Kalaupun ini adalah cerita sejarah, ia adalah sejarahku.
Aku memang tidak menceritakan sejarah sebagaiman terwarta dalam buku-buku sejarah yang dingin yang dikenal waktu sekolahan. Aku hanya ingin menceritakan pengetahuan kesilamanku yang lazim tentang seorang “kapitan”. Kapitan dari tempat dimana aku berdiri lalu berlari mengejar bintang yang sisi-sisinya jika dilihat dari kejahuan persis seperti ujung parang. Lalu tengahnya persisi seperti salawaku.
Tentu dada dan otak ini menjadi padat. Mata melotot, serta wajah menjadi agker. ketika mengingat sekali lagi perkataan opaku Petrus Tuhuteru, padaku tempo dulu. Ketika itu, dalam sebuah rumah beton di Hila. Desa yang ditutupi biru laut dan hijau pohon. Opaku sementara bermalasan di atas kursi malas depan teras. Beliau berkata; Pattimura itu gagah, Dia jago sekali. Dia adalah sosok yang tak pernah mengenal kompromi. Apalagi berhianat. Pattimura relah mati digantung demi tanah raja-raja ini. Dalam pertempurannya melawan Belanda, Ia berhasil meduduki benteng Duurstede, milik Belanda di Saparua sana. Ia tak mau kalau rakyat Maluku ini menderita, tertindas. Karena itu, Ia melakukan pemberontakan demi pembebasan. Kehormatan diri, kehormatan daerah ini (Maluku) selalu dijaganya. Hebat kapitan Pattimura itu.
Panjang lebar cerita opa kepadaku tentang Pattimura. Namun yang masih tersimpat dalam pikiranku hanya separuh, bahkan kecil sekali. Aku yang saat itu belum paham dengan baik tentang perjuangan, hanya mendegar dengan mulut terbuka, disisinya. Dan tanpa barpikir banyak hal, aku mempercayai setiap perkataan opaku tentang sang revolusi.
Waktu berjalan terus. Daun-daun berguguran, yang coklat berganti hijau. Aku beranjak besar. Di sekolah dasar aku pun diajarkan tentang sosok Pattimura. Dari sejarah perjuangannya sampai pada kematianya yang tragis.
Kapitan digantung. Itulah akhir dari perkataan guruku di depan kelas kepadaku serta teman-teman sekelas. Mandegar kata kapitan, aku mengingat-ingat kembali cerita opa waktu di teras rumah. Kapitan. Apa itu kapitan? Ah..! mungkin itu adalah sebutan yang biasa dipakai bagi para pejuang dahulukala oleh masyarakat Maluku.
Semakin hari pikirku mulai terganggu dengan kapitan. Aku pun lalu menyebutnya kapitan Pattimura, kapitan cengkih dan pala. Bukankah itu sebuah lirik lagu? Oh iya… itu lirik lagu. Lantas apa itu kapitan?” Ah! Sudalah, itu hanya sebuah istilah.
Sewaktu pulang dari sekolah. Persis di depan pintu gerbag benteng Amsterdam, aku berdiri. Batu kecil diambil dari tepian aspal. Kulemparkan ke atas lagit desa Hila. Nyaris batu jatuh mengenal ujung daun pohon ketapang dikintal benteng. Aku kembali bermain dengan pikiranku sendiri. Apa itu sebenarnya kapitan. Apakah benar itu hanya sebutan biasa? Apakah itu hanya sebuah istilah yang tidak banyak disukai perempuan? Ataukah itu adalah panggilan Tuhan bagi Pattimura? Akanku cari tahu.
Umur mengharuskanku beranjak ke jenjang sekolah lanjut. Ke Ambon, tepat di SMP Negeri 6, aku menduduki kursi kayu. Di depannya meja persegi empat yang telah patah ujungnya. Aku menjamu ilmu di situ.
Suatu hari, entah itu kebetulan atau sudah terjadwal. Aku lupa. Tapi aku sepakat kalau itu terjadwal. Pelajaran sejarah dilantunkan. Thomas Matulessy, pahlawan nasional asal Maluku. Diorbitkan di depan kelas. Guruku menjelaskan tentang Thomas Matulessy, sang kapitan itu. Dalam penjelasannya aku tak menemukan sedikitpun pengertian kapitan. Kata kapitan masih saja sama dengan yang ada dalam pikiranku. Sebuah ungkapan biasa. Ia hanya meleberkan didikannya dengan penjelasan yang sudah aku degar sebelumnya. Seakan kapitan itu hanya terbingkai dalam keberanian ketika ada dalam medan perang. Bagaimana ia menggugurkan penjajah dan rela berguguran demi rakyat Maluku. Itu saja.
Arti penting dari kapitan belum kutemukan. Di tempat kelahiranku sendiri lagi ditempat kelahiran Pattimura, ternyata belum kutemukan arti kapitan. Aku tak tahu harus mencarinya dari segi yang mana. Tak pernah itu dikatakan oleh setiap orang yang kujumpai. Terlebihnya guru-guru sejarah.
I5 Mei 1994. Hari kebesaran dalam hidup orang Maluku, dirayakan. Pengetahuanku masih saja lama mendayu-dayu tentang arti kapitan. Serasa lambat. Baju putih bertulis Maluku, bergambar pemandangan Ambon kukenakan pada kemiringan bulan. Di atas trotowar pada jalan Cendrawasi, kududuk berdempetan menanti obor Pattimura. Parang digosakan di atas aspal. Butiran-butiran api seakan meloncat keluar dari ketajamannya. Salawaku bernari-nari dalam genggaman tangan. Marinyo berteriak. Tahuri dibunyikan. Jalan dibuka. Obor Pattimura dibawa lari entah oleh siapa. Aku tak mengenalnya. Namun dalam keramaian, berang merah tertiup angin melintas di depan mataku. Tak berbusana, tubuh yang seakan kotor terus melarikan obor itu dengan genggaman kuat. Sekuat Matahari yang sebentar lagi akan menyiram kota Ambon dengan cahayanya. “Orang itu pasti berkedudukan penting dalam sistem adat Maluku. Andai aku yang membawa obor itu, pasti kebanggaan adalah milikku.” Hati berbicara.
Keringat panas mulai membasahi punggung dan dadaku. Kapitan belum juga kutemukan artinya. Inginku bertanya-tanya pada keramaian saat itu. Namun jiwa ini tidak mengharuskan. Perlahan kaki melangkah. Aku menuju ranjang. Tidur kuteruskan.
Selepas hari itu, seluruh tubuh ini berdiri menghormat. Aku temukan arti kapitan dari seorang sejarawan. Mansyur Suryanegara. Seorang sejarawan yang tak kutahu rupanya. Tak kupeduli. Mau seperti apa orang itu. Sungguh tak kuhiraukan identitas Mansyur Suryanegara. Yang pasti lewat tulisannya, aku telah menemukan sepenggal pengetahun tentang arti kapitan. Sejujurnya aku berterima kasih kepada Mansyur Suryanegara.
Tulisan dibaca. Aku jadi tahu. Kapitan bukan hanya sekedar gelar atau sebutan pada zaman raja-raja. Kapitan tidak dan bukan hanya sebuah istilah kosong. Kapitan lebih dari itu. Kapitan sama sekali tidak terpaku pada seseorang yang mengepalai segerombolan masyarakat adat. Kapitan bukan hanya seorang pemimpin dalam perang. Aku juga tak tahu dari mana datangnya kapitan. Dalam ketidakpastian, kapitan juga bukan pemberian gelar dari Belanda.
Tak tahan lagi jiwaku berjalan untuk mengungkapkan arinya seturut yang kutahu dari Mansyur Suryanegara. Kapitan; dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran masyarakat Maluku. Tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang ditakuti. Jiwa serentak bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki oleh seseorang. Demikian pun Pattimura. Kesaktian kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia telah melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis-silsilah-keturunan itu diyakini bahkan diimani. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
Aku kemudian berpikir, mungkin masih banyak lagi cerita-cerita tentang kapitan. Entah semakin lama semakin meragukan, atau sebaliknya mendekati kebenaran dan seterusnya benar secara objektif. Seterusnya, boleh jadi arti itu telah mengabulkan rasa penasaranku. Namun demikian, boleh jadi itu telah menberikan inspirasi dalam segala apa yang pernah didegar. Ke depan mungkin tak pernah lagi disinggung omongan tentang kapitan. Ah! Arti yang telah kudapati itu akan selalu kupegang selaku anak pribumi dari Maluku. “Pattimura “kapitan” kesayanganku.”
Ambon, 15 Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar