Halaman

Minggu, 02 Juni 2013

Basic Human Needs

Dalam sejarah, dalam konteks-konteks nyata serta objektif ada sebagian besar orang yang menderita sedemikian rupa, sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil. Dan kelompok yang menikmatinya justru bagian terkecil (minoritas). Dari segi jumlah, hal tersebut memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang, tidak adil. Inilah yang disebut Amartya Sen (2000: 87-88) sebagai "perampasan kemampuan; perampasan pendapatan" sebagian besar subjek penduduk oleh segelintir orang.

Jurang-jurang antara keterpurukan dalam lingkungan sosial dan mekanisme mendominasi adalah sebuah fenomena sosial yang begitu fundamental. Secara tegas, ini merujuk pada dominasi penguasa yang berkonsentrasi untuk perampasan, dan membengkokan cita-cita sebagian besar manusia untuk menjadi manusia yang lebih utuh.

Di sini, situasi ketimpangan itu akan dibahas dalam tiga fase:
Pertama, kebutuhan mendasar manusia. Setiap manusia, laki-laki maupun perempuan tentunya dengan bebas menentukan setiap bentuk kebutuhan mereka. Mulai dari kebutuhan untuk memperoleh pendidikan yang layak sampai kebutuhan untuk memperoleh kesehatan yang memadai. Dari kebutuhan ekonomi (kapital) sampai kebutuhan untuk mengakses berbagai sumber daya (resources). Faktor lain dari kebutuhan manusia dalam interaksi sosial adalah sesuatu yang bersifat lunak, yang secara prinsip tertanam di dalam tulang-belulangnya, atau di dalam benaknya. Makna-makna, nilai-nilai, norma dan atau aturan-aturan yang mengejawantah dalam pengalaman manusia. Semua ini dibutuhkan hanya untuk terus membuat manusia itu bisa hidup dan bertahan hidup. Tanpa kebutuhan itu, dapat dipastikan manusia akan jauh dari kehidupan yang utuh, serta menggiringnya pada kemiskinan.

Sebagai langkah maju, satu tampilan dapat disajikan: umpamanya jika seorang manusia tidak dapat memperoleh kebutuhan pendidikan secara baik dan layak, maka ia akan miskin intelektual dan dicap bodoh. Jika seorang manusia tidak dapat memperoleh sumber pendapatan yang memadai, maka ia akan miskin material, dan lebih gampang dikatakan kalau ia akan sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi jika seseorang manusia tercerai dari kebutuhan pendidikan dan ekonomi atau pula hak-hak politik, maka ia pun akan tercerai dari kesejahteraan, dan semuanya itu benar-benar mengantarkannya kepada kemiskinan.

Di sisi yang lain, persoalan “kebutuhan mendasar” selalu menjadi arena perebutan antara satu dengan lain. Mereka cenderung berada pada gerak langkah antagonistik, bertubrukan, saling mengguasi untuk memperolehnya. Sialnya jika ada keinginan lebih dari taraf normal untuk memperoleh kebutuhan tersebut (resources). Maka itu, tidak mengherankan kalau ada budaya penguasa dan yang dikuasai, atau yang akrab dikata, tuan dan budak. Tuan boleh dikonsepsikan sebagai upaya untuk selalu membedakan diri dari apa yang dilakukan oleh manusia kebanyakan, dan pada akhirnya menjadi salah satu strategi untuk mempertahankan dominasi. Pada sudut yang lain, budak dipastikan memiliki konsepsi sebagai entitas yang keberadaannya bergantung pada sang tuan.

Seseorang, jika menemukan dirinya sebagai penguasa (tuan), ia bisa didera kegelisahan, namun kesadaran bahwa dirinya menindas tidak serta-merta menjadikan ia solider terhadap yang ditindasnya. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya dengan memperlakukan orang yang ditindasnya tertindas secara paternalistik, yang dalam arti paradoks; di samping ia menindas, ia pun melindungi dan memperhatikan. Dengan begitu, ia menjadikan budak bergantung kepadanya. Lebih jauh, seorang budak karena telah bergantung kepada sang tuan, ia cukup sulit untuk memenuhi kebutuhan mendasarnya atau memperoleh kebutuhan mendasarnya secara bebas. Hal ini akan menempatkan tuan sebagai orang yang kian memperoleh pegakuan dari budak (Fukuyama 1992), dan budak kian ditempatkan secara subjektif dalam kerangka; makhluk-makhluk yang mengada demi orang lain (tuan, penguasa–penindas).

Kedua, kemiskinan dan pemiskinan. Dalam menganalisis keadilan sosial, ada kasus yang kuat untuk menilai keuntungan individu dalam hal kemampuan yang dimilikinya, yaitu, kebebasan substantif. Kebebasan adalah upaya untuk memperoleh kehidupan yang utuh disertai segala bentuk kebutuhan mendasar yang tidak didapati secara kebetulan, melainkan lewat pencarian, lewat pengakuan dan perjuangan. Hal itu secara garis besar merupakan alasan yang mesti dilakukan oleh manusia untuk memperoleh kehidupan. Namun yang menjadi soal berdebatan, siapa yang menghendaki pengakuan dan perlunya kebebasan?  Setiap individu tentunya butuh diakui, siapapun dia. Sebab pengakuan adalah bagian dari hasrat individu. Hegel melihantanya bukan saja pengakuan untuk memperoleh material, tapi juga pengakuan atas status dan martabat (dalam, Fukuyama 1992). 

Terlepas dari spektrum itu, kemiskinan harus dilihat sebagai perampasan kemampuan dasar, dan bukan hanya sebagai rendahnya pendapatan. Kemiskinan dapat dikonsepsikan sebagai bagian yang berkonsentrasi pada perampasan hak dan pendapatan, yang secara intrinsik sangat penting. Berpenghasilan rendah hanyalah instrumental signifikan. Hal ini secara telak memposisikan kemiskinan pada suatu keadaan yang kurang dari kemanusiaan, atau sama sekali tidak lagi manusia. Poinnya, orang yang miskin benar-benar bukanlah seorang manusia. Karena dengan menjadi miskin itu memberi pernyataan absolut bahwa kemanusiaanya telah dirampas (Amartya Sen 2000).

Di samping itu, mereka (sang tuan) yang telah merampas kemanusiaan (membuat pemiskinan), merupakan orang-orang yang bengkok dalam mewujudkan cita-cita kehidupan ideal. Di saat yang bersamaan, mereka pun saling berkonflik. Mereka berkonflik bukan lagi dengan orang-orang yang miskin (budak) namun dengan yang ingin juga merampas suara, kebutuhan, serta hak orang-orang yang boleh dibilang miskin itu. Dalam arti yang cukup sempit, ada perang-rembuk antara para penguasa untuk mendominasi struktur kekuasaan menuju pengontrolan atas sumber daya (resources).

Di sini, ada salah satu alasan bagi terjadinya benturan-benturan politik dan ekonomi di antara para penguasa. Ada sebuah tuntutan radikal dengan menambahkan realisasi perampasan, yang dirancang untuk menjauhkan rakyat miskin dari campur-tangan penguasa yang lain. Masing-masing para perampas ini tahu betul bahwa campur-tangan pihak (perampas) lain tidak selaras dengan kepentingannya. Yang menjadi kepentingannya adalah agar orang-orang yang miskin, yang jauh dari kesejahteraan tetap terbenam, tetap impoten di hadapan yang merampas (tuan). Namun yang mesti diketahui dari perang-rembuk antara penguasa ini, mereka sama-sama tidak sadar, bahwa mereka memiliki paradigma yang sama. Dengan memperoleh kekuasaan, maka sang penguasa menciptakan situasi-situasi nyata yang memperanakkan kemiskinan (mereka secara tegas menciptakan dunia pemiskinan). Poinnya, upaya egoistik untuk memiliki lebih banyak merupakan hak istemewa yang mesti didapatkan.

Yang ketiga, mencari-cari kehidupan yang mendalam; upaya memenuhi kebutuhan mendasar. Mengajukan tuntutan radikal agar dilakukan transformasi kenyataan secara objektif untuk melawan kemandaken subjektivitas, tidak sama dengan menyangkal peran subjektivitas dalam perjuangan untuk mengubah stuktur-struktur. Supaya keterpurukan dalam lingkungan sosial tereduksi, maka sang miskin (budak) atau orang-orang yang telah dirampas pendapatan, suara, dan haknya mesti mampu berjuang demi pembebasan diri. Mereka mesti berhenti menganggap kenyataan terpuruk sebagai jagat tertutup tanpa pintu keluar. Mereka mesti harus memandangnya sebagai sebuah situasi pembatas yang dapat diubah. Persepsi semacam ini perlu ditanamkan di dalam benak orang-orang yang terpuruk, yang miskin. Tapi hal ini bukan satu-satunya syarat yang memadai untuk menjadikan diri mereka bebas dalam memperoleh kebutuhan dasar; persepsi ini hanya bisa dijadikan daya penggerak atau sumber motivasi bagi aksi kebebasan dalam memperoleh kebutuhan dan pengakuan. 

Ketika orang-orang yang miskin menyadari bahwa mereka mengada dalam hubungan timbal-balik (dialektis) dengan para penguasa–saat mereka menyadari bahwa tanpa mereka, para penguasa tidak mungkin eksis. Mereka masih belum bebas untuk memperoleh kebutuhan dasar dan pengakuan sacara baik bila kesadaran itu belum mendorong mereka untuk bangkit berjuang membebaskan diri sendiri. Terlalu naïf dan terlalu sederhana bila menyangkal pentingnya subjektifitas dalam proses mengubah dunia dan mengubah sejarah. Sama dengan mengakui hal yang mustahil; sebuah dunia tanpa manusia.

Akhirnya, apakah kemiskinan itu mesti menjadi keharusan yang lestari? Satu ungkapan kecil yang dapat disampaikan, kemiskian, perampasan pendapatan, perampasan suara dan hak adalah kenyataan yang selalu terjadi, tetapi ia bukanlah suatu keharusan.
#SekianDulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates