Halaman

Minggu, 28 April 2013

Persahabatan atau Cinta

Renungan Awal 
Asumsinya, kebajikan adalah jenis pegetahuan. Namun tidak sama dengan pengetahuan tukang pahat atau pengetahuan tentang pekerjaan tertentu. Jenis pengetahuan yang diperlukan adalah pengetahuan mengenai cara mengorganisasi dan menjalakan segenap hati dan pikiran dengan sebaik mungkin. Dengan begitu, kebajikan adalah motif unggul dalam sebuah persahabatan. Persahabatan yang murni dan sejati. Poinnya, mengorganisir segenap hati dan pikiran adalah anak kunci atau intisari pengetahuan tentang persahabatan.

Berdasarkan asumsi subjektif itu, tulisan ini berusaha meletakkan orientasinya pada inti persahabatan yang dikembangkan Aristoteles dalam karya, The Nicomachean Ethics of Aristotle, 1836.

Menurut Aristoteles, persahabatan sama persis dengan cinta (friendship or love). Persahabatan boleh dibilang alami jika mengisyaratkan kebajikan. Pada satu sisi, kebajikan selain sebagai jenis pengetahuan mengorganisir, di sisi lain, merupakan serangkaian nilai atau norma informal pemberi teladan yang digunakan bersama di antara orang-orang dalam sebuah kelompok; antarpribadi, yang memungkinkan mereka saling bersahabat atau bekerja sama. Itu berarti, kebajikan berfungsi sebagai pelumas yang membuat setiap orang menjalankan persahabatannya ke arah yang efisien.

Persahabatan sangat penting dalam kehidupan setiap orang. Aristoteles mengamati, tidak seorang pun akan memilih hidup tanpa teman. Meskipun seseorang mengisi kehidupannya dengan hal-hal yang baik, ia tidak mungkin mengabaikan pertemanan. Atau, ia tak ingin hidup jika tak ada teman. Lebih jauh, cukup adil bila kita berada di dalam situasi yang terpuruk; kepedihan, kesunyian, di saat bersamaan dan secara cepat, kita akan memerlukan sekaligus menganggap teman sebagai tempat berlindung satu-satunya. Meskipun begitu, dalam pandangan Aristoteles, kita perlu membedakan antara persabatan itu sendiri. Mana bentuk persahabatan yang benar-benar sejati, dan mana bentuk persahabatan yang hanya mengutamakan kesenangan dan manfaat. Yang mengutamakan kesenangan dan manfaat, seseorang terhadap yang lain, secara pasti bukan persahabatan (sejati). Dengan kata lain, mengatasnamakan persahabatan untuk kepentingan pribadi; pada kesenangan semata; dan pada upaya saling memanfaatkan kehadiran orang lain, adalah watak yang buruk di dalam persahabatan.

Dinamika Persahabatan
Persahabatan tampaknya ditanamkan oleh alam dalam dan kepada nenek moyang (orang tua). Dari nenek moyang (orang tua) kepada keturunannya. Meski begitu, persahabatan tidak hanya tertanan di dalam diri manusia, ia juga tertanam dikalangan binatang-binatang. Dalam pengertian yang lebih luas, persahabatan adalah sebuah cara yang efektif untuk digunakan bersama di dalam dan untuk membangun, mengikat sebuah komunitas (negara). Seorang pembuat hukum, misalnya, akan lebih bersemangat untuk mengamankan persahabatan daripada keadilan.

Pada spektrum yang lain, persahabatan boleh dibilang erat hubungannya dengan kerukunan. Karena di dalam kerukunan, persahabatan kian dipertahankan sebagai metode pencegah pertikaian. Jika subjek penduduk di dalam satu komunitas saling bersahabat, kecenderungan memerlukan keadilan tidak begitu penting. Sebaliknya, jika di dalam satu komunitas cerminan keadilan begitu tajam, subjek penduduk bukan hanya cenderung namun pasti membutuhkan persahabatan atau sebuah cinta. Karena kelengkapan dari terwujudnya sebuah keadilan tampaknya didasarkan atas persahabatan atau cinta itu (friendship or love). Untuk itu, yang paling terpenting adalah menjaga otoritas kepercayaan. Tanpa kepercayaan, persahabatan yang sejati tak terwujud.

Setiap orang memiliki materi, baik dalam bentuk lunak maupun keras. Misalnya, uang, tanah, rumah, buku, lukisan dinding, dsb. Sangatlah pasti, bentuk kasih sayang terhadap materi berbeda dengan bentuk kasih sayang kepada seorang manusia. Jika kita menyayangi materi, begitu masuk akal di letakkan dalam kerangka "harapan." Artinya, kita berharap materi yang disukai itu akan terjaga atau tersimpan dengan baik. Karena tak ada pengembalian kasih sayang dari materi kepada kita. Mustahil jika kita berharap ada kasih sayang dari materi kepada kita. Inilah yang membedakan materi dengan manusia. Namun, Aristoteles melanjutkan, berbada dengan harapan yang lahir dalam diri kita kepada sesama. Jika kita berharap memperoleh seorang sahabat yang baik atau sahabat itu mesti orang yang baik, maka bentuk harapan itu mencerminkan sebuah pola kepentingan pribadi. Sejauh persahabatan hanya memajukan harapan-harapan yang bersumber dari kepentingan pribadi, persahabatan tersebut mengara pada apa yang menjadi lawan dari kebahagiaan.

Euripides dan Heraclitus, menulis: “The parched earth loves the rain... And the high heaven, with moisture laden, loves Earthwards to fall”. Lanjut, Heraclitus: “Opposites fit together” and “Out of discordant elements comes the fairest harmony,” and “It is by battle that all things come into the world.” Ungkapan metafor ini memcerminkan sesuatu yang harmoni tidaklah berasal dari harapan, melainkan cinta. Meskipun ada garis dan jarak yang berlawanan antara materi yang satu ke materi yang lain, tetapi, ketika bertemu (atau dipertemukan), mampu menciptakan harmoni yang paling adli. Setiap manusia, siapapun dia, memiliki karakter yang berbeda-beda. Dalam terang semangat persahabatan yang mengarahkan manusia satu terhubung dengan yang lain, keberadaan harapan hampir pasti tidak memiliki legitimasi. Karena harapan bukan esensi dari persahabatan sejati, namun cinta. Untuk memperoleh persahabatan sejati, manusia di-haruskan meng-eliminasi-kan harapan. Manusia di-haruskan untuk tidak berharap, melainkan mencintai tanpa pandang bulu. Timbul pertanyaan, apakah persahabat sejati ada di dalam diri setiap manusia? Apakah kebaikan adalah unsur tunggal dalam persahabatan? Dan, tidakkah persahabatan itu berfariasi? 

Makna Persahabatan
Di sini, minat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara panjang-lebar tidaklah relevan. Tetapi, marilah kita mengikuti pemikiran-pemikiran dari Aristoteles dalam memetakkan persahabatan yang sesungguhnya.

Dalam persahabatan kita perlu mengetahui sifat mencintai dan dicintai. Tampaknya manusia pada satu sisi, mencintai, dan sisi lain, dicintai. Mencintai dan dicintai sama-sama berguna sejauh memajukan kepentingan pribadi. "Kita" mencintai "mereka," karena kepentingan-kepentingan pribadi dari diri "kita" telah dipenuhi oleh "mereka." Sebaliknya, "kita" dicintai oleh "mereka" kerena "kita" telah memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi "mereka." Apa yang salah dari hal ini? Tak ada yang salah. Akan menjadi salah ketika "kita" atau "mereka" sama-sama berada pada pencapaian kesengangan pribadi, bukan kesenangan atau kebehagiaan bersama. Sejauh "kita" mampu memberi kebahagiaan kepada "mereka" dan sejauh "mereka" mampu menghadirkan kebahagiaan kepada "kita," dan itulah yang hanya menjadi tujuan, maka persahabatan atau cinta hanya bersifat dingin dan semu. Kedua-duanya terjebak pada pengejaran kebahagiaan pribadi, bukan kebahagiaan bersama. Dalam membagun persahabatan, karakter dari masing-masing subjek menjadi penting. Sementara harapan untuk memperoleh kebaikan dan kesenangan dari satu terhadap yang lain adalah kecelakaan dalam membangun persahabatan. Terkecuali, sama-sama mengejar kebaikan dan kebahagiaan bersama.

Karakter adalah dasar dalam membangun hubungan. Namun karakter memerlukan pengakuan. "Kita" perlu mengakui "mereka," baik selaku manusia itu sendiri atau selaku orang yang bersahabat dengan "kita," dan sebaliknya, "kita" pun perlu diakui oleh mereka. Sama-sama mengakui, berarti sama-sama memajukan kebahagiaan. Meskipun begitu, manusia cenderung mengabaikan karakter. Karakter hanya penting sejauh mampu menciptakan kebaikan dan kesenangan. Pada akhirnya, hal seperti ini akan mengantarkan manusia pada posisi;  “siapa dia” yang hanya dilihat sebagai yang berguna dan sebagai yang menyenangkan (not as being what he is, but as useful or pleasant). Pandangan seperti ini mudah melarutkan hubungan persahabatan. Karena, jika "kita" berhenti untuk memberikan rasa kenyamanan bagi "mereka", maka dengan sendirinya persahabatan atau cinta akan berhenti. Poinnya, persahabatan itu dipandang baik sejauh memajukan kebahagiaan bersama, sedangkan buruk sejauh memajukan kepentingan atau kebahagiaan pribadi. Persahabatan yang menjunjung kebahagiaan bersama melihat karakter manusia sebagai daras. Apa pun bentuk karakter itu. 

Inti Persahabatan
Apa yang telah dipaparkan di atas akan membawa kita untuk melihat sedikit jauh persoalan hakikat dan sejauh mana pengaruh yang mestinya dimiliki oleh seseorang dalam mengembangkan pola-pola persahabatan.

Barangkali kita sering berkampaye, bahwa kita adalah orang yang sangat berhasil membangun kebaikan bagi sesama (sahabat). Sampai-sampai ketika memberi makan asam-garam pun bagi sesama, kita mengkampanyekannya. Dan nyaris tak satupun dari bentuk kampanye itu mampu mengenyahkan rasa ngeri dalam diri kita. Hal ini jelas bukanlah persabatan yang dimaksudkan oleh Aristoteles.

Dalam masyarakat, hubungan timbal-balik di mana seseorang mempercayai orang lain; saling menghormati kemandirian satu terhadap lain, berdasarkan karakter masing-masing, merupakan konsepsi persahabatan yang khas. Meskipun begitu, bukan berarti konseps ini tidak ada konflik. Bukan berarti pula tidak ada perdebatan emosional serta perdebatan pikiran. Konflik dan segala bentuk perdebatan adalah kekuatan riil dan prestasi dalam menjalani persahabatan. Ada konflik-konflik (besar dan kecil) dalam menjalani persahabatan. Konflik itu bukan menjadi sejata untuk menghancurkan hubungan persahabatan. Tapi konflik dapat dimanfaatkan untuk lebih meningkatkan persahabatan. Saling mengingatkan, saling menegur (jika terdapat kesalahan), meskipun bernada keras, namun menuju pada kebaikan bersama, merupakan dinamika yang sesungguhnya hidup dalam menjalankan sebuah persahabatan. Dengan demikian, ada yang mengatakan; bentakan-bentakan itu perlu untuk menangkal kemanisan (kamuflase) dalam membangun persahabatan.
#SekianDulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates