Toleransi adalah kontradiksi. Toleransi hanya bisa terwujud dengan jalan intimidasi. Karena itu, toleransi merupakan sebuah bentuk kata yang rasanya "gila." Meskipun begitu, toleransi buka hanya
merupakan sebuah kata yang "gila," namun toleransi turut merancang, mengembangkan,
membangun sekaligus meruntuhkan dua pertiga hingga seluruh kehidupan di
permukaan bumi. Jika begitu, maka, apakah toleransi merupakan sesuatu yang
biofili (memiliki jiwa kehidupan) ataukah sesuatu yang menjadi lawan dari
biofili, yaitu nokrofili (tidak memiliki jiwa kehidupan)?
Secara subjektif, toleransi boleh dikonsepsikan sebagai pelumas kehidupan yang diberikan oleh satu komunitas kepada komunitas yang lain. Karena itu, secara spesifik, toleransi mengisyaratkan perbedaan. Perbedaan dalam orientasi toleransi memainkan peran penting dalam pengembangan kehidupan atau tindakan yang normal. Artinya, sejauh sebuah tindakan itu normal dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan tertentu, maka ada toleransi. Dan jika sebuah tindakan tidak normal menurut satu komunitas terhadap komunitas yang lain (mayoritas kepada minoritas; minoritas kepada mayoritas), keberadaan toleransi cenderung mengalami kekaburan.
Dalam beberapa pandangan, kehidupan atau tindakan yang normal dipercayakan menjadi ujung tombak toleransi. Namun, dapat dipastikan semua negara memiliki tujuan yang berbeda-beda ke arah kehidupan atau tindakan yang normal itu. Dan tentunya, setiap subjek penduduk di dalam sebuah negara pun mengalami hal yang sama, dalam arti, memiliki sudut pandang yang berbeda-beda tentang kehidupan atau tindakan yang normal. Yang menjadi soal, sejauh mana setiap orang atau setiap wilayah bisa menerima perbedaan, dan standar apakah yang dipakai untuk mengukur sebuah kehidupan dan tindakan yang normal?
Samuel Huntington dalam karyanya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Orde (1996), menguraikan terbentuknya benturan-benturan antara peradaban. Dalam arti, antara satu wilayah dengan wilayah yang lain, satu etnis dengan etnis yang lain, satu agama dengan agama lain, budaya yang satu dengan budaya lain, secara pasti dan bukan mungkin, mengarah kepada perbedaan-perbedaan pandangan. Dalam konteks toleransi, yang satu cenderung tak bisa menerima perbedaan yang lain. Baik mencakup gaya hidup, ekonomi, maupun kebijakan-kebijakan politik. Akhirnya, watak dari toleransi mengarah kepada apprehend life dan apprehend death. Ada sebuah pola tarik-menarik di dalam toleransi itu sendiri.
Dinamika toleransi; tarik-menarik
Di sini, sebaiknya toleransi diletakkan dalam kerangka memajukan kebahagiaan bersama jika memiliki kesamaan-kesamaan. Demi memajukan kebahagiaan bersama, setiap orang harus dicetak dalam dan berdasarkan pola yang sama. Karena itu, toleransi begitu relevan ketika bergerak di dalam ruang; orang-orang yang memiliki sudut pandang yang sama. Sebaliknya, toleransi cenderung tidak relevan jika berada di dalam ruang; orang-orang yang memiliki sudut pandang berbeda. Walaupun begitu, toleransi dapat pula berkembang di dalam sebuah tatanan masyarakat yang berbeda-beda (dari segi apapun). Tetapi perkembangan toleransi dalam masyarakat seperti itu memungkinkan adanya prioritas terhadap satu spektrum kesadaran tunggal, yaitu kehidupan atau tindakan yang normal itu sendiri. Karena cenderung tipe masyarakat yang berbeda-beda, meski berada dalam satu wilayah, menempatkan posisi yang satu terhadap yang lain sebagai outside (kelompok luar). Hal ini berarti, toleransi hanya bisa diterima tergantung pada kenaifan seseorang atau suatu masyarakat menangkap, memahami dan menerima akan kehidupan (apprehend life) dari yang lain.
Jika suatu masyarakat tidak sanggup serta tidak mampu menangkap dan mengerti kehidupan (apprehend life) dari masyarakat yang lain, toleransi dipastikan tidak ada. Kalau pun ada, toleransi itu bersifat dingin dan semu. Secara acak, jika “kita” tidak menjungkir-balikkan pola-pola kehidupan “kita,” dan menerima serta menerapkan pola kehidupan (apprehend life) dari “mereka” di dalam kehidupan “kita,” maka “kita” dipandang sebagai orang-orang yang imoralitas, terkebelakang, membahayakan, dan pantas dieliminasi hingga ke akar-akarnya. Jadi toleransi dipandang memiliki legitimasi sejauh “kita” memahami dan menangkap kehidupan dari “mereka,” dan gaya kehidupan “mereka” itulah yang merupakan apprehend life. Tapi, sejauh “kita” tidak bisa menerima apprehend life-nya “mereka,” dan menurut “kita” apprehend life-nya “mereka” adalah apprehend death bagi “kita,” tentu saja toleransi benar-benar padam, hilang.
Anggapan bahwa setiap orang memiliki sistem tertentu dalam menjalani kehidupanya adalah nyata. Setiap orang memiliki apprehend life-nya. Apprehend life diperoleh dari watak aktifitas sederhana tentang memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Yang baik itulah yang merupakan apprehend life. Meski begitu, baik menurut “kita,” belum tentu dan bukan berarti baik bagi “mereka.” Sebaliknya, yang buruk bagi “mereka” (apprehend death) belum tentu menjadi hal yang buruk bagi “kita.” Ada perbedaan besar antara cara seseorang atau suatu masyarakat memahami sebatang pohon, mengikat sebatang pohon, menatap sebatang pohon, atau melihat pantulan pohon di permukaan air.
Kehendak toleransi
Cukup jalas jika di satu sisi semua orang berpandangan bahwa warna daun itu hijau. Tetapi, di sisi lain, bagaimana misalnya, “kita” membenarkan, bahwa seekor sapi bisa terbang dan bulan itu terbuat dari keju. Perkembangan ke jalur pembenaran dan keyakinan akan hal tersebut bisa menakjubkan bagi “kita,” namun menakutkan bagi “mereka.” Olehnya itu, bagaimana mungkin “mereka” dapat menerima; sapi bisa terbang dan bulan terbuat dari keju, sebagai sesuatu yang normal, yang mesti diterima? Persoalan dan arus krisis dalam konflik akan timbul bila “kita” menghendaki agar “mereka” menerima dan menganuti pembenaran dan keyakinan itu. Pendek kata, toleransi memiliki garis lurus sepanjang apprehend life itu berkarakter normal.
Secara subjektif, toleransi boleh dikonsepsikan sebagai pelumas kehidupan yang diberikan oleh satu komunitas kepada komunitas yang lain. Karena itu, secara spesifik, toleransi mengisyaratkan perbedaan. Perbedaan dalam orientasi toleransi memainkan peran penting dalam pengembangan kehidupan atau tindakan yang normal. Artinya, sejauh sebuah tindakan itu normal dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan tertentu, maka ada toleransi. Dan jika sebuah tindakan tidak normal menurut satu komunitas terhadap komunitas yang lain (mayoritas kepada minoritas; minoritas kepada mayoritas), keberadaan toleransi cenderung mengalami kekaburan.
Dalam beberapa pandangan, kehidupan atau tindakan yang normal dipercayakan menjadi ujung tombak toleransi. Namun, dapat dipastikan semua negara memiliki tujuan yang berbeda-beda ke arah kehidupan atau tindakan yang normal itu. Dan tentunya, setiap subjek penduduk di dalam sebuah negara pun mengalami hal yang sama, dalam arti, memiliki sudut pandang yang berbeda-beda tentang kehidupan atau tindakan yang normal. Yang menjadi soal, sejauh mana setiap orang atau setiap wilayah bisa menerima perbedaan, dan standar apakah yang dipakai untuk mengukur sebuah kehidupan dan tindakan yang normal?
Samuel Huntington dalam karyanya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Orde (1996), menguraikan terbentuknya benturan-benturan antara peradaban. Dalam arti, antara satu wilayah dengan wilayah yang lain, satu etnis dengan etnis yang lain, satu agama dengan agama lain, budaya yang satu dengan budaya lain, secara pasti dan bukan mungkin, mengarah kepada perbedaan-perbedaan pandangan. Dalam konteks toleransi, yang satu cenderung tak bisa menerima perbedaan yang lain. Baik mencakup gaya hidup, ekonomi, maupun kebijakan-kebijakan politik. Akhirnya, watak dari toleransi mengarah kepada apprehend life dan apprehend death. Ada sebuah pola tarik-menarik di dalam toleransi itu sendiri.
Dinamika toleransi; tarik-menarik
Di sini, sebaiknya toleransi diletakkan dalam kerangka memajukan kebahagiaan bersama jika memiliki kesamaan-kesamaan. Demi memajukan kebahagiaan bersama, setiap orang harus dicetak dalam dan berdasarkan pola yang sama. Karena itu, toleransi begitu relevan ketika bergerak di dalam ruang; orang-orang yang memiliki sudut pandang yang sama. Sebaliknya, toleransi cenderung tidak relevan jika berada di dalam ruang; orang-orang yang memiliki sudut pandang berbeda. Walaupun begitu, toleransi dapat pula berkembang di dalam sebuah tatanan masyarakat yang berbeda-beda (dari segi apapun). Tetapi perkembangan toleransi dalam masyarakat seperti itu memungkinkan adanya prioritas terhadap satu spektrum kesadaran tunggal, yaitu kehidupan atau tindakan yang normal itu sendiri. Karena cenderung tipe masyarakat yang berbeda-beda, meski berada dalam satu wilayah, menempatkan posisi yang satu terhadap yang lain sebagai outside (kelompok luar). Hal ini berarti, toleransi hanya bisa diterima tergantung pada kenaifan seseorang atau suatu masyarakat menangkap, memahami dan menerima akan kehidupan (apprehend life) dari yang lain.
Jika suatu masyarakat tidak sanggup serta tidak mampu menangkap dan mengerti kehidupan (apprehend life) dari masyarakat yang lain, toleransi dipastikan tidak ada. Kalau pun ada, toleransi itu bersifat dingin dan semu. Secara acak, jika “kita” tidak menjungkir-balikkan pola-pola kehidupan “kita,” dan menerima serta menerapkan pola kehidupan (apprehend life) dari “mereka” di dalam kehidupan “kita,” maka “kita” dipandang sebagai orang-orang yang imoralitas, terkebelakang, membahayakan, dan pantas dieliminasi hingga ke akar-akarnya. Jadi toleransi dipandang memiliki legitimasi sejauh “kita” memahami dan menangkap kehidupan dari “mereka,” dan gaya kehidupan “mereka” itulah yang merupakan apprehend life. Tapi, sejauh “kita” tidak bisa menerima apprehend life-nya “mereka,” dan menurut “kita” apprehend life-nya “mereka” adalah apprehend death bagi “kita,” tentu saja toleransi benar-benar padam, hilang.
Anggapan bahwa setiap orang memiliki sistem tertentu dalam menjalani kehidupanya adalah nyata. Setiap orang memiliki apprehend life-nya. Apprehend life diperoleh dari watak aktifitas sederhana tentang memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Yang baik itulah yang merupakan apprehend life. Meski begitu, baik menurut “kita,” belum tentu dan bukan berarti baik bagi “mereka.” Sebaliknya, yang buruk bagi “mereka” (apprehend death) belum tentu menjadi hal yang buruk bagi “kita.” Ada perbedaan besar antara cara seseorang atau suatu masyarakat memahami sebatang pohon, mengikat sebatang pohon, menatap sebatang pohon, atau melihat pantulan pohon di permukaan air.
Kehendak toleransi
Cukup jalas jika di satu sisi semua orang berpandangan bahwa warna daun itu hijau. Tetapi, di sisi lain, bagaimana misalnya, “kita” membenarkan, bahwa seekor sapi bisa terbang dan bulan itu terbuat dari keju. Perkembangan ke jalur pembenaran dan keyakinan akan hal tersebut bisa menakjubkan bagi “kita,” namun menakutkan bagi “mereka.” Olehnya itu, bagaimana mungkin “mereka” dapat menerima; sapi bisa terbang dan bulan terbuat dari keju, sebagai sesuatu yang normal, yang mesti diterima? Persoalan dan arus krisis dalam konflik akan timbul bila “kita” menghendaki agar “mereka” menerima dan menganuti pembenaran dan keyakinan itu. Pendek kata, toleransi memiliki garis lurus sepanjang apprehend life itu berkarakter normal.
Demikian, pondasi kehidupan yang pantas diterima dan dimengerti dari “kita” terhadap “mereka” sebaliknya dari “mereka” kepada “kita” mesti dikenali dengan tegas (recognize). Sebab, seringkali kehidupan normal (apprehend life) itu bersumber dari kehendak pribadi. Bukan dari sebuah corak yang utuh, kokoh dan bulat; yang objektif.
Jarum jam tidak bisa tiputar mundur. Untuk itu, ada dua hal yang menjadi penegasan. Pertama, pengakuan terhadap toleransi yang diselenggarakan dalam kehidupan ini harus mengarah kepada hak-hak untuk memajukan kebahagiaan bersama (dalam perbedaan). Kedua, sistem produksi apprehend life yang bersumber pada kepentingan kebahagiaan seseorang atau sekelompok masyarakat harus dicegah.
Dengan begitu, hal paling mendasar yang dapat seseorang ketahui tentang toleransi adalah nilainya. Seseorang tidak bisa mengetahui nilai dari toleransi itu sendiri jika ia tidak dapat merumuskan, mengenali dengan tegas (recognize) ke-baik-an dan ke-buruk-an. Seseorang tidak dapat tahu tentang apa pun bila ia belum tahu apa itu baik dan apa itu buruk. Yang secara prinsip baik dan buruk bukan berasal dari bentuk sosialisasi, atau dari bentuk otonomi diri, namun dari bentuk yang dikenali secara tegas (recognize), yang disepakati dan memperoleh pengakuan bersama. Pengakuan akan satu terhadap yang lain merupakan konsep yang mendasari seluruh pemikiran tentang masa depan toleransi.
#SekianDulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar