Saya pribadi adalah seorang pengikut Kristus
yang memandang sekaligus menyakini Alkitab sebagai dasar kebenaran, dan atau
sebagai batas-batas kebenaran yang tak akan mungkin dihancurkan, yang akan
selama-lamanya tak lapuk kena hujan dan tak lekang oleh panas matahari. Kebal dari
erosi akibat kesangsian, takkan kenal kompromi, dan bebas dari ambiguitas. Oleh
karena itu, saya lalu menjadikannya sebagai Roh Ajaib penuntun dalam menanggapi
fenomena Teologi Agama-Agama di Maluku [Ambon].
Selanjutnya, yang menjadi catatan penting
serta perlu ditegaskan bahwa, saya sama sekali tidak melakukan penafsiran pada
ayat-ayat yang akan dipetik, baik penafsiran dalam bentuk apapun. Saya hanya
melihatnya secara harafia dan mengilhamkannya secara verbal. Kalau pun diprotes,
atau juga dikritik dan sebagainya, hal itu terbuka lebar bagi siapa pun.
Dari situ, maka kesediaan saya untuk mengilhami Alkitab adalah mutlak. Sebab, Alkitab adalah sabda Allah yang ilhamnya begitu meluas bahkan sampai ke kata-kata yang dipakai serta dipilih untuk menyampaikan pesanNya kepada umat manusia. Supaya jangan sampai orang mengira bahwa saya keliru dalam mengklaim pengetahuan terhadap Alkitab, maka sumberdaya pribadi saya sekali lagi mengatakan, penilaian apapun yang dibuat nanti terhadap esai ini, dari siapa pun, saya menganggapnya sebagai penilaian sempurna dan tak mungkin keliru.
Dari situ, maka kesediaan saya untuk mengilhami Alkitab adalah mutlak. Sebab, Alkitab adalah sabda Allah yang ilhamnya begitu meluas bahkan sampai ke kata-kata yang dipakai serta dipilih untuk menyampaikan pesanNya kepada umat manusia. Supaya jangan sampai orang mengira bahwa saya keliru dalam mengklaim pengetahuan terhadap Alkitab, maka sumberdaya pribadi saya sekali lagi mengatakan, penilaian apapun yang dibuat nanti terhadap esai ini, dari siapa pun, saya menganggapnya sebagai penilaian sempurna dan tak mungkin keliru.
Singkatnya, Alkitab pasti dan hanya bisa
memiliki salah satu dari dua sifat mutlak: kalau tidak seratus persen benar,
pasti secara mutlak salah. Lebih jauh, saya meyakini bahwa Tuhan telah secara
khusus menjaga kemurnian sabda tertulisNya selama berabad-abad, sehingga
Alkitab yang kini kita miliki dalam setiap halnya sama seperti yang pertama
kali diilhamkanNya.
Lantaran Alkitab adalah sumber segala
pengetahuan, maka kitab [Alkitab] itu diyakini pastilah diilhamkan oleh Tuhan
sendiri. Berikut saya petik, “2 Timotius 3: 15-17”, sebagai landasan pemikiran
dalam menanggapi Teologi Agama-Agama di Maluku [Ambon]. Dalam terjemahan
Lembaga Alkitab Indonesia [2011], bunyinya adalah sebagai berikut:
[15] Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau
sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun
engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. [16] Segala tulisan
yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan
kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.
[17] Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk
setiap perbuatan baik.
Menggugat Gerhana Teologi Agama-Agama di Maluku
[Ambon].
Teologi Agama-Agama yang baik itu seperti
apa? Apakah bentunya harus tradisional, mempertahankan perjumpaan lintas-manusia
[Dalam bentuk pertemanan, persahabatan. Perjumpaan-perjumpaan di pasar, di
kantor, di sekolah, di mall, di jalan raya, dan lain-lain]. Ataukah dalam
bentuk yang modern serta formal, perjumpaan dan dialog atau olah kata [Ada
sebuah ruang dan waktu yang telah disediakan, dimana ada meja dan kursi di situ].
Yang umum saya jumpai pada masyarakat Maluku
[Ambon] adalah, ketika bertemu “yang lain”, mencoba untuk bermanis-manisan [kamuflase]. Tetapi
disayangkan, tak sedikitpun teologi masing-masing mereka dibincangkan. Yang dibincangkan
hanya seputar ekonomi, politik, sosial, kriminal, cerita humor, proyek, dan
lain-lain. Kalau pun hal itu disinggung [Teologi Agama-Agama], terus direduksi.
Terlepas dari perjumpaan tersebut, dan ketika kembali kepada komunitasnya [yang
seiman], saling menghujat, merendahkan, fanatik membenci yang berlebihan akan
menjadi permaianan yang mengasyikan. Ini adalah realitas yang benar-benar manguasai
setiap seluk-beluk kehidupan masyarakat umum di Maluku [Ambon]. Apalagi hal ini
ditempatkan bagi para pemuda jalanan yang hari-harinya mendongeng sambil mabuk.
Yang satu sering menilai “yang lain” itu tak berjiwa, tak punya raga. Singkatnya,
“karena aku hanya menginginkan diriku dan sesamaku bahagia, maka tidak ada argumen
yang lebih baik untuk mematahkan hasrat pemikiran semacam; “yang lain” – [tidak
seiman] itu adalah penjahat berjiwa kafir yang kejam. Setiap bentuk omongan
mereka adalah sampah atau juga kotoran hewan lagi manusia”.
Namun, jika hal ini berlaku bagi kaum intelek
atau para cendikiawan [politisi, akademisi, religi, pengacara, menteri-menteri,
dan pejabat], perbincangan mereka mengenai Teologi Agama-Agama terlihat kaku
dan tidak menarik. Sebab, dialog yang dibangun terbungkam dalam ruang dan waktu
yang telah disediakan. Dan perjumpaan serta pembicaraan tersebut kurang bahkan
sama sekali tidak mengakar pada masyarakat umum. Dialog yang mereka bangun sama
sekali tidak berjiwa humanis. Bisa-bisa saja ia berjiwa nekrofili. Perasaan cinta
yang teramat dalam bagi lawan dialog disampingkan. Yang dikedepandakan adalah
rasa ingin menguasai. Kepercayaan terhadap lawan dialog sama sekali hilang dari
tempat duduknya. Ketidakpercayaan, keragu-raguan adalah bentuk yang mendominasi
setiap dialog. Padahal rasa cinta yang teramat dalam, lagi kepercayaan harus
menjadi lawan dari nekrofili, yakni, harus menjadi biofili dalam setiap dialog.
Mereka terlihat bukan sebagai manusia yang hendak berdialog, melainkan sebagai
mesin-mesin.
Dalam kebanyakan kasus tidak ada pengerahan
penilaian atau rasa moral apapun. Kaum intelek dan para cendikiawan seperti
meletakan diri sederajat dengan kayu, besi, bebatuan, dan juga tanah. Hasil yang
diperoleh dalam dialog yang dibangun hanya laksana kuda atau anjing. Toh! Yang seperti
itu biasanya disanjung sebagai ‘tokoh teladan’. Sedangkan pada sisi yang lain,
mereka berkata ‘malayani’ terutama dengan otak mereka, dan karena mereka jarang
membuat dialog dengan hati, moral mereka. Dan sangat mungkin mereka saling
melayani Iblis tanpa segaja, karena mereka sangka Iblis itu Tuhan. Namun demikian,
hanya segelintir orang [pahlawan, patriot, martir, pembaharu], dalam arti luas
menjalani dialog anataragama dengan berbekal kesadaran yang tinggi dan
terdalam.
Biar bagaimanapun juga, pasca konflik Januari
1999, Teologi Agama-Agama di Maluku [Ambon] telah melahirkan atau memberi tanda
tambal-sulam pada diri orang-orang Maluku [Ambon]. Yang ini ditambal, yang itu
bocor lagi. Masyarakat seperti ini ibarat manusia invalid. Mendokteri dirinya
sendiri [yang seiman] di satu bagian, sementara bagian lain [bukan seiman] di jadikan
sakit. Hal ini mirip hipokondriak, atau pemabuk profesional. Dan masyarakat
seperti ini takkan pernah tagak mandiri, takkan pernah bisa belajar
mengendalikan diri atau menghindari kesia-siaan. Ia akan terus murka bila
mendengar ada kebaikan dan keselamatan pada diri “yang lain”. Masyarakat seperti
ini persis dukun gadungan yang dipanggil ‘dokter hebat’ oleh para pasiennya
atau sesamanya.
Agama saya-lah yang benar. Agama saya-lah
yang akan mendatangkan keselamatan. Agama kamu itu adalah agama kafir [Saling
menghujat, fanatik membenci], dan sebagainya, dan sebagainya. Ini adalah bentuk
kejahatan dalam memandang setiap agama. Kalau kita mengadopsi pemahaman bahwa,
agama yang ideal adalah agama yang terdiri dari orang-orang yang bijaksana
serta berhikmat, dan bukan karena alasan-alasan lain apapun. Maka kita dapat
menyimpulkan bahwa penyelewangan kejahatan terhadap Teologi Agama-Agama yang
masih membibit segar di Maluku [Ambon] adalah bentuk dari pengetahuan yang
dangkal. Ia sama sekali tidak pernah berhasrat untuk menemukan makna dari
keindahan setiap agama-agama yang ada.
Dari sini, kita mesti membedakan berbagai
jenis pengetahuan tantang agama-agama [yang lain]. Semisalnya, ada pengetahuan
tentang seekor anjing yang bernama Kristen, seekor kucing yang bernama Islam, seekor
tikus yang bernama Budha, dan seekor sapi yang bernama Hindu, tidak memenuhi
syarat sebagai pengetahuan dalam arti serupa pengetahuan seorang pendeta
tentang semua kucing, semua anjing, semua tikus, dan semua sapi. Pengetahuan seorang
pendeta bisa saja bersifat teoritis, melibatkan pamahaman tentang
prinsip-prinsip, sehingga bahkan sebelum ketemu si kucing pun ia sudah bisa
memberitahukan secara umum pola makan macam apa yang akan menghasilkan dampak
bagaimana. Jadi, pengetahuan tantang suatu hal khusus [Teologi Agama-Agama] yang
selama ini terpaku bukanlah pengetahuan sejati melainkan sekedar pendapat. Pengetahuan
sejati tentang Teologi Agama-Agama tidak bisa hanya menyangkut pengetahuan
individu [personal], atau prinsip tertentu. Melainkan ia mesti berkaitan dengan
prinsip-prinsip umum serta cara hal-hal khusus dalam mencerminkan
prinsip-prinsip umum itu. Ada perbedaan antara kita memahami seekor anjing,
mengikat seekor kucing, menatap seekor tikus, atau melihat pantulan sapi di
permukaan air.
Oleh karena itu, kita selaku orang Maluku
[Ambon] harus memiliki pengetahuan yang tajam tentang masing-masing agama. Kita
mesti percaya ada keunikan dan kebaikan pada masing-masing agama. Sebab,
ketidaktahuan kita terhadap agama-agama “yang lain”, yang bukan dianut oleh
kita, sama dengan knowing nothing.
Bila kita mengasuh anak-anak agar bermain
tanpa sedikitpun menyinggung agama, atau mendidik mereka agar saling
menghormati antara satu dengan yang lain, kelak masyarakat kita akan bertatanan
seperti itu pula. Cara dimulainya pemahaman dan pendidikan dalam diri seseorang
akan menentukan kehidupannya di kemudian hari. Karenanya kita mesti menanamkan
rasa bertatanan yang baik, yang produktif dalam memandang setiap agama sejak
semula. Tanpa itu, yang kita hadapi di masa depan bukanlah masyarakat,
melainkan segerombolan manusia yang kacau-balau dalam memandang setiap agama.
Pesan Perasaan Berpondasi Alkitab.
Lebih lanjut, saya akan memperlihatkan landasan
pemikiran dalam menanggapi Teologi Agama-Agama di Maluku [Ambon] berdasarkan
kitab [Alkitab] yang telah disajikan di atas. Hikmat yang diberikan kepada kita
yang menuntun kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus adalah jenis
pengetahuan. Namun tidak sama dengan pengetahuan tukang besi atau pengetahuan
tentang pekerjaan tertentu. Jenis pengetahuan yang kita perlukan adalah
pengetahuan mengenai mengorganisasi dan menjalankan segenap pribadi orang
Maluku [Ambon] ke arah pemahaman yang utuh dalam memandang setiap agama. Dan hikmat
ini merupakan wilayah para pamong, yakni
kelas kecil dalam masyarakat. Bila para pamong berhikmat serta bijak, bisa
dikatakan seluruh pemeluk agama akan barhikmat. Seperti dalam jiwa yang selaras,
keseluruhan para penganut agama diatur menurut prisip puncak; nalar para
pamong.
Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat
untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan
untuk mendidik orang dalam kebenaran. Bagi
Ralph Waldo Emerson, tiada yang dapat menjabarkan manusia selain segenap
sejarahnya. Tanpa tergesa, tanpa berhenti, jiwa manusia maju terus dari awal
untuk menyerap tiap kemampuan, tiap pikiran, tiap emosi yang menjadi fitrahnya,
dari peristiwa-peristiwa. Jadi dapat dikatakan bahwa, seorang manusia adalah
segenap ensiklopedi fakta-fakta. Namun hanya sedikit manusia yang tahu
bagaimana caranya memperoleh pengajaran yang benar. Hanya sedikit manusia yang
mampu menyatakan kesalahan. Dan hanya sedikit manusia pula yang mampu
memperbaiki kelakuan serta mendidik orang dalam kebenaran.
Pemikiran ini menuntut ketabahan serta
pakaian bersahaja bagi seorang pengajar. Dan itu adalah syarat. Tanpa ada
pengajaran yang bermutu terhadap suatu agama, kita selaku orang Maluku [Ambon]
tidak akan pernah punya pemikiran yang baik terhadap agama-agama yang lain. Bila
di Maluku [Ambon] orang tidak punya bekal latihan belajar-mengajar yang sama
dalam memandang agama-agama, maka sebuah agama akan menjadi serangkaian batu
api. Dan agama yang satu sama agama yang lain tidak akan pernah memiliki ikatan
apa-apa, kecuali kenyataan bahwa Maluku [Ambon] adalah rumah yang sama untuk
dihuni secara bersama. Dan jika kita hanya mendiami rumah yang sama namun
secara prinsip rohani kita tidak memiliki ikatan apapun, maka jangan pernah
berharap kita bisa berbicara lepas tentang agam-agama. Atau setidaknya tak
dapat becakap-cakap soal sesuatu yang penting tentang agama. Kita tidak bisa
berharap untuk saling memahami dalam bingkai agama. Orang tidak bisa menjadi
spesialis di segala bidang. Ia harus memiliki satu saja bidang keahlian. Dengan
begitu, ia jadi tidak tahu apa-apa tentang bidang apapun di luar petak
intelektualnya sendiri, kecuali bila ia punya dasar pendidikan yang sama sejak
awal.
Maksud saya, sejak dini orang Maluku [Ambon]
mesti memiliki minat dan kepentingan yang sama dalam pendidikan, yakni
memajukan pengetahuan mereka tantang agama-agama. Mereka yang barangkali kini
terkotak-kotak itu, harus punya setumpuk gagasan fundamental yang sama dalam
memandang setiap agama. Oleh karena itu, pengajaran yang berlangsung di dalam
keluarga, sekolah, tempat ibadah, dan di dalam masyarakat, haruslah terpadu. Namun,
bisa saja hasilnya hanya meringankan sejenak, tetapi tidak benar-benar
menyembuhkan.
Terlepas dari hal itu, saya ingin berbicara
mengenai, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam
kebenaran. Dan saya mengakui betapa sulitnya mengkomunikasikan jenis pemahaman
yang benar tentang Teologi Agama-Agama di Maluku [Ambon]. Namun saya tetap
memegang teguh keyakinan saya bahwa, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan
dan mendidik orang dalam kebenaran, adalah bentuk yang ril dari jenis
pendidikan, yang mesti diperoleh oleh setiap orang Maluku [Ambon].
Kondisi-kondisi di Maluku [Ambon] menuntut
kita [saya dan Anda] untuk menyediakan pendidikan tertentu [secara khusus bagi
anak-anak muda, sampai umur 20 tahun] tentang agama-agama. Dan hal ini menuntut
kepiawaian dari lembaga-lembaga rohani, seperti Gereja, Mesjid, dan juga yang
lain. Agar penuturan untuk menyatakan kesalahan bagi pemahaman yang salah dapat
diluruskan. Memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran dalam
memandang “yang lain” dapat berlangsung secara baik. Dari sini, pada saat yang
sama pula kita mesti mencoba-coba dan terus berusaha menemukan cara penyajian
pendidikan umum bernuansa agama yang mudah diserap oleh anak-anak muda yang
secara fungsional terbilang butaagama “yang lain”, bahkan agamanya sendiri.
Kalau kita temukan orang-orang yang tidak
mampu atau tidak bersedia mengikutinya, pemecahan masalahnya bukanlah
membiarkannya, melainkan bagaimana caranya supaya pendidikan itu bisa diberikan
kepada mereka – yang sementara ini belum bisa dirangkul.
Yang terakhir, tiap-tiap manusia kepunyaan
Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. Pada hakikatnya, perbuatan
baik justru harus mengutamakan mereka yang di luar, mereka yang bukan warganya,
mereka yang berbeda dan lain, bahkan musuh sekalipun. Dengan kata lain, perbuatan
baik harus mempunyai wawasan yang memadai mengenai tempat atau kedudukan bagi
“yang lain” [mereka yang lain daripada kita]. “Yang lain” adalah sesamaku, atau
sesamaku adalah “yang lain”. Dan pemahaman akan “yang lain” inilah yang tidak
ada atau barangkali belum dibangun di dalam usaha berteologi agama-agama di
Maluku [Ambon].
Demikian, pendidikan agama-agama sejak dini
mengisyaratkan pengajaran yang utuh, yang profesional. Pengajaran yang utuh
serta profesional mengisyaratkan pengetahuan. Pengetahuan bagi saya adalah
kebenaran. Dan kebenaran, di manapun, kapanpun, sama saja. Sekian dulu.
Mantap! Terima kasih sudah berbagi refleksi ini.
BalasHapus