Halaman

Sabtu, 27 April 2013

Titik Didih Konflik

Penyelidikan kritis tentang defenisi konflik telah banyak dikembangkan oleh para ilmuan atau para praktisi, yang mengguluti dinamika konflik itu sendiri seturut perkembangan zaman dan situasi. Dalam proses penyelidikan, tiap defenisi atau katakanlah pernyataan yang masih dibuntuti kesangsian terhadap kehadiran konflik mesti disisihkan pula, agar paras dari konflik itu dapat dipahami dengan benar. Mari kita cermati.
Berdasarkan teori mikro yang memenuhi syarat perilaku individu, manusia ditempatkan sebagai bagian dari kerajaan binatang. Dalam hal ini, manusia tidak jauh berbeda dengan binatang. Perilaku agresi manusia yang secara prinsip ingin medominasi suatu wilayah atau menguasai sesuatu demi kelangsungan hidupnya persis seperti apa yang dilakukan oleh binatang. Ini tentunya merupakan esensi dari kehadiran konflik yang diyakini dengan sendirinya sudah mengakar dalam banak manusia. Dan bukan diserap dari pengalaman manusia. Artinya bahwa, ada sistem tunggal atau zat alami [naluri] tentang konflik [keburukan – kebaikan] yang telah mendarah-daging dalam raga manusia. Jadi kualitas kejernihan dan ketegasan tentang wujud konflik itu secara prinsip telah berdiam dalam pikiran maupun emosi manusia yang mengikuti tatanan alamiahnya sendiri. Olehnya itu, manusia disetarakan dengan kerajaan binatang.
Tetapi keabsahan dari defenisi ini bisa saja mengalami kepincangan atau dibuntuti kesangsian. Sebab, jika digambarkan secara kasar, manusia memiliki motivasi yang berbeda dengan binatang. Dan berdasarkan seleksi acak pun, manusia itu secara hakiki dan metafisik berbeda dari binatang-binatang lain. Atau yang paling berbobot, manusia merupakan makhluk unik yang mempunyai jiwa transenden, dan jiwa transenden inilah yang tidak dimiliki oleh binatang-binatang yang lain.
Dengan hati-hati sejenak kita kesampingkan defenisi di atas itu, lalu melihat anti-tesisnya. Jagat gagasan fundamental tentang wujud dari konflik lahir dalam pertemuan di Seville – Spanyol 1986. Pertemuan ini melibatkan para psikolog, ahli saraf, ahli genetika, antropolog, dan ilmuan politik. Gagasan fundamental yang tercabut keluar dari pertemuan itu adalah; manusia tidak sama dengan binatang dalam hal berkonflik. Atau manusia tidak memiliki bawaan seperti bintang-binatang yang lain dalam mewujudkan konflik. Manusia pasti telah bekomitmen untuk menghadirkan konflik [keburukan – kebaikan]. Konflik [keburukan – kebaikan] adalah hasil dari sosialisasi dan pengkondisian. Fenomena perencanaan yang dibingkai dalam sebuah organisasi. Jadi, dapat dikatakan bahwa, konflik [keburukan – kebaikan] adalah daya-cipta manusia.
Namun sebagai langkah maju, jika merujuk pada teori frustasi, maka defenisi konflik  memberikan titik yang berbeda. Konflik dapat ditelusuri pada tujuan pribadi manusia itu sendiri atau pada tujuan suatu kelompok manusia. Sebagai fakta tegas yang tidak tergoyahkan, konflik terjadi akibat melambungnya kebutuhan mendasar dari manusia. Atau konflik itu ada karena kegagalan seorang aktor untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan. Berbeda misalnya dengan teori pembelajaran sosial. Teori ini melahirkan defenisi bahwa, agresi dari manusia yang sering menjadi pemicu konflik bukanlah bawaan atau insting dari manusia itu. Tetapi, benar-benar dipelajari dari proses interaksi manusia dalam sebuah tatanan kehidupan bermasyarakat. Agar masuk akal, suatu tampilan dapat disajikan. Umpamanya, seorang anak dibesarkan dan didik dalam sebuah tatanan masyarakat yang kacau-balau dan pada gilirannya anak tersebut akan mengadopsi faktor-faktor mendasar dari sifat masyarakat yang kacau-balau itu. Apalagi jika ada dorongan yang kuat terhadap anak itu untuk memberlangsungkan sikap yang buruk. Artinya bahwa, cara dimulainya didikan pada diri seorang anak dalam sebuah masyarakat yang kacau-balau akan menentukan kehidupan anak itu dikemudian hari. Dalam satu kalimat, individu dipengaruhi oleh masyarakat, dan jika masyarakat itu bertatanan buruk, maka yang lahir ialah seorang individu yang buruk pula. Sebagai lawannya, jika seorang individu hidup dalam suatu tatanan masyarakat yang tertindas dan menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, dan dibuat tidak berdaya oleh para penindas. Maka, secara pasti ia ada di dalam virus terkecil sampai galaksi mahabesar – dalam kenyataan ia ada ditengah-tengah segerombolan masyarakat yang ingin memberontak [konflik] demi membebaskan diri dari situasi penindasan. Kelak ia akan bercermin dari kehidupan tertindas itu, lagi berpartisipasi bersama-sama dengan masyarakat tersebut untuk menciptakan perubahan ke arah yang baik. Inilah paras konflik yang diserap dari pengalaman manusia berdasarkan interaksinya dalam masyarakat.
Perbedaan-perbedaan mengenai defenisi konflik yang telah dipaparkan ini memberikan isyarat mutlak bahwa, tulisan ini belum membedakan dengan tegas antara konflik yang mendatangkan manfaat dan konflik yang berujung pada kekerasan [keburukan – kebaikan]. Kalau memang begitu persoalannya, maka perlu mengusulkan pengertian umum tentang konflik yang mendatangkan manfaat, lagi suatu pola konflik yang berujung kekerasan. Tetapi untuk menemukan kunci ke situ, kita mesti memperjelas dulu defenisi umum tentang konflik.  
Konflik adalah suatu proses di mana dua orang [atau lebih] mengejar tujuan-tujuan yang kompatibel. Dan satu pihak mencoba untuk melemahkan potensi – tujuan dari pihak lain. Fakta mandiri lain dari defenisi konflik yang tidak jauh berbeda adalah, konflik dapat dilihat sebagai situasi di mana dua orang atau lebih [entitas sosial] secara pasti dan terstruktur merasa bahwa mereka memiliki tujuan yang saling bertentangan. Lagi, konflik terjadi ketika dua orang atau lebih [kelompok] memanifestasikan keyakinan bahwa mereka memiliki tujuan yang tidak sesuai.
Pertimbangan-pertimbangan defenisi di atas sepertinya diajukan untuk melihat percikan kecil watak konflik. Lebih daripada itu, watak konfik yang mempertegas tentang manfaat dan kekerasan [keburukan – kebaikan] akan dianyam pada pembahasan di bawah ini. 

Gerak dan Persoalan: Konflik yang Menciptakan Manfaat dan Kekerasan.
Konflik adalah kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat [konflik] biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar masyarakat yang terlibat dalam konflik. Konflik itu timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan dalam suatu komunitas. Baik mencakup antarindividu, kelompok masyarakat, bahkan sampai pada skala yang lebih luas, dalam hal ini negara. Sebagai contoh, adanya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang – yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan, kejahatan, dan lain-lain. Ditambah pula perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh berbagai dimensi, seperti perbedaan status, kekuasaan, kekayaan, dan peran menurut jender. Situasi ini sepatutnya memerlukan kehadiran konflik yang tentunya perlu diorganisir secara baik pula, agar situasi dapat menjadi lebih baik.
Asumsinya, suatu kenyataan tidak mesti merupakan suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari apa yang seharusnya, maka yang mesti dilakukan ialah, perubahan terhadap kenyataan itu. Ini melibatkan tahap yang disebut “pencarian ke tingkat manusiawi”. Tidak diragukan lagi jika kenyataannya ada diskriminasi, kemiskinan, penindasan, kejahatan, penganguran, perbedaan status kekuasaan, dan lain-lain [silahkan ditambahkan], maka tuntutan konkretnya dilakukan transformasi terhadap kenyataan secara objektif. Sebab, tidak seharusnya manusia hidup dalam kemandekan-kemandekan yang bersifat penindasan, kemiskinan dan lain-lainnya. Pada tahap ini konflik begitu bermanfaat. Konflik diperlukan. Konflik mesti dihadirkan dan dikelola secara efektif. Dengan kata lain, upaya merekonstruktif situasi keterpurukan yang membuka peluang ke arah perubahan-perubahan berarti.
Terlalu naïf dan terlalu sederhana bila menyangkal pentingnya konflik dalam proses mengubah dunia dan mengubah sejarah [kenyataan hidup yang terpuruk]. Sama dengan mengakui hal yang mustahil: sebuah dunia tanpa manusia. Namun demikian, jika suatu konflik ditekan, masalah-masalah baru akan muncul di masa depan. Konflik itu sendiri barangkali saja menjadi bagian dari solusi atau suatu masalah. Dan konflik bisa berubah menjadi kekerasan jika; saluran dialog dan wadah untuk mengungkapkan perbedaan pendapat tidak memadai. Seterusnya, suara-suara ketidaksepakatan dan keluhan-keluhan yang terpendam tidak didengar dan diatasi. Bahkan, banyak ketidakstabilan, ketidakadilan dan ketakutan dalam masyarakat lebih meluas.
Satu defenisi abadi tentang kekerasan yang dapat ditampilkan di sini adalah, kekerasan itu meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh.
Dalam mengajukan tuntutan radikal, kekerasan pun dapat dikatakan sebagai bagian dari dimensi kehidupan. Kekerasan bukan hanya mencakup fisik seperti pembunuhan [meliputi perang], pemukulan, penyiksaan, tetapi juga mencakup non-fisik seperti mengeluarkan kata yang kasar dan kotor [caci-maki]. Kekerasan tidak pernah habis selagi masih ada individu, kelompok masyarakat, bahkan negara. Tetapi bagaimanapun, apa pun nama dan alasannya, kekerasan adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan [dehumanisasi]. Untuk itu, kekerasan harus direduksi, dibunuh habis atau dibekukan serta disiksa secara bersama.
Pada akhirnya, konflik bisa bergaung ke sana ke mari maju-mundur dalam ayunan kompromi untuk melahirkan manfaat. Konflik bisa pula mengumumkan gencatan senjata saat kedua pihak mencapai keekstreman. Demikian, perang-rembuk antara konflik yang melahirkan manfaat dan menghasilkan kekerasan mesti mencapai puncak kesimpulan yang secara logis menjadi titik didih bersama. Titik didih itu tidak mesti dipandang sebagai dikotomi. Dalam pengertian, bukan menjadi dua hal yang saling bertentangan. Konflik yang mampu melahirkan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia dalam situasi terpuruk dan konflik yang berujung kekerasan adalah suatu fungsi yang dialektis yang ajeg [constant]. Semuanya teletak dan tergantung pada pengelolaan serta peng[organisasi]an. Inilah titik didih itu. Sekian dulu.


Sumber:
Johan Galtung, Conflict Transformation by Peaceful Means, [Source; http://www.transcend.org]. 
Tim Jacoby, Understanding Conflict and Violence; Theoretical and interdisciplinary approaches, [British Library of Congress Cataloging in Publication Data; 2008].
Simon Fisher., et al. Mengelola Konflik, Ketrampilan & Strategi untuk Bertindak, [The British Council, Indonesia; Jakarta 2001].


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates