Sungguh menarik mengamati bahwa, gereja dalam pelayanannya di dunia ini tidak dapat dilepaspisahkan dari manusia. Manusia yang menjadi target dari pelayanan gereja tentunya beragam, majemuk. Setiap manusia tentunya memiliki perbedaan yang signifikan, dan dari situlah ada kemajemukkan yang dilihat dan disentu. Secara biologis, misalnya, manusia memiliki keunikan yang berbeda-beda. Ada yang memiliki bentuk tubuhnya kecil, ada yang memiliki bentuk tubuh yang besar. Ada manusia yang warna kulitnya hitam dan ada pula manusia yang memiliki warna kulit putih. Ada manusia yang memiliki ciri rambut yang lurus, dan tentunya ada yang ikal, dan masih banyak lagi perbedaan-perbedaan biologis lainnya dari manusia.
Secara rohania, juga demikian jadinya. Dalam pengertian, ada manusia yang mengenyam jubah sebagai seorang Muslim, ada yang mengenyam jubahnya sebagai seorang Kristen. Ada juga yang memakai seragam sebagai seorang Hindustan, dan ada juga yang menggantongi status sebagai seorang Budha, dan masih banyak ciri rohania dari manusia.
Semua itu memperlihatkan bahwa manusia sesungguhnya berbeda (majemuk). Terlepas dari kemajemukkan manusia, gereja secara ideal membangun hubungan dengan manusia tersebut. Jika tidak demikian, maka gereja kehilangan arah tujuannya, yaitu, kemurnian pelayanan. Gereja-gereja yang ada di dunia ini memiliki banyak sekali perbedaan terkait sudut pandangnya kepada Tuhan. Terdapat begitu banyaknya aliran di dalam gereja-gereja di dunia ini. Tidak hanya satu atau dua aliran, tidak hanya gereja protestan atau katolik, tapi lebih daripada itu. Dan tentunya memiliki dogma yang berbeda pula.
Dalam kerangka gereja saja, tersedia banyak sekali perbedaan (aliran). Apalagi hal tersebut diperhadapkan dengan peta pergerakan manusia di dunia ini. Maka dari situ sangat jelas apa yang telah ditegaskan di atas tentang keperbedaan manusia. Poinnya, karena manusia itu berbeda, maka wajar-wajar saja kalau gereja di dunia ini ada dalam perbedaan-perbedaan tersebut. Gereja itu berbeda bukan karena gereja sendiri yang menginginkannya, tapi karena manusia. Manusia yang telah mengada dalam dunia ini adalah manusia-manusia yang pro-aktif dalam bertindak, berpikir, serta pro-aktif dalam menunggang kata, karsa, dan karya. Oleh karena itu, ketika manusia menempatkan diri untuk berada dan terlibat di dalam gereja, dengan sendirinya gereja itu berbeda satu terhadap yang lain.
Secara fundamental, manusia adalah orang-orang yang menjalankan dan/atau yang mengelola gereja. Tanpa kehadiran manusia, gereja niscaya tidak akan mengada dalam dunia ini. Sebaliknya tanpah gereja manusia sulit memiliki sudut pandang yang spesifik terhadap Tuhan. Jadi paling tidak gereja dan manusia ada dalam sebuah lahan yang sama, gereja dan manusia memiliki peran yang sama dalam sebuah hubungan yang saling bergantung satu terhadap yang lain. Gereja dan manusia mencerminkan; ikan yang memerlukan air jernih tidak tercemar. Dengan kehadiran manusia di gereja, hal itu bukan lagi memungkinkan, tetapi pasti terjadi perbedaan dalam gereja. Dalam hal ini, gereja yang satu terhadap gereja yang lain (aliran-aliran dalam gereja).
Dalam pengembangan gereja mengharuskan manusia berperan aktif. Tanpa keaktifan manusia, gereja boleh dibilang tak ada artinya dan mengalami stagnasi. Manusialah yang mengontrol, menggerakkan eksistensi gereja secara konkrit ke arah yang lebih baik. Hakikatnya, gereja bukan berarti bangunan, tetapi lebih cenderung ke arah biofili (memiliki jiwa kehidupan). Selain itu, secara tradisional, gereja merupakan wadah persekutuan, tempat beribadah umat Tuhan yang dipanggil, dipilih, dan bersikap menyongsong kedatanagan Tuhan (Yesus Kristus) kali kedua.
Meskipun begitu, pandangan mengenai gereja di atas itu belum lengkap bahkan terlalu sempit jika diperhadapkan dalam konteks "peran gereja" yang sesungguhnya di dunia ini. Jika gereja adalah biofili, maka gereja mesti dilihat dalam kerangka "yang memiliki kehidupan." Relevansinya dapat dibagi ke dalam tiga fase. Fese pertama, gereja dilihat sebagai sebuah badan organisasi, yang sinodal sebagai pusatnya. Fase kedua, gereja sebagai sebuah bentuk personal, yang individu sebagai pusatnya. Dan unsur yang ketiga, gereja sebagai sebuah bentuk komunal, yang masyarakat sebagai pusatnya. Ketiga fase ini diharapkan membawa kita pada sudut pandang yang jernih dalam melihat peta pelayanan gereja di dunia.
Gereja sebagai sebuah badan organisasi
Gereja dalam pelayanannya memerlukan ke-legal-an (formal), yang mana gereja perlu mendisain dirinya dalam bentuk kelembagaan (sinode atau semacamnya). Di sini, gereja manjadikan dirinya sebagai sebuah badan organisasi dan membungkus dirinya dengan sejumlah metode, paradigma, norma, dogma, dan seterusnya, yang dibingkai ke dalam ketentuan-ketentuan aturan gereja. Metode, paradigma, dogma, maupun norma itu mencakup level universal, nasional dan lokal, berdasarkan konteks di mana gereja itu berada.
Di sisi lain, dengan terbentuknya organisasi gereja, memungkinkan gereja secara mudah bertindak menghadapi konteks riil di mana gereja itu bertumbuh. Karena untuk mengatur suatu pelayanan bagi kepentingan gereja ke arah yang lebih manusiawi, sangatlah mustahil jika gereja tidak memiliki organisasi yang merupakan entitas dari aturan-aturan gereja. Gereja memilih ada dalam sebuah ikatan organisasi demi kemajuan pelayanannya, dan agar pelayanan yang dilakukan oleh gereja itu dapat berjalan secara sistematis, tepat sasaran. Gereja sebagai organisasi merupakan cerminan dari cara gereja melihat dengan jelas kebutuhan-kebutuhan mendasarnya. Gereja tampil sebagai sebuah bentuk organisasi karena gereja yang punya Tuhan dan digerakkan oleh manusia yang percaya kepada Tuhan tersebut, mengetahui apa yang mesti dilakukan.
Boleh kita bayangkan sejenak jika gereja tidak memiliki sedikpun aturan, atau jika gereja sama sekali tidak meleburkan dirinya dalam satu lembaga formal. Bagaimana gereja bisa dengan baik mengatur pergerakan pelayanannya? Niscaya, gereja akan mengalami kepincangan, dan tidak memiliki tujuan yang jelas. Gereja melebur dirinya dalam satu badan formal karena gereja memiliki tujuan. Tujuan yang dimiliki gereja itu pada hakikatnya bersumber dari penghayatan, penjiwaan, bahkan pengilhaman manusia-manusia yang berproses di dalam gereja. Inilah manifestasi Tuhan. Sebab, untuk mengatur manusia-manusia yang ada di dunia ini, atau secara khusus manusia yang identik dengan Kekristenan, sangat penting bagi gereja memiliki aturan. Aturan-aturan yang bersumber dari gereja adalah aturan-aturan yang selalu mengalami pembaharuan seturut perkembangan zaman, dan aturan tersebut dihadirkan oleh gereja di dunia ini demi pelayanan yang merata bagi manusia. Dari sinilah gereja hadir dalam wujud organisasi demi menjawab konteks pelayanannya kepada kehidupan para individu-individu, baik secara personal maupun komunal.
Gereja sebagai sebuah bentuk personal
Di sini, gereja diletakkan dalam kerangka yang lebih hidup. Yang berarti, gereja berdiri dalam kehidupan riil dari gereja itu sendiri, yaitu, manusia sebagai pusatnya. Dewasa ini kecenderungan manusia untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran begitu banyak. Wacana Hak Asasi Manusia (HAM) kurang memiliki arti. Secara alami, hanya orang-orang yang berkuasa (tuan-tuan) saja-lah yang mengatur kehidupan ini (baik dari segi kebudayaan, ekonomi dan politik). Panggilan pelayanan gereja bukanlah semata-mata agar gareja menjadi ecclesia docens (gereja yang mengajar) tetapi juga sebagai ecclesia discerns (gereja yang belajar). Gereja perlu belajar mengenai dinamika kebudayaan, benturan-benturan yang terjadi dikisaran perekonomian atau politik. Dengan begitu, gereja diharuskan untuk bersikap (tegas); bagaimana mesti bersikap secara konkrit terhadap “seseorang” yang kedapatan melakukan pelanggaran. Yang perlu digarisbawahi, jika gereja adalah manusia itu sendiri, maka upaya manusia untuk saling mengajar dan saling membentuk satu terhadap yang lain, menjadi kunci dan spirit dari keberadaan gereja. Itulah salah satu makna manusia sebagai bentuk entitas dari gereja.
Selain itu, ingat dengan cerita perumpamaan orang Samaria di Lukas 10: 25-37 (yang tidak terdapat di dalam injil-injil yang lain)? Perumpamaan ini memiliki arti bahwa, orang lain, outside (kelompok luar), yang bukan warga gereja, misalnya, bahkan musuh sekalipun, mesti diutamakan. Dengan kata lain, manusia (gereja) yang benar harus mempunyai wawasan yang memadai mengenai tempat atau kedudukan “orang lain” (mereka yang lain daripada kita). Yang lain adalah sesama "kita," atau sesama "kita" adalah yang lain, dan pemahaman akan yang lain inilah yang tidak ada atau barangkali belum dibangun di dalam usaha berteologi gereja saat ini.
Akhirnya, gereja (manusia) itu luas adanya, universal. Ia tidak mesti terpenjar di dalam sebuah keutuhan selaku Kekristenan saja. Namun lebih daripada itu, ia mesti menerobos ke arah yang lebih dalam di dunia ini. Gereja itu mesti memandang jauh ke depan bahwa sesungguhnya yang di namakan gereja itu adalah semua yang hidup, semua yang bukan hanya Kristen. Sebab, gereja biasanya identik dengan kekristenan. Sebaliknya, kekristenan itu identik dengan gereja. Kalau gereja hanya ada pada tataran kekristenan, dan jika kekristenan itulah gereja, maka sangatlah tipis pelayanan gereja di dunia ini. Dengan begitu, yang namanya gereja adalah seluruh manusia, tanpah pengecualian. Artinya ada manusia yang tidak tahu tantang hakikat dari gereja (Islam, misalnya), namun yang hadir sebagai gereja (Kristen) harus memandang Islam (yang lain) sebagai gereja. Meskipun sulit rasanya, tetapi itulah kunci dan titik fundamental dari kehadiran gereja di dunia ini. Melihat yang lain sebagai bagian yang tidak terpisahkan walaupun secara prinsip benar berbeda.
Gereja sebagai bentuk komunal
Di sini, masyarakat-lah yang menjadi pusat dari gereja. Masyarakat adalah majemuk, yang hidupnya penuh dengan perbedaan. Jadi ketika yang dimaksudkan di sini itu adalah masyarakat yang mejemuk merupakan pusat dari gereja, maka bagaimana gereja itu menjalankan pelayanannya? Apa dan bagaimana gereja itu bersikap demi menjawab pelayanannya bagi masyarakat yang majemuk? Gereja hadir di dunia, diutus ke dunia, paling tidak, untuk menjawab setiap kebutuhan dari masyarakat. Masyarakat boleh dibilang memiliki banyak persoalan hidup. Di Indonesia, misalnya, dalam kehidupan masyarakat (yang majemuk) persoalan-persoalan dapat ditandai dengan adanya krisis dalam bidang ekonomi politik. Krisis ekonomi 1997-1998 pernah menekan orang-orang sekaligus pemerintahan Indonesia sehingga tercipta krisis politik. Krisis politik menciptakan terjadinya demonstrasi-demonstrasi, konflik di beberapa wilayah, yang membuat Indonesia dan subjek penduduknya ada dalam situasi yang tak terkendali. Sebagai tambahan, pemerintahan yang korup, kemiskinan yang kian merosot, bencana alam, dll, merupakan fenomena-fenomen riil dalam kehidupan bermasyarakat. Deretan peristiwa tragis itu membuat banyak orang menderita, kehilangan keluarga, rumah dan harta benda, dan bahkan anak-anak kehilangan masa depan.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana gereja dapat menyikapinya, dan bagaiman gereja melihatnya sebagai bagian dari pergumulan pelayanannya? Gereja dipanggil dari dalam dunia dan diutus ke dalam dunia untuk menerima dan menyaksikan Injil Yesus Kristus tentang karunia dan kehendak Allah untuk kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera bagi semua orang. Hal ini tentunya merupakan penekanan fungsi sosial gereja dalam memperjuangkan keutuhan ciptaan. Penekanan pada fungsi gereja ini mengharuskan gereja untuk menjawab. Cara gereja menjawabnya lebih baik dilihat bukan dalam bentuk bantuan finansial atau bantuan fisik. Namun gereja diharuskan memberikan sejumlah pengetahuan tentang penguatan dan pembentukan kapasitas manusia. Gereja mesti memberikan pemahaman bagi masyarakat untuk mejalani dan menjaga hidup ini ke arah yang dikehendaki bersama dalam bentuk pengakuan akan yang satu terhadap yang lain. Secara konkrit gereja memberi petunjuk jalan bagi masyarakat tentang cara yang tepat dalam menjalani kehidupan dengan sesama, dengan alam sebagai bagian yang tak terpisahkan untuk merajut keadilan, kesejahteraan, dan memajukan perdamaian.
Poinnya, gereja harus menjalankan dua peran sekaligus; gereja ada sebagai agen perubahan dan pembaharuan sosial, dan pembaharuan nilai-nilai ritus. Dari hal ini, maka ketika gereja berteriak tentang; saling tolong-menolong terhadap orang yang sedang mangalami bencana alam dalam sebuah refleksinya di dalam ritus, gereja harus secara langsung bertindak terhadap apa yang telah direfleksikannya itu. Ketika dalam ritus ibadah gereja berefleksi tentang bagaimana sebaiknya menjaga alam (ekologi) sebagai bagian dari kehidupan, gereja secara langsung mesti mengimplementasikan apa yang telah direfleksikannya itu dalam sebuh tindakan yang nyata. Ketika gereja berefleksi tentang bagaimana caranya merajut perdamaian di dalam konflik sosial ataupun konflik-konflik interpersonal, gereja mesti bertindak secara terpadu untuk menangani apa yang telah direfleksikannya. Demikian hal inilah yang mesti dilakukan gereja secara terus-menerus, mulai dan mulai lagi, tanpa ada tepiannya bagi seluruh masyarakat, yang merupakan pusat dari gereja itu sendiri.
Dari ketiga unsur yang telah dijelaskan, dapat dilihat peta palayanan gereja di dunia ini, bahwa secara formal gereja mesti ada tidak hanya untuk menjaga nilai-nilai kebenaran ritus dari gereja itu sendiri. Namun, gereja mesti menampilkan dirinya sebagai institusi moral-etik sosial yang bergerak untuk menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan terlebih lagi perdamaian bagi seisi dunia ini, tanpah pengecualian. Dari keberadaan gereja itu, maka gereja mesti menjadikan manusia sebagai subjek aktif, yang bertindak mengelola dunia ini sebagai sebuah objek pembelajaran demi kelangsungan hidup bersama.
#SekianDulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar