Penyelidikan kritis tentang
defenisi konflik telah banyak dikembangkan oleh para ilmuan atau para praktisi,
yang mengguluti dinamika konflik itu sendiri seturut perkembangan zaman dan
situasi. Dalam proses penyelidikan, tiap defenisi atau katakanlah pernyataan
yang masih dibuntuti kesangsian terhadap kehadiran konflik mesti disisihkan
pula, agar paras dari konflik itu dapat dipahami dengan benar. Mari kita
cermati.
Berdasarkan teori mikro
yang memenuhi syarat perilaku individu, manusia ditempatkan sebagai bagian dari
kerajaan binatang. Dalam hal ini, manusia tidak jauh berbeda dengan binatang.
Perilaku agresi manusia yang secara prinsip ingin medominasi suatu wilayah atau
menguasai sesuatu demi kelangsungan hidupnya persis seperti apa yang dilakukan
oleh binatang. Ini tentunya merupakan esensi dari kehadiran konflik yang
diyakini dengan sendirinya sudah mengakar dalam banak manusia. Dan bukan
diserap dari pengalaman manusia. Artinya bahwa, ada sistem tunggal atau zat
alami [naluri] tentang konflik [keburukan – kebaikan] yang telah
mendarah-daging dalam raga manusia. Jadi kualitas kejernihan dan ketegasan
tentang wujud konflik itu secara prinsip telah berdiam dalam pikiran maupun
emosi manusia yang mengikuti tatanan alamiahnya sendiri. Olehnya itu, manusia
disetarakan dengan kerajaan binatang.
Tetapi keabsahan dari
defenisi ini bisa saja mengalami kepincangan atau dibuntuti kesangsian. Sebab,
jika digambarkan secara kasar, manusia memiliki motivasi yang berbeda dengan
binatang. Dan berdasarkan seleksi acak pun, manusia itu secara hakiki dan
metafisik berbeda dari binatang-binatang lain. Atau yang paling berbobot,
manusia merupakan makhluk unik yang mempunyai jiwa transenden, dan jiwa
transenden inilah yang tidak dimiliki oleh binatang-binatang yang lain.
Dengan hati-hati
sejenak kita kesampingkan defenisi di atas itu, lalu melihat anti-tesisnya. Jagat
gagasan fundamental tentang wujud dari konflik lahir dalam pertemuan di Seville
– Spanyol 1986. Pertemuan ini melibatkan para psikolog, ahli saraf, ahli genetika,
antropolog, dan ilmuan politik. Gagasan fundamental yang tercabut keluar dari
pertemuan itu adalah; manusia tidak sama dengan binatang dalam hal berkonflik.
Atau manusia tidak memiliki bawaan seperti bintang-binatang yang lain dalam
mewujudkan konflik. Manusia pasti telah bekomitmen untuk menghadirkan konflik
[keburukan – kebaikan]. Konflik [keburukan – kebaikan] adalah hasil dari
sosialisasi dan pengkondisian. Fenomena perencanaan yang dibingkai dalam sebuah
organisasi. Jadi, dapat dikatakan bahwa, konflik [keburukan – kebaikan] adalah
daya-cipta manusia.
Namun sebagai langkah
maju, jika merujuk pada teori frustasi, maka defenisi konflik memberikan titik yang berbeda. Konflik dapat
ditelusuri pada tujuan pribadi manusia itu sendiri atau pada tujuan suatu
kelompok manusia. Sebagai fakta tegas yang tidak tergoyahkan, konflik terjadi
akibat melambungnya kebutuhan mendasar dari manusia. Atau konflik itu ada
karena kegagalan seorang aktor untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan. Berbeda
misalnya dengan teori pembelajaran sosial. Teori ini melahirkan defenisi bahwa,
agresi dari manusia yang sering menjadi pemicu konflik bukanlah bawaan atau
insting dari manusia itu. Tetapi, benar-benar dipelajari dari proses interaksi
manusia dalam sebuah tatanan kehidupan bermasyarakat. Agar masuk akal, suatu
tampilan dapat disajikan. Umpamanya, seorang anak dibesarkan dan didik dalam
sebuah tatanan masyarakat yang kacau-balau dan pada gilirannya anak tersebut
akan mengadopsi faktor-faktor mendasar dari sifat masyarakat yang kacau-balau
itu. Apalagi jika ada dorongan yang kuat terhadap anak itu untuk
memberlangsungkan sikap yang buruk. Artinya bahwa, cara dimulainya didikan pada
diri seorang anak dalam sebuah masyarakat yang kacau-balau akan menentukan
kehidupan anak itu dikemudian hari. Dalam satu kalimat, individu dipengaruhi
oleh masyarakat, dan jika masyarakat itu bertatanan buruk, maka yang lahir
ialah seorang individu yang buruk pula. Sebagai lawannya, jika seorang individu
hidup dalam suatu tatanan masyarakat yang tertindas dan menjadi tidak manusiawi
karena hak-hak asasi mereka dinistakan, dan dibuat tidak berdaya oleh para
penindas. Maka, secara pasti ia ada di dalam virus terkecil sampai galaksi
mahabesar – dalam kenyataan ia ada ditengah-tengah segerombolan masyarakat yang
ingin memberontak [konflik] demi membebaskan diri dari situasi penindasan.
Kelak ia akan bercermin dari kehidupan tertindas itu, lagi berpartisipasi
bersama-sama dengan masyarakat tersebut untuk menciptakan perubahan ke arah yang
baik. Inilah paras konflik yang diserap dari pengalaman manusia berdasarkan
interaksinya dalam masyarakat.
Perbedaan-perbedaan
mengenai defenisi konflik yang telah dipaparkan ini memberikan isyarat mutlak
bahwa, tulisan ini belum membedakan dengan tegas antara konflik yang
mendatangkan manfaat dan konflik yang berujung pada kekerasan [keburukan – kebaikan].
Kalau memang begitu persoalannya, maka perlu mengusulkan pengertian umum
tentang konflik yang mendatangkan manfaat, lagi suatu pola konflik yang
berujung kekerasan. Tetapi untuk menemukan kunci ke situ, kita mesti
memperjelas dulu defenisi umum tentang konflik.
Konflik adalah suatu proses
di mana dua orang [atau lebih] mengejar tujuan-tujuan yang kompatibel. Dan satu
pihak mencoba untuk melemahkan potensi – tujuan dari pihak lain. Fakta mandiri
lain dari defenisi konflik yang tidak jauh berbeda adalah, konflik dapat
dilihat sebagai situasi di mana dua orang atau lebih [entitas sosial] secara
pasti dan terstruktur merasa bahwa mereka memiliki tujuan yang saling
bertentangan. Lagi, konflik terjadi ketika dua
orang atau lebih [kelompok] memanifestasikan keyakinan
bahwa mereka
memiliki tujuan yang tidak sesuai.
Pertimbangan-pertimbangan
defenisi di atas sepertinya diajukan untuk melihat percikan kecil watak
konflik. Lebih daripada itu, watak konfik yang mempertegas tentang manfaat dan
kekerasan [keburukan – kebaikan] akan dianyam pada pembahasan di bawah
ini.
Gerak dan
Persoalan: Konflik yang Menciptakan Manfaat dan Kekerasan.
Konflik
adalah kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik
terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat
[konflik] biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan
situasi yang lebih baik bagi sebagian besar masyarakat yang terlibat dalam
konflik. Konflik itu timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan
dalam suatu komunitas. Baik mencakup antarindividu, kelompok masyarakat,
bahkan sampai pada skala yang lebih luas, dalam hal ini negara. Sebagai contoh,
adanya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang
tidak seimbang terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang – yang
kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran,
kemiskinan, penindasan, kejahatan, dan lain-lain. Ditambah pula
perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh berbagai dimensi, seperti perbedaan
status, kekuasaan, kekayaan, dan peran menurut jender. Situasi ini sepatutnya
memerlukan kehadiran konflik yang tentunya perlu diorganisir secara baik pula,
agar situasi dapat menjadi lebih baik.
Asumsinya,
suatu kenyataan tidak mesti merupakan suatu keharusan. Jika kenyataan
menyimpang dari apa yang seharusnya, maka yang mesti dilakukan ialah, perubahan
terhadap kenyataan itu. Ini melibatkan tahap yang disebut “pencarian ke tingkat
manusiawi”. Tidak diragukan lagi jika kenyataannya ada diskriminasi,
kemiskinan, penindasan, kejahatan, penganguran, perbedaan status kekuasaan, dan
lain-lain [silahkan ditambahkan], maka tuntutan konkretnya dilakukan
transformasi terhadap kenyataan secara objektif. Sebab, tidak seharusnya
manusia hidup dalam kemandekan-kemandekan yang bersifat penindasan, kemiskinan
dan lain-lainnya. Pada tahap ini konflik begitu bermanfaat. Konflik diperlukan.
Konflik mesti dihadirkan dan dikelola secara efektif. Dengan kata lain, upaya
merekonstruktif situasi keterpurukan yang membuka peluang ke arah perubahan-perubahan
berarti.
Terlalu naïf
dan terlalu sederhana bila menyangkal pentingnya konflik dalam proses mengubah
dunia dan mengubah sejarah [kenyataan hidup yang terpuruk]. Sama dengan
mengakui hal yang mustahil: sebuah dunia tanpa manusia. Namun demikian, jika
suatu konflik ditekan, masalah-masalah baru akan muncul di masa depan. Konflik
itu sendiri barangkali saja menjadi bagian dari solusi atau suatu masalah. Dan
konflik bisa berubah menjadi kekerasan jika; saluran dialog dan wadah untuk
mengungkapkan perbedaan pendapat tidak memadai. Seterusnya, suara-suara
ketidaksepakatan dan keluhan-keluhan yang terpendam tidak didengar dan diatasi.
Bahkan, banyak ketidakstabilan, ketidakadilan dan ketakutan dalam masyarakat
lebih meluas.
Satu
defenisi abadi tentang kekerasan yang dapat ditampilkan di sini adalah,
kekerasan itu meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau
sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan,
dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh.
Dalam
mengajukan tuntutan radikal, kekerasan pun dapat dikatakan sebagai bagian dari
dimensi kehidupan. Kekerasan bukan hanya mencakup fisik
seperti pembunuhan [meliputi perang], pemukulan, penyiksaan, tetapi juga
mencakup non-fisik seperti mengeluarkan kata yang kasar dan kotor [caci-maki].
Kekerasan tidak pernah habis selagi masih ada individu, kelompok masyarakat,
bahkan negara. Tetapi bagaimanapun, apa pun nama dan alasannya, kekerasan
adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan
[dehumanisasi]. Untuk itu, kekerasan harus direduksi, dibunuh habis atau
dibekukan serta disiksa secara bersama.
Pada akhirnya, konflik
bisa bergaung ke sana ke mari maju-mundur dalam ayunan kompromi untuk
melahirkan manfaat. Konflik bisa pula mengumumkan gencatan senjata saat kedua
pihak mencapai keekstreman. Demikian, perang-rembuk antara konflik yang
melahirkan manfaat dan menghasilkan kekerasan mesti mencapai puncak kesimpulan
yang secara logis menjadi titik didih bersama. Titik didih itu tidak mesti
dipandang sebagai dikotomi. Dalam pengertian, bukan menjadi dua hal yang saling
bertentangan. Konflik yang mampu melahirkan manfaat bagi kelangsungan hidup
manusia dalam situasi terpuruk dan konflik yang berujung kekerasan adalah suatu
fungsi yang dialektis yang ajeg [constant].
Semuanya teletak dan tergantung pada pengelolaan serta peng[organisasi]an.
Inilah titik didih itu. Sekian dulu.
Sumber:
Johan Galtung, Conflict
Transformation by Peaceful Means,
[Source; http://www.transcend.org].
Tim Jacoby, Understanding Conflict and
Violence; Theoretical and interdisciplinary
approaches, [British Library of Congress Cataloging in
Publication Data; 2008].
Simon Fisher., et al. Mengelola
Konflik, Ketrampilan & Strategi untuk Bertindak, [The British Council, Indonesia; Jakarta 2001].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar