Ambon 15 Mei 2012. Hari kebesaran bagi orang Maluku. Dan banyak yang ragu, kalau hari itu bukan lagi hari kebesaran. Sebaliknya kesuraman. Haruskah ada cucuran darah di atas jalan beraspal, atau pribumi menghadapinya dengan berpelukkan. Serasa tidak peduli.
Asumsinya; jika engkau memandangku buruk, maka apa pun yang ingin kulakukan kepadamu meskipun itu baik, tetap saja kau akan menganggap apa yang kulakukan kepadamu adalah sesuatu yang buruk. Sebab, sejak awal kau telah memandangku buruk. Sebaliknya, jika engkau memandangku baik, maka apa pun yang ingin kulakukan kepadamu meskipun itu buruk sekalipun, tetap saja kau akan menganggapnya baik. karena, sejak awal kau telah memandangku baik. Ini bukan prinsip pribumi di Maluku. Ini hanyalah asumsi subjektif.
Kurang lebih pukul 05:00 WIT. Handphone bergering. Heran melihat isi panggilan telepon. Tak biasa Zurisya, adikku menelepon jam segitu. Pesan angker mendarat ditelinga. Mardika dan Batu Merah, dua kampung kumuh, tradisional, berwajah modern kembali ribut. Terheran-heran tak paham, aku lalu membingung. Kenapa? Kedua kampung ini seakan seperti juggernaut yang setiap saat bisa saja meluluhlantakkan segala sesuatu. Ia seperti kerangkeng besi yang mengurung hati nurani, lalu membebaskan ketidakperikemanusiaan. Apakah memang benar kedua kampung ini telah melahirkan tipe kemanusiaan tertentu? Ataukah kedua kampung ini hanyalah alat yang ditunggangi? Aku berbikir; Mardika dan Batu Merah sebenarnya sementara diperbudak kembali. Pikirku bukan hadir dari ruang yang hampa, namun dari pengalaman. Bahwa memang benar ada sebagian kelompok siluman yang selalu memakai kedua kampung ini untuk alat ribut. Terdiam aku sejenak.
Ransel kugantungi dibahu, computer dimatikan. Bergegas aku mengikuti keluarga dari Batu Gantung tempatku bekerja menuju Mardika rumahku. Dalam perjalanan, pikiran kompleks. Aku melihat segerombolan sepatu boneng dilengkapi alat perang [panser dan senjata] menuju diriku yang saat itu baru sampai di daerah petak 10. Ada apa? Ribut kata adikku di Mardika dan BatuMerah. Kok! Serdadu menuju arah yang berlawanan? Tak kuhiraukan. Gas dinaikkan, rem tak sedikitpun disentuh oleh kaki. Sepeda motor biru milikku melaju.
Sampailah di jalan Cendrawasi. Berdirilah aku di atas trotowar, melangkahkan kaki perlahan menuju rumahku yang rawan dirusak massa. Fenomena yang tidak menyenangkan terlihat jelas di dapan mata. Jangan pedulikan siapa-siapa, cepatlah berlari ke titik ribut, pinta hatiku. Seorang bujang lelaki berlari ketakutan, tergesah-gesah di tengah ramainya orang. Ia menabrak bahuku. Hari seperti bertamba gelap, orang-orang angkat bicara. Bising sekali.
Bayang-bayang api mulai jelas terlihat di mata teman-temanku yang saat itu berdempetan dalam sebuah lorong. Mama, mama….!! Papa…! Adik sepupuhku, Sigit Berhitu memanggil ayah “Yossi” dan ibunya “Upi” yang sementara terjebak di dalam lorong yang berlawanan. Benih kehancuran mulai melakukan tingkah laku teatrikalnya. Emosi tak bisa lagi dibendung. Cara demi cara ditempuh untuk menyelamatkan ibu dan ayah, Sigit yang sementara terjebak. Massa berlaksa-laksa saling mengepung, saling berlemparan batu. Tidak bisa tidak, kita harus menyelamatkan mereka. Seperti itulah telingaku mendengar perkataan Om Frengki salah satu orangtua di Mardika. Ikuti aku, Om Frengki berkata di atas sepeda motornya. Jalan diterobos. Dan sungguh cepat sekali reaksinya. Ayah dan ibu Sigit diselamatkan. Mereka nyaris dilahap massa. Mereka lalu diamankan jauh dari titik ribut.
Sang loreng seakan tertawa. Tak habis-habisnya aku berpikir. Pos serdadu itu tepat ada di depan kejepitan Om dan Tanteku. Masakan mereka mengabaikan keberadaan Omku serta istrinya yang telah terjebak. Serdadu seperti apa itu? Heran aku. Kohesi moral mungkin telah tercabut dari kepribadian si loreng. Sungguh aku tak paham.
Kemudian muncul tiba-tiba teman sekaligus kakakku. Darah telah membasahi bahunya. Ia terkena anak panah. Hari yang suram. Bersamaan dengan itu, bom meledak. Puluhan orang berjatuhan. Darah membanjiri seisi jalan raya. Sirine berbunyi. Dilarikanlah mereka satu demi satu ke rumah sakit. Kembali lagi ke titik ribut. Api telah mengubrak-abrik rumah. Hari Pattimura, terlalu suram wajahmu.
Sengaja aku berhenti berjalan di sisi jalan Mutiara. Mengarahkan pendengaran ke belakang. Terdengar langkah sepatu berjalan menyeret pada aspal. Makin lama makin jelas. Makin dekat. Serdadu berloreng, mangarahkan senapannya pada kami segerombolan; "pindah kalian dari situ. Ayo semuanya pindah". Kami diusir sardadu. Mau tak mau kami harus beranjak pergi. Tapi sebelum kami mengangkat kaki, massa berteriak; "kami ingin menjaga daerah kami juga. Kami ingin menjaga rumah kami". Perdebatan pun terjadi antara masyarakat sipil dengan si loreng. Yang katanya Tentara Nasional Indonesia itu.
Mungkin perkataan tentara itu benar. Tapi boleh dikata, perkataan massa juga benar. Perkataan yang lahir dari intelektual. Dan sudah pasti dibentuk oleh latar sosial serta pendidikan yang berbeda. Aku tak tahu dengan pengusiran serdadu bagi kami. Namun setahuku, serdadu tak pantas untuk menghalagi kami ketika berada pada lokasi tempat tinggal. Kami sama sekali tidak lagi melakukan perlawanan. Kami hanya manjaga lokasi tempat tinggal. Apalagi tiga rumah milik tetangga telah habis disantap api. Seharusnya terjadi, serdadu itu berada pada titik ribut yang sesungguhnya. Bukan ada untuk mengintai kami pada samping rumah, sederetan pinggir lorong, atau juga pada jiku-jiku jendela. Bukan barang baru, kami telah tercabut dari rumah. Jadi sah-sah saja jika ada kerinduan yang mendalam untuk kembali menjaga istana. Dengan pengertian tertentu, kami serempak sepakat untuk menjaga lokasi tempat tinggal. Kalau kami tertindas dan selama ini kami memang nyaris tertindas – tampaknya benar kalau ada penyadaran dan memprotes cara, situasi [si loreng].
Serangkaian perubahan yang bertujuan menggatasi sistem kemapanan tentara dalam bertindak harus dilakukan. Kemudian rentetan revolusi harus dipicu untuk melawan sang sepatu boneng. Yang tak kalah pentingnya, semoga tindakkan kami tak ada salahnya.
Matahari telah duduk di belakang kepalaku. Hari mulai terang. Ketegangan semakin kendor juga. Nafas panjang mulai dapat kuhela. Dan teringat aku pada lokasi dimana bom pecah. Dengan berbaju dan jelana yang kotor dibadan, aku lalu menyusun langkah untuk pertama kali sendiri ke titik bom yang tadinya telah meledak. Nanti dulu, apa ini? Rapi sekali serpihan bom. Baru pernah aku melihat serpihan bom seperti ini. Seperti ditata gaya ledaknya. Apakah ini adalah bom rakitan pribumi? Ataukah ini adalah bom asli [granat] yang tadi diledakkan? Aku tak tahu. Aku bukan itelejen.
Berpikir, berpikir, berpikir…!!! Tak juga kutemukan jawabannya. Bertutur remeh aku lakukan dengan beberapa teman di lokasi kejadian. Kembali aku ke tempat pengungsian di DPRD Kota, tepatnya di Belakang Soya. Mengikuti keluargaku. Setibanya di sana, aku bertemu dengan ayahnya Sigit, yang adalah omku. Duduklah aku disamping beliau yang sedang sakit diabetes. Cerita dimulai.
Perlahan hatiku berkata; "sekarang aku harus berdiam mendengarkan ceritanya. Bagaimana sehingga Ia bisa terjebak bersama istrinya. Bapa kenapa sampai terjadi seperti itu?" Aku bertanya. "Tentara itu kurang diajar." Beliau berkata, menjawab pertanyaanku. Tentara yang mana bapa? BKO 131. Mengapa? "Saya saat ribut saya masih ada di dalam rumah [perbatasan Mardika Batu Merah] bersama Upi [istrinya]. Saya tak bisa berjalan, kaki saya sakit. Terluka. Saya hanya bisa berdiam di tempat tidur. Tapi situasi tidak lagi mengharuskan saya berada di dalam rumah bersama Upi. Akhirnya saya mengambil keputusan untuk keluar saja dari rumah. Dengan terpaksa, saya memaksakan diri untuk berjalan. Tapi lagi-lagi tak bisa. Upi tak mungkin menggendong saya. Dengan perlahan kami keluar dari rumah. Namun di depan rumah massa sudah sangat banyak. Saya takut. Saya berusaha untuk menyelamatkan diri bersama Upi. Dengan tubuh yang sakit, perlahan-lahan saya mengangkat kaki. Saya terjatu dan memilih menyeretkan tubuh ini mengikuti jalan mencari keselamatan. Upi menemani saya. Tak lama ada seorang pekerja bangunan, dia Muslim. Dia melihat saya yang tak lagi berdaya di atas jalan setapak. Dia pergi menggendong saya, mengangkat saya bawa lari ke pos tentara. Sesampainya di situ, dia mendudukkan saya di dalam pos. Dia tak bisa lagi membawa saya lebih jauh. Karena dia Muslim dan hanya di pos sajalah daerah aman. Dia pun kembali ke basisnya berlindung diri bersama saudara-saudaranya. Pikirnya persis seperti yang saya pikirkan, pos itu akan menjadi tempat aman. Sungguh Muslim yang biofili". Begitulah omku, Yossi mengungkapkan isi hatinya.
Dan ia kembali melanjutkan pembicaraannya. "Semua bunga seakan menunduk, meliukkan tangkai, malu saya karena kalah tak berdaya. Hampir semua orang pribumi di Maluku pandai dan suka menyanyi, gemar menari. Setiap pribumi punya kapasitasnya masing-masing: Muslim-Kristen, gemuk-montok, kurus-kerempeng, hitam-putih, keriting-lurus. Sejiwa pun tak ada yang tak baik dari mereka. Tapi tentara…. Sebut saja mereka binatang. Karena hanya binatang saja yang bisa bersikap seperti binatang dan berpikir seperti binatang. Nagara seperti apa ini, yang memiliki pelindung tak bermoral, namun mengeluarkan kebinatangannya. Mereka tidak manusiawi. Mereka bisa-bisanya menyeret dan menyuruh saya keluar dari dalam pos. Suara lantang berteriak mengharuskan saya untuk keluar. Saya berpikir bisa terlindung bersama Upi di dalam pos. Tapi hasilnya berbeda. Saya bersama Upi diusir dengan sikap dan suara yang kasar lagi keras. Kami berdua keluar dan bisa duduk menanti pertolongan dalam hitamnya massa. Untung kalian mampu menerobos jalan lalu menolong saya dan Upi".
Dengan menekan rasio, aku menjoba menelaah nilai dari kehadiran si loreng di tanah raja-raja. Tanah cengkeh dan pala. Tanah parang dan salawaku. Mungkinkah masih ada manusia seperti itu di dunia ini? Sifat manusia yang menghambat pertumbuhan lagi perkembangan bumi Maluku. Misi praktis dan orientasi mereka seperti mendatangkan irasional bagi pribumi Maluku. Kekuatan-kekuatan intelektual yang berperan besar dalam otak mereka adalah buat keributan. Mungkin aku berdosa telah berkata demikain. Maafkan. Namun demikian, setahuku secara keseluruhan si loreng itu adalah pelindung rakyat. Entah dari kesatuan mana mereka. Tak peduli. Yang pasti mereka berloreng. Titik keberadaan mereka di Maluku adalah bagaimana menghasilkan sistem yang damai terbuka untuk umum, rasional dalam mengambil keputusan. Berpikir manusiawi dan bertindak atas dasar peduli manusia.
Belum lagi menghabisakan sarapan pagi yang telah dihidangkan bagiku. Hatiku terasa sesak. Aku harus pergi ke rumah sakit melihat para korban. Sesampainya di rumah sakit. Banyak sekali yang kakinya hancur terluka. Bom itu ternyata menghancurkan bagian pinggang ke bawah. Menarik ledakkannya. Gemilang cara hancurnya. Hanya mengambil bagian bawah dari sederetan tubuh para korban. Bom model apakah itu? Silahkan dijawab sendiri. Jika aku mencocokkannya dengan titik nol ledakan, maka itu tersistimatis. Satu, kosong, kosong, kosong, itu seribu. Seribu kali, taruhlah seperti itu. Mardika dan Batu Merah dimanfaatkan.
Teka-teki kedua kampung ini begitu sukar di dalami. Siapa saja bisa menugganginya. Entah untuk kepentingan apa. Cerita asal-usul kedua kampung ini dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan proses sosial yang berbeda. Kemiripan menganut agama yang berbeda. Dan memiliki kesulitan untuk menyatukan status sosial. Yang satunya memiliki status sosial bermata air hangat, satu lagi dingin. Tak punya ikatan emosional. Berpotensi sekali untuk dijadikan tempat ribut. Sejak 1999 kedua kampung inilah yang pertama diributkan. Sehingga Maluku pun ribut. Sementara orang-orang yang dibesarkan dan beranjak dewasa dalam kedua kampung ini, hingga kedua orangtua mereka meninggal, sangat tahu bentuk dari cinta bagi sesama. Hubungan-hubungan intim yang mereka lakukan bersama telah menyebabkan lobang tanah yang besar dapat tertutup. Mengubah laut dan daratan sehingga terbulak-balik. Laut ke darat dan darat ke laut. Mereka tahu, bagaimana saling melingkari jiwa yang satu sama lain. Buktinya omku, “Yossi” dan istrinya” Upi”, itu adalah perpaduan antara Mardika dan Batu Merah. ”Upi” adalah wanita cantik dari Batu Merah dan “Yossi” adalah lelaki gagah asal Mardika. Mereka berdua dapat bersatu dalam ikatan cinta.
Lantas, hai para peribut, para pemetik ribut, kenapa pencarian kalian harus berakhir di kedua kampung ini? Kedua kampung inilah yang nantinya akan memberi cahaya kekuatan pada orang-orang seperti kalian. Yang kerjanya hanya membuat ribut. Sebab jika tidak dibuat ribut, dari manakah kalian memberi makan diri sendiri, anak dan istri kalian? Tak sedikit pun humanis. Sudalah, aku hanya bisa berkeyakinan cahaya itu akan muncul dari Mardika dan Batu Merah.
Matahari berganti bulan. Aku berdiam diri. Sejak awal 1999 sampai kini, masakan dalang dari konflik kekerasan di Maluku, hingga kuberganti nama menjadi ribut, tak kunjung ditemukan. TNI/POLRI kerja apakah kalian? Tak mengerti aku. Apakah keahlian intelejen kalian hanyalah bisa untuk menangkap pengedar togel dan narkoba? Dimana kapasitas kalian? Sulit ditebak. Mungkin Negara ini telah mati.
Beberapa jam kemudian, aku kembali ditelefon oleh Weslly, sahabatku. "Ikut kami di depan Amplas [Ambon Plasa]", kata Weslly. Tim provokator damai sementara berkumpul. Aku pun datang bertemu dengan sejumlah pemuda Muslim dan sejumlah pemuda Kristen. Ada Almascatie di sana. Teman Muslimku yang berjiwa menawan. Ada pula di sana petua-petua kami. Kami berdiskusi selayaknya manusia yang bermartabat, manusia yang bermoral, lagi manusia yang saling menyayangi. Menghilangkan segala bentuk kecurigaan, lalu saling percaya. Kami berbicara untuk masalah yang baru saja kembali menimpa Ambon dan warganya. Kami bertukar pikir menentukan aksi-aksi yang harus dilakukan bersama. Terlebihnya kami mencari tahu, siapa sebenarnya penyebab utuma ribut. Mungkin di antara kalian ada yang tahu? Silahkan dijawab sendiri.
Casino & Slots 2021 | All Slots, Live Dealers, and Bonus Offers
BalasHapusCheck out our Casino & Slots 2021! 포커 스트레이트 We have the best slots and casino games 사카마치 미루 to 토토 검증 먹튀 랭크 play and win, plus exclusive free spins offers, m w88 cashback & exclusive casino 유흥가