tanah dan sumber daya alamnya, menyebabkan masyarakat adat menjadi pihak yang paling menerima dampak negatif dari proyek-proyek sumber daya alam tersebut.
Dalam banyak praktik, negara menyatakan bahwa tanah dan sumber daya alam masyarakat adat adalah tanah “publik”, dan berdasarkan “proklamsi” ini, negara menguasai tanah-tanah dan sumber daya alam, dan seolah-olah masyarakat adat tidak pernah ada di situ. Negara misalnya, memberikan konsesi penebangan hutan bagi perusahaan multinasional (transnasional corporation, TNC). Dalam hal skala dan durasi aturan-aturan dalam perundang-undangan (misalnya di Indonesia), terdapat ambivalensi atau dualisme hukum yang mempengaruhi hak-hak masyarakat adat; UUPA 1960 dan UUPK 1967. Secara fundamental, bila kita membaca kedua undang-undang pokok ini, tidaklah menguntungkan masyarakat adat, namun menguntungkan pihak luar (investor) untuk dapat memperoleh tanah dan sumber daya alam lainnya, karena ada kolusi dengan pejabat pemerintah. Mekanisme aturan-aturan seperti ini dilaksanakan karena tekanan atau pengaruh kekuatan politik dan ekonomi, atau bisa pula disebabkan karena kurangnya kapasitas institusional dan keahlian yang relevan pada pemerintah. Demikian dari hal ini, dapat dikatakan bahwa negara telah menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada perusahaan-perusahaan multinasional.
Maka, seberapa jauh negara atau pemerintah menggunakan prinsip kedaulatan (terhadap sumber daya alam) untuk mencapai manfaat yang sebaik-baiknya bagi kesejahteraan penduduknya? Ini sangat bergantung pada “kekuatan” negara. “Kekuatan di sini merujuk pada sistem ekonomi, sumber daya alam itu sendiri, dan sistem hukum lagi politik. Namun demikian, dalam negara-negara berkembang (Indonesia pada khususnya), relatif lemah dalam bidang ekonomi, lemah dalam bidang perundang-undangan dan pelaksanaannya, lebih dari itu kurang demokratis.
Negara berkembang selalu menghadapi defisit yang besar dalam keseimbangan pembayaran, atau dalam beban hutang. Negara-negara ini biasanya memajukan dan menerapkan kebijakan terbuka bagi investasi asing dalam bidang sumber daya alam. Hal itu paling tidak sebagai bagian dari usaha menarik investasi asing, dan karena tren ekonomi global dengan perdagangan bebasnya. Negara-negara seperti ini dapat selalu tergoda untuk menerima persyaratan-persyaratan yang tidak menguntungkan sebagai upaya untuk menarik perusahaan-perusahaan (multinasional) atau investasi asing.
Meskipun begitu, apa yang semestinya kita pahami dan ketahui tentang tanah atau wilayah dan sumber daya alam bagi kehidupan masyarakat adat? Anggapan tentang tanah atau wilayah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya sangatlah penting bagi kehidupan masyarakat adat. Secara prinsip, masyarakat adat menganggap tanah atau wilayah mereka sebagai sarana bagi keberlangsungan hidup maupun budaya mereka. Betapa pentingnya hal ini sampai bisa dikatakan bahwa tanah adalah alasan keberadaan sesuatu (Perancis: raison d’etre) bukan saja bagi kehidupan sosial, budaya, spiritual, ekonomi dan politik mereka, melainkan juga bagi eksistensi mereka. Oleh karena itu, dalam studinya mengenai masalah diskriminasi terhadap masyarakat adat, Jose Martinez Cobo (1986) mangatakan bahwa, “adalah penting untuk mengetahui dan memahami hubungan yang sangat khusus dan bersifat spiritual antara masyarakat adat dan tanah mereka, yang mendasar bagi eksistensi mereka dan untuk semua kepercayaan, kebiasaan, tradisi dan budaya mereka. Bagi orang-orang seperti ini, tanah bukan lagi sekedar barang yang dimiliki dan alat reproduksi. Keseluruhan hubungan antara kehidupan spiritual masyarakat adat dan tanah mereka, memiliki implikasi yang sangat dalam. Tanah mereka bukan sebuah komoditas yang dapat diperoleh, tetapi sebuah elemen atau unsur yang sangat penting yang dapat dinikmati dengan bebas.
Sejalan dengan itu, dalam kertas kerja pendahuluannya, Erica-Irene Daes (1997), seorang pelopor khusus untuk studi tentang “masyarakat adat dan hubungan mereka dengan tanah” menyimpulkan sejumlah unsur yang unik pada masyarakat adat dalam hubungan mereka dengan tanah, yaitu: ada hubungan yang erat antara masyarakat adat dengan tanah, wilayah dan sumber daya mereka; bahwa hubungan ini memiliki berbagai dimensi dan tanggungjawab sosial, budaya, spiritual, ekonomi dan politik; bahwa dimensi kolektif dari hubungan ini adalah signifikan, dan bahwa aspek antara-generasi dari hubungan semacam ini juga krusial bagi identitas masyarakat adat, kelangsungan hidup dan budayanya.
Namun demikian, sejarah menjadi saksi bagaimana perampasan dan pengambilan tanah telah menjadi bagian dari takdir dan perjuangan masyarakat adat. Dan dalam perjuangan ini, masyarakat adat telah dan terus menjadi pecundang. Hurst Hannum (1994), seorang pakar hukum internasional mengatakan; “sejarah dari masyarakat adat sebagian besar merupakan kronik atau catatan dari upaya-upaya mereka yang gagal dalam mempertahankan tanah mereka melawan penjajah, beserta pula pemerintah dan hukum-hukum yang termuat di dalam undang-undang. (penekanan oleh penulis)*
#SaveAru!
*Uraian pikiran dalam tulisan ini
dicapai melalui gagasan-gagasan yang dikembagkan oleh Rafael Edy Bosko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar