Halaman

Sabtu, 16 Februari 2013

Siapakah Indonesia itu? [edisi kesatu]


Tulisan ini tidak berupaya menawarkan panduan sistematis yang memuat pandangan-pandangan terhadap pemberontakan. Tulisan ini hanya merupakan usaha untuk menata pemikiran negara Indonesia terhadap Maluku dari sudut yang paling kiri. Dan andaipun tulisan ini akan ditolak atau dikritik secara habis-habisan, saya telah menunaikan fungsi saya selaku anak Maluku.

Asumsinya, penciptaan sama dengan kehidupan. Perusakan sama dengan kematian. Negara bermasalah dan yang melakukan tindakan destruktif terhadap rakyatnya anti-kehidupan. 

Di Maluku, pernah ada satu gerakan yang menyingung, memukul, dan bahkan sekaligus menggembirakan orang banyak. Gerakan itu dikenal dengan Repubrik Maluku Selatan [RMS]. Hiruk-pikuk akibat gerakan itu membuat Maluku menjadi terpojok. Maluku harus unjuk otot dan unjuk gigi, mati secara mengerikan, dan menghasilkan kontoroversi getir. Lantas diakui oleh hampir seluruh orang Maluku bahwa, gerakan tersebut itu lemah. Ia memberi dampak yang sangat buruk bagi kelangsungan hidup di bumi Maluku. Sedangkan di dalam beberapa otonomi diri orang Maluku, gerakan tersebut tumbuh menguat hingga kini.

Gerakan itu pada prinsipnya memusatkan diri pada satu sasaran tertentu. Misalnya, melepaskan diri secara mutlak dari Indonesia. Menanamkan ke-Maluku-an, serta pula menanamkan moralitas puritan. Tetapi barangkali, gerakan tersebut [RMS] kurang memiliki konseptualisasi, kurang memiliki organisasi dan kepemimpinan yang baik. Sehingga RMS mesti benar-benar lenyap, atau pura-pura lenyap, dan secara terpaksa mengikuti alur Indonesia. Menyatu dengan Indonesia sebagai sebuah nagara yang utuh. 

Banyak unsur yang mengakibatkan gerakan RMS itu tercipta. Direndung cemas, gelisah, tertekan. Bisa pula ada kecemburuan oleh sebab kepentingan tidak terakomodir secara baik atau tidak terakomodir secara tuntas. Dan bisa jadi ada kecemburuan pada saudaranya [daerah-daerah lain di Indonesia] yang dianggap lebih dicintai ketimbang dirinya. Mungkin juga pemberontakan tersebut dihadirkan untuk melawan otoritas yang mengekang. Faktor utama yang harus diperhatikan dalam gerakan ini [RMS] bukanlah tindakan merusak Indonesia secara aktual, melainkan kebencian terpendam yang diungkapkan lewat gerakan itu. Andai kebancian itu tak terurus secara baik, bisa saja membuat Maluku akan tumbuh menjadi sadis.

Namun demikian, kisah-kisah dari gerakan tersebut [RMS] akan menjadi holistik bila diterbitkan kepercayaan bahwa, Indonesia; “pernah menguasai rakyatnya sendiri. Lalu dengan berani memakai senjata atau tenaga-tenaga militer untuk mempertahankan kepentingannya.” Lantas, siapakah Indonesia itu? Ini pertanyaan yang sangat vital. Ini berhubungan dengan jagat di mana kebencian merebak dari buaian hingga dalam kubur. Dalam intuisi, Indonesia itu berpusat di Jawa.

Di sisi yang lain, jika sebuah negara benar-benar harus hadir di dunia ini, ia mesti menjadi jalan menuju pembebasan dan perdamaian permanen. Bukan memakai kekerasan. Kasus gerakan RMS menempatkan kekerasan di tempat yang tertinggi. Dan kekerasan, entah melibatkan kebrutalan fisik ataukah tidak, ia dipandang membuat manusia kehilangan kemanusiaan dan hak penentuan nasib sendiri. 

Dalam banyak hal, RMS hanyalah terdiri dari orang-orang biasa seperti kita. Mereka bukan pasukan Iblis. Yang membedakan RMS dari manusia-manusia yang katanya “murni Indonesia” bukanlah mereka ‘jahat’ dan yang lain ‘baik’. Perbedaannya terletak pada napsu luarbiasa RMS atas apa yang mereka anggap keadilan.

Salah satu ciri keyakinan yang saya yakin ada di dalam diri pergerakan RMS adalah semangat melawan terhadap tatanan pemerintahan yang mapan, yang dengan rakusnya menguasai seluruh sumberdaya suatu daerah tanpa ingin membagikannya secara adil. Dan unsur inilah satu dari segelintir unsur yang diyakini semua pendiri serta pergerakan RMS. Karena RMS itu tidak esa. Perlawanan mereka ada yang murni bersifat filosofis, ada yang berusaha mengubah tatanan masyarakat lewat cara-cara damai, ada yang berupa perlawanan sengit, agitasi, revolusi.

Roh kekerasan mengarah ke segala kondisi sosial yang dipikirnya menindas manusia. Biasanya itu diterjemahkan sebagai Indonesia. Hak milik yang berlebihan, serta sejumlah lembaga sosial dijadikan sebagai pilar-pilar top down yang tertib-tenteram. Karena RMS menyerang apa yang bagi Indonesia vital, Indonesia jadi tak bisa mentolerir RMS. Inilah zat yang melatarbelakangi kekuatan RMS. Barangsiapa menolak dan ingin memusnahkan apa yang sakral bagi Indonesia, pasti akan di hancurkan sekuat tenaga.

Bertolak dari gerakan RMS. Di Maluku [pelosok-pelosok] hingga kini masih terkebelakang. Kemiskinan yang merajalela. Dari perangkat lunak hingga perangkat keras dalam dunia pendidikan masih saja kering. Kemudian harus pula bertemu konflik raksasa bernuansa agama [1999 – 2005] [2011 - 2012]. Semauanya itu benar-benar membuat pusing kepala. Dan membuat Maluku benar-benar termarjinal di dalam negara Indonesia. Lantas bagaimana pula kita bisa tahu bahwa, negara Indonesia itu menghadirkan kemajuan bagi Maluku? Toh hingga saat ini tidak ada cara mutlak untuk mengukurnya.

Kegagalan negara Indonesia untuk menghadirkan rasa kedamaian, kenyamanan, ketenangan, bahkan gagal memberikan secara baik kebutuhan-kebutuhan pokok kepada rakyatnya [Maluku], memberi isyarat bahwa negara Indonesia perlu definisi yang baik lagi tentang apa makna ke-Indonesia-an-nya. Bila sistem di dalam negara Indonesia telah berhasil membuat keburukan di Maluku, maka hanya manusia-manusia yang buruk sajalah yang bisa hidup serasi dengan negara yang buruk. 

Demikian, tulisan ini secara tegas tidak mengajak saya dan Anda [selaku orang Maluku] untuk membubarkan diri dari negara Indonesia. Atau membangkitkan kembali RMS secara besar-besaran dan memberontak terhadap Indonesia. Tetapi tulisan ini mau berbincang soal menjadikan Indonesia lebih baik, serta bagaimana Maluku dapat memandang Indonesia secara baik dan sebaliknya Indonesia memandang Maluku secara baik pula. Hal ini mengharuskan perbaikan pada sudut pandang. 

Perbaikan sudut pandang Indonesia kepada Maluku [manusia] tidak bisa dengan cara menjejelkan suatu program pembaharuan sosial tertentu ke kerongkongannya, lewat sekolah atau saluran-saluran lain. Perbaikan sudut pandang dilakukan melalui perbaikan individu-individu. Seperti ujaran Plato [429-347 SM]: “Pemerintahan-pemerintahan mencerminkan sifat manusia. Negara-negara tidak diciptakan dari batu dan kayu, tetapi dari karakter-karakter para warganya; orang-orang inilah yang menjadi tolak ukur, dan segalanya dinilai berdasarkan hakikat mereka.” Jadi individu adalah jantung masyarakat. Atau Maluku adalah jantung dari Indonesia. Itu berarti Indonesia mesti berbicara dan bertindak soal menjadikan Maluku lebih baik. Dan Indonesia harus punya gagasan tertentu tentang apakah manusia itu? Atau dalam hal ini, siapakah manusia-manusia di Maluku dan Maluku itu? Karena jika saat ini Indonesia tak punya bayangan apapun tentang manusia-manusia di Maluku dan Maluku itu sendiri, mustahil negara Indonesia berpikir tentang apa yang baik dan apa yang buruk bagi Maluku.

Setiap orang punya fungsi sebagai manusia. Fungsi seorang warganegara atau masyarakat bisa saja berfariasi, tergantung masyarakat mana yang dimaksudkan. Namun akhirnya tentu saja cinta pun ada, jika tidak, Maluku akan sia-sia berusaha menggapai kemanusiaannya dalam ke-Indonesia-an. Sederhananya, Maluku mesti berusaha menemukan rasa cinta terhadap Indonesia dalam batin masing-masing. Lalu jika Maluku pernah memberontak terhadap Indonesia, itu tanda ia merasa tak senyawa. Dan jika Indonesia menghendaki Maluku harus senyawa dan menyatu bersamanya, jangan pernah membuatnya terluka. Sekian dulu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates