Tulisan ini tidak berupaya menawarkan panduan
sistematis yang memuat pandangan-pandangan terhadap pemberontakan. Tulisan ini hanya
merupakan usaha untuk menata pemikiran negara Indonesia terhadap Maluku dari
sudut yang paling kiri. Dan andaipun tulisan ini akan ditolak atau dikritik
secara habis-habisan, saya telah menunaikan fungsi saya selaku anak Maluku.
Asumsinya, penciptaan sama dengan kehidupan. Perusakan
sama dengan kematian. Negara bermasalah dan yang melakukan tindakan destruktif
terhadap rakyatnya anti-kehidupan.
Di Maluku, pernah ada satu gerakan yang
menyingung, memukul, dan bahkan sekaligus menggembirakan orang banyak. Gerakan itu
dikenal dengan Repubrik Maluku Selatan [RMS]. Hiruk-pikuk akibat gerakan itu
membuat Maluku menjadi terpojok. Maluku harus unjuk otot dan
unjuk gigi, mati secara mengerikan, dan menghasilkan kontoroversi getir. Lantas
diakui oleh hampir seluruh orang Maluku bahwa, gerakan tersebut itu lemah. Ia memberi
dampak yang sangat buruk bagi kelangsungan hidup di bumi Maluku. Sedangkan di dalam
beberapa otonomi diri orang Maluku, gerakan tersebut tumbuh menguat hingga kini.
Gerakan itu pada prinsipnya memusatkan diri
pada satu sasaran tertentu. Misalnya, melepaskan diri secara mutlak dari
Indonesia. Menanamkan ke-Maluku-an, serta pula menanamkan moralitas puritan. Tetapi
barangkali, gerakan tersebut [RMS] kurang memiliki konseptualisasi, kurang
memiliki organisasi dan kepemimpinan yang baik. Sehingga RMS mesti benar-benar
lenyap, atau pura-pura lenyap, dan secara terpaksa mengikuti alur Indonesia. Menyatu
dengan Indonesia sebagai sebuah nagara yang utuh.
Banyak unsur yang mengakibatkan gerakan RMS
itu tercipta. Direndung cemas, gelisah, tertekan. Bisa pula ada kecemburuan oleh
sebab kepentingan tidak terakomodir secara baik atau tidak terakomodir secara
tuntas. Dan bisa jadi ada kecemburuan pada saudaranya [daerah-daerah lain di
Indonesia] yang dianggap lebih dicintai ketimbang dirinya. Mungkin juga pemberontakan
tersebut dihadirkan untuk melawan otoritas yang mengekang. Faktor utama yang
harus diperhatikan dalam gerakan ini [RMS] bukanlah tindakan merusak Indonesia
secara aktual, melainkan kebencian terpendam yang diungkapkan lewat gerakan
itu. Andai kebancian itu tak terurus secara baik, bisa saja membuat Maluku akan
tumbuh menjadi sadis.
Namun demikian, kisah-kisah dari gerakan
tersebut [RMS] akan menjadi holistik bila diterbitkan kepercayaan bahwa,
Indonesia; “pernah menguasai rakyatnya sendiri. Lalu dengan berani memakai
senjata atau tenaga-tenaga militer untuk mempertahankan kepentingannya.”
Lantas, siapakah Indonesia itu? Ini pertanyaan yang sangat vital. Ini berhubungan
dengan jagat di mana kebencian merebak dari buaian hingga dalam kubur. Dalam
intuisi, Indonesia itu berpusat di Jawa.
Di sisi yang lain, jika sebuah negara
benar-benar harus hadir di dunia ini, ia mesti menjadi jalan menuju pembebasan dan
perdamaian permanen. Bukan memakai kekerasan. Kasus gerakan RMS menempatkan
kekerasan di tempat yang tertinggi. Dan kekerasan, entah melibatkan kebrutalan
fisik ataukah tidak, ia dipandang membuat manusia kehilangan kemanusiaan dan
hak penentuan nasib sendiri.
Dalam banyak hal, RMS hanyalah terdiri dari
orang-orang biasa seperti kita. Mereka bukan pasukan Iblis. Yang membedakan RMS
dari manusia-manusia yang katanya “murni Indonesia” bukanlah mereka ‘jahat’ dan
yang lain ‘baik’. Perbedaannya terletak pada napsu luarbiasa RMS atas apa yang
mereka anggap keadilan.
Salah satu ciri keyakinan yang saya yakin ada
di dalam diri pergerakan RMS adalah semangat melawan terhadap tatanan pemerintahan
yang mapan, yang dengan rakusnya menguasai seluruh sumberdaya suatu daerah tanpa
ingin membagikannya secara adil. Dan unsur inilah satu dari segelintir unsur
yang diyakini semua pendiri serta pergerakan RMS. Karena RMS itu tidak esa. Perlawanan
mereka ada yang murni bersifat filosofis, ada yang berusaha mengubah tatanan
masyarakat lewat cara-cara damai, ada yang berupa perlawanan sengit, agitasi,
revolusi.
Roh kekerasan mengarah ke segala kondisi
sosial yang dipikirnya menindas manusia. Biasanya itu diterjemahkan sebagai
Indonesia. Hak milik yang berlebihan, serta sejumlah lembaga sosial dijadikan
sebagai pilar-pilar top down yang
tertib-tenteram. Karena RMS menyerang apa yang bagi Indonesia vital, Indonesia
jadi tak bisa mentolerir RMS. Inilah zat yang melatarbelakangi kekuatan RMS. Barangsiapa
menolak dan ingin memusnahkan apa yang sakral bagi Indonesia, pasti akan di
hancurkan sekuat tenaga.
Bertolak dari gerakan RMS. Di Maluku
[pelosok-pelosok] hingga kini masih terkebelakang. Kemiskinan yang merajalela. Dari
perangkat lunak hingga perangkat keras dalam dunia pendidikan masih saja
kering. Kemudian harus pula bertemu konflik raksasa bernuansa agama [1999 –
2005] [2011 - 2012]. Semauanya itu benar-benar membuat pusing kepala. Dan membuat Maluku benar-benar termarjinal di dalam negara Indonesia. Lantas bagaimana
pula kita bisa tahu bahwa, negara Indonesia itu menghadirkan kemajuan bagi
Maluku? Toh hingga saat ini tidak ada
cara mutlak untuk mengukurnya.
Kegagalan negara Indonesia untuk menghadirkan
rasa kedamaian, kenyamanan, ketenangan, bahkan gagal memberikan secara baik
kebutuhan-kebutuhan pokok kepada rakyatnya [Maluku], memberi isyarat bahwa negara
Indonesia perlu definisi yang baik lagi tentang apa makna ke-Indonesia-an-nya. Bila
sistem di dalam negara Indonesia telah berhasil membuat keburukan di Maluku,
maka hanya manusia-manusia yang buruk sajalah yang bisa hidup serasi dengan
negara yang buruk.
Demikian, tulisan ini secara tegas tidak
mengajak saya dan Anda [selaku orang Maluku] untuk membubarkan diri dari negara
Indonesia. Atau membangkitkan kembali RMS secara besar-besaran dan memberontak
terhadap Indonesia. Tetapi tulisan ini mau berbincang soal menjadikan Indonesia
lebih baik, serta bagaimana Maluku dapat memandang Indonesia secara baik
dan sebaliknya Indonesia memandang Maluku secara baik pula. Hal ini
mengharuskan perbaikan pada sudut pandang.
Perbaikan sudut pandang Indonesia kepada
Maluku [manusia] tidak bisa dengan cara menjejelkan suatu program pembaharuan
sosial tertentu ke kerongkongannya, lewat sekolah atau saluran-saluran lain. Perbaikan
sudut pandang dilakukan melalui perbaikan individu-individu. Seperti ujaran
Plato [429-347 SM]: “Pemerintahan-pemerintahan mencerminkan sifat manusia. Negara-negara
tidak diciptakan dari batu dan kayu, tetapi dari karakter-karakter para
warganya; orang-orang inilah yang menjadi tolak ukur, dan segalanya dinilai
berdasarkan hakikat mereka.” Jadi individu adalah jantung masyarakat. Atau Maluku
adalah jantung dari Indonesia. Itu berarti Indonesia mesti berbicara dan
bertindak soal menjadikan Maluku lebih baik. Dan Indonesia harus punya
gagasan tertentu tentang apakah manusia itu? Atau dalam hal ini, siapakah
manusia-manusia di Maluku dan Maluku itu? Karena jika saat ini Indonesia tak punya
bayangan apapun tentang manusia-manusia di Maluku dan Maluku itu sendiri, mustahil negara Indonesia
berpikir tentang apa yang baik dan apa yang buruk bagi Maluku.
Setiap orang punya fungsi sebagai manusia. Fungsi
seorang warganegara atau masyarakat bisa saja berfariasi, tergantung masyarakat
mana yang dimaksudkan. Namun akhirnya tentu saja cinta pun ada, jika tidak, Maluku akan sia-sia berusaha menggapai kemanusiaannya dalam
ke-Indonesia-an. Sederhananya, Maluku mesti berusaha menemukan rasa
cinta terhadap Indonesia dalam batin masing-masing. Lalu jika Maluku pernah
memberontak terhadap Indonesia, itu tanda ia merasa tak senyawa. Dan jika
Indonesia menghendaki Maluku harus senyawa dan menyatu bersamanya, jangan
pernah membuatnya terluka. Sekian dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar