Di Maluku - Indonesia ini, adalah kemewahan
untuk menghirup hawa kehidupan. Rumputan bersemi, kuncup merekah, padang
dan pegunungan berlukiskan mawar dan emas dalam kembang-kembang aneka-warna.
Udara sarat kicau burung, dialiri hawa manis pohon salawaku, semerbak
pohon cengke dan pala. Anak-anak ikan takkan henti-hentinya membuka
matanya lebar-lebar, berenang mengikuti arus lautan, tercabut dari tubir
melambung ke udara bersama ombak yang meninggi.
Jika malam tiba, di kegelapan yang hampir transparan
bintang-bintang mencurahkan sinarnya yang sungguh rohaniah. Di bawah
semua itu, orang-orang Maluku terasa bagai kanak-kanak yang bola bumi
raksasa [Sumber Daya Alam] adalah mainannya. Malam benar-benar sejuk,
dan seolah bumi ini [Sumber Daya Alam] selalu dimandikan dengan air
keringat orang-orang Maluku.
Kini orang-orang Maluku mesti menyiapkan matanya
untuk menyambut rekah fajar yang jauh dari warna jingga. Orang-orang
Maluku dipaksa menghormati suatu kebohongan yang lebih tinggi dari eksistensi
dasarnya. Betapa luas - sungguh kaya; dalam kesuburan tanahnya, dalam
bentangan lautanya yang dapat dilayari, dalam pegunungannya yang menyimpan
logam, dalam rimba-rimbanya yang menyuguhkan kayu-kayuan, dalam daya
dan jalur cahayanya, daya tarik dan kehidupannya; semua itu tak sia-sia
ditaklukkan dan dinikmati oleh pikiran dan batin orang-orang besar.
Sang penanam modal, sang pengusaha, sang pemerintah bebal, sang P dan
T dengan huruf besar, dan sang-sang terselip namun eksis. Begitulah
orang-orang besar menamakan diri mereka di dalam bola bumi raksasa [Sumber
Daya Alam] yang menjadi mainan masa kanak-kanaknya orang Maluku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar