Halaman

Sabtu, 02 Februari 2013

Menggugat Gerhana Teologi Agama-Agama di Maluku [Ambon]


Landasan atau Pengantar.
Saya pribadi adalah seorang pengikut Kristus yang memandang sekaligus menyakini Alkitab sebagai dasar kebenaran, dan atau sebagai batas-batas kebenaran yang tak akan mungkin dihancurkan, yang akan selama-lamanya tak lapuk kena hujan dan tak lekang oleh panas matahari. Kebal dari erosi akibat kesangsian, takkan kenal kompromi, dan bebas dari ambiguitas. Oleh karena itu, saya lalu menjadikannya sebagai Roh Ajaib penuntun dalam menanggapi fenomena Teologi Agama-Agama di Maluku [Ambon]. 

Selanjutnya, yang menjadi catatan penting serta perlu ditegaskan bahwa, saya sama sekali tidak melakukan penafsiran pada ayat-ayat yang akan dipetik, baik penafsiran dalam bentuk apapun. Saya hanya melihatnya secara harafia dan mengilhamkannya secara verbal. Kalau pun diprotes, atau juga dikritik dan sebagainya, hal itu terbuka lebar bagi siapa pun. 

Dari situ, maka kesediaan saya untuk mengilhami Alkitab adalah mutlak. Sebab, Alkitab adalah sabda Allah yang ilhamnya begitu meluas bahkan sampai ke kata-kata yang dipakai serta dipilih untuk menyampaikan pesanNya kepada umat manusia. Supaya jangan sampai orang mengira bahwa saya keliru dalam mengklaim pengetahuan terhadap Alkitab, maka sumberdaya pribadi saya sekali lagi mengatakan, penilaian apapun yang dibuat nanti terhadap esai ini, dari siapa pun, saya menganggapnya sebagai penilaian sempurna dan tak mungkin keliru.

Singkatnya, Alkitab pasti dan hanya bisa memiliki salah satu dari dua sifat mutlak: kalau tidak seratus persen benar, pasti secara mutlak salah. Lebih jauh, saya meyakini bahwa Tuhan telah secara khusus menjaga kemurnian sabda tertulisNya selama berabad-abad, sehingga Alkitab yang kini kita miliki dalam setiap halnya sama seperti yang pertama kali diilhamkanNya.
Lantaran Alkitab adalah sumber segala pengetahuan, maka kitab [Alkitab] itu diyakini pastilah diilhamkan oleh Tuhan sendiri. Berikut saya petik, “2 Timotius 3: 15-17”, sebagai landasan pemikiran dalam menanggapi Teologi Agama-Agama di Maluku [Ambon]. Dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia [2011], bunyinya adalah sebagai berikut:

[15] Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. [16] Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. [17] Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.

Menggugat Gerhana Teologi Agama-Agama di Maluku [Ambon].
Teologi Agama-Agama yang baik itu seperti apa? Apakah bentunya harus tradisional, mempertahankan perjumpaan lintas-manusia [Dalam bentuk pertemanan, persahabatan. Perjumpaan-perjumpaan di pasar, di kantor, di sekolah, di mall, di jalan raya, dan lain-lain]. Ataukah dalam bentuk yang modern serta formal, perjumpaan dan dialog atau olah kata [Ada sebuah ruang dan waktu yang telah disediakan, dimana ada meja dan kursi di situ].

Yang umum saya jumpai pada masyarakat Maluku [Ambon] adalah, ketika bertemu “yang lain”, mencoba untuk bermanis-manisan [kamuflase]. Tetapi disayangkan, tak sedikitpun teologi masing-masing mereka dibincangkan. Yang dibincangkan hanya seputar ekonomi, politik, sosial, kriminal, cerita humor, proyek, dan lain-lain. Kalau pun hal itu disinggung [Teologi Agama-Agama], terus direduksi. Terlepas dari perjumpaan tersebut, dan ketika kembali kepada komunitasnya [yang seiman], saling menghujat, merendahkan, fanatik membenci yang berlebihan akan menjadi permaianan yang mengasyikan. Ini adalah realitas yang benar-benar manguasai setiap seluk-beluk kehidupan masyarakat umum di Maluku [Ambon]. Apalagi hal ini ditempatkan bagi para pemuda jalanan yang hari-harinya mendongeng sambil mabuk. Yang satu sering menilai “yang lain” itu tak berjiwa, tak punya raga. Singkatnya, “karena aku hanya menginginkan diriku dan sesamaku bahagia, maka tidak ada argumen yang lebih baik untuk mematahkan hasrat pemikiran semacam; “yang lain” – [tidak seiman] itu adalah penjahat berjiwa kafir yang kejam. Setiap bentuk omongan mereka adalah sampah atau juga kotoran hewan lagi manusia”.  

Namun, jika hal ini berlaku bagi kaum intelek atau para cendikiawan [politisi, akademisi, religi, pengacara, menteri-menteri, dan pejabat], perbincangan mereka mengenai Teologi Agama-Agama terlihat kaku dan tidak menarik. Sebab, dialog yang dibangun terbungkam dalam ruang dan waktu yang telah disediakan. Dan perjumpaan serta pembicaraan tersebut kurang bahkan sama sekali tidak mengakar pada masyarakat umum. Dialog yang mereka bangun sama sekali tidak berjiwa humanis. Bisa-bisa saja ia berjiwa nekrofili. Perasaan cinta yang teramat dalam bagi lawan dialog disampingkan. Yang dikedepandakan adalah rasa ingin menguasai. Kepercayaan terhadap lawan dialog sama sekali hilang dari tempat duduknya. Ketidakpercayaan, keragu-raguan adalah bentuk yang mendominasi setiap dialog. Padahal rasa cinta yang teramat dalam, lagi kepercayaan harus menjadi lawan dari nekrofili, yakni, harus menjadi biofili dalam setiap dialog. Mereka terlihat bukan sebagai manusia yang hendak berdialog, melainkan sebagai mesin-mesin.

Dalam kebanyakan kasus tidak ada pengerahan penilaian atau rasa moral apapun. Kaum intelek dan para cendikiawan seperti meletakan diri sederajat dengan kayu, besi, bebatuan, dan juga tanah. Hasil yang diperoleh dalam dialog yang dibangun hanya laksana kuda atau anjing. Toh! Yang seperti itu biasanya disanjung sebagai ‘tokoh teladan’. Sedangkan pada sisi yang lain, mereka berkata ‘malayani’ terutama dengan otak mereka, dan karena mereka jarang membuat dialog dengan hati, moral mereka. Dan sangat mungkin mereka saling melayani Iblis tanpa segaja, karena mereka sangka Iblis itu Tuhan. Namun demikian, hanya segelintir orang [pahlawan, patriot, martir, pembaharu], dalam arti luas menjalani dialog anataragama dengan berbekal kesadaran yang tinggi dan terdalam.

Biar bagaimanapun juga, pasca konflik Januari 1999, Teologi Agama-Agama di Maluku [Ambon] telah melahirkan atau memberi tanda tambal-sulam pada diri orang-orang Maluku [Ambon]. Yang ini ditambal, yang itu bocor lagi. Masyarakat seperti ini ibarat manusia invalid. Mendokteri dirinya sendiri [yang seiman] di satu bagian, sementara bagian lain [bukan seiman] di jadikan sakit. Hal ini mirip hipokondriak, atau pemabuk profesional. Dan masyarakat seperti ini takkan pernah tagak mandiri, takkan pernah bisa belajar mengendalikan diri atau menghindari kesia-siaan. Ia akan terus murka bila mendengar ada kebaikan dan keselamatan pada diri “yang lain”. Masyarakat seperti ini persis dukun gadungan yang dipanggil ‘dokter hebat’ oleh para pasiennya atau sesamanya.

Agama saya-lah yang benar. Agama saya-lah yang akan mendatangkan keselamatan. Agama kamu itu adalah agama kafir [Saling menghujat, fanatik membenci], dan sebagainya, dan sebagainya. Ini adalah bentuk kejahatan dalam memandang setiap agama. Kalau kita mengadopsi pemahaman bahwa, agama yang ideal adalah agama yang terdiri dari orang-orang yang bijaksana serta berhikmat, dan bukan karena alasan-alasan lain apapun. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa penyelewangan kejahatan terhadap Teologi Agama-Agama yang masih membibit segar di Maluku [Ambon] adalah bentuk dari pengetahuan yang dangkal. Ia sama sekali tidak pernah berhasrat untuk menemukan makna dari keindahan setiap agama-agama yang ada. 

Dari sini, kita mesti membedakan berbagai jenis pengetahuan tantang agama-agama [yang lain]. Semisalnya, ada pengetahuan tentang seekor anjing yang bernama Kristen, seekor kucing yang bernama Islam, seekor tikus yang bernama Budha, dan seekor sapi yang bernama Hindu, tidak memenuhi syarat sebagai pengetahuan dalam arti serupa pengetahuan seorang pendeta tentang semua kucing, semua anjing, semua tikus, dan semua sapi. Pengetahuan seorang pendeta bisa saja bersifat teoritis, melibatkan pamahaman tentang prinsip-prinsip, sehingga bahkan sebelum ketemu si kucing pun ia sudah bisa memberitahukan secara umum pola makan macam apa yang akan menghasilkan dampak bagaimana. Jadi, pengetahuan tantang suatu hal khusus [Teologi Agama-Agama] yang selama ini terpaku bukanlah pengetahuan sejati melainkan sekedar pendapat. Pengetahuan sejati tentang Teologi Agama-Agama tidak bisa hanya menyangkut pengetahuan individu [personal], atau prinsip tertentu. Melainkan ia mesti berkaitan dengan prinsip-prinsip umum serta cara hal-hal khusus dalam mencerminkan prinsip-prinsip umum itu. Ada perbedaan antara kita memahami seekor anjing, mengikat seekor kucing, menatap seekor tikus, atau melihat pantulan sapi di permukaan air.

Oleh karena itu, kita selaku orang Maluku [Ambon] harus memiliki pengetahuan yang tajam tentang masing-masing agama. Kita mesti percaya ada keunikan dan kebaikan pada masing-masing agama. Sebab, ketidaktahuan kita terhadap agama-agama “yang lain”, yang bukan dianut oleh kita, sama dengan knowing nothing.

Bila kita mengasuh anak-anak agar bermain tanpa sedikitpun menyinggung agama, atau mendidik mereka agar saling menghormati antara satu dengan yang lain, kelak masyarakat kita akan bertatanan seperti itu pula. Cara dimulainya pemahaman dan pendidikan dalam diri seseorang akan menentukan kehidupannya di kemudian hari. Karenanya kita mesti menanamkan rasa bertatanan yang baik, yang produktif dalam memandang setiap agama sejak semula. Tanpa itu, yang kita hadapi di masa depan bukanlah masyarakat, melainkan segerombolan manusia yang kacau-balau dalam memandang setiap agama.

Pesan Perasaan Berpondasi Alkitab.
Lebih lanjut, saya akan memperlihatkan landasan pemikiran dalam menanggapi Teologi Agama-Agama di Maluku [Ambon] berdasarkan kitab [Alkitab] yang telah disajikan di atas. Hikmat yang diberikan kepada kita yang menuntun kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus adalah jenis pengetahuan. Namun tidak sama dengan pengetahuan tukang besi atau pengetahuan tentang pekerjaan tertentu. Jenis pengetahuan yang kita perlukan adalah pengetahuan mengenai mengorganisasi dan menjalankan segenap pribadi orang Maluku [Ambon] ke arah pemahaman yang utuh dalam memandang setiap agama. Dan hikmat ini merupakan wilayah para pamong, yakni kelas kecil dalam masyarakat. Bila para pamong berhikmat serta bijak, bisa dikatakan seluruh pemeluk agama akan barhikmat. Seperti dalam jiwa yang selaras, keseluruhan para penganut agama diatur menurut prisip puncak; nalar para pamong.

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.  Bagi Ralph Waldo Emerson, tiada yang dapat menjabarkan manusia selain segenap sejarahnya. Tanpa tergesa, tanpa berhenti, jiwa manusia maju terus dari awal untuk menyerap tiap kemampuan, tiap pikiran, tiap emosi yang menjadi fitrahnya, dari peristiwa-peristiwa. Jadi dapat dikatakan bahwa, seorang manusia adalah segenap ensiklopedi fakta-fakta. Namun hanya sedikit manusia yang tahu bagaimana caranya memperoleh pengajaran yang benar. Hanya sedikit manusia yang mampu menyatakan kesalahan. Dan hanya sedikit manusia pula yang mampu memperbaiki kelakuan serta mendidik orang dalam kebenaran.

Pemikiran ini menuntut ketabahan serta pakaian bersahaja bagi seorang pengajar. Dan itu adalah syarat. Tanpa ada pengajaran yang bermutu terhadap suatu agama, kita selaku orang Maluku [Ambon] tidak akan pernah punya pemikiran yang baik terhadap agama-agama yang lain. Bila di Maluku [Ambon] orang tidak punya bekal latihan belajar-mengajar yang sama dalam memandang agama-agama, maka sebuah agama akan menjadi serangkaian batu api. Dan agama yang satu sama agama yang lain tidak akan pernah memiliki ikatan apa-apa, kecuali kenyataan bahwa Maluku [Ambon] adalah rumah yang sama untuk dihuni secara bersama. Dan jika kita hanya mendiami rumah yang sama namun secara prinsip rohani kita tidak memiliki ikatan apapun, maka jangan pernah berharap kita bisa berbicara lepas tentang agam-agama. Atau setidaknya tak dapat becakap-cakap soal sesuatu yang penting tentang agama. Kita tidak bisa berharap untuk saling memahami dalam bingkai agama. Orang tidak bisa menjadi spesialis di segala bidang. Ia harus memiliki satu saja bidang keahlian. Dengan begitu, ia jadi tidak tahu apa-apa tentang bidang apapun di luar petak intelektualnya sendiri, kecuali bila ia punya dasar pendidikan yang sama sejak awal.

Maksud saya, sejak dini orang Maluku [Ambon] mesti memiliki minat dan kepentingan yang sama dalam pendidikan, yakni memajukan pengetahuan mereka tantang agama-agama. Mereka yang barangkali kini terkotak-kotak itu, harus punya setumpuk gagasan fundamental yang sama dalam memandang setiap agama. Oleh karena itu, pengajaran yang berlangsung di dalam keluarga, sekolah, tempat ibadah, dan di dalam masyarakat, haruslah terpadu. Namun, bisa saja hasilnya hanya meringankan sejenak, tetapi tidak benar-benar menyembuhkan.

Terlepas dari hal itu, saya ingin berbicara mengenai, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran. Dan saya mengakui betapa sulitnya mengkomunikasikan jenis pemahaman yang benar tentang Teologi Agama-Agama di Maluku [Ambon]. Namun saya tetap memegang teguh keyakinan saya bahwa, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran, adalah bentuk yang ril dari jenis pendidikan, yang mesti diperoleh oleh setiap orang Maluku [Ambon].

Kondisi-kondisi di Maluku [Ambon] menuntut kita [saya dan Anda] untuk menyediakan pendidikan tertentu [secara khusus bagi anak-anak muda, sampai umur 20 tahun] tentang agama-agama. Dan hal ini menuntut kepiawaian dari lembaga-lembaga rohani, seperti Gereja, Mesjid, dan juga yang lain. Agar penuturan untuk menyatakan kesalahan bagi pemahaman yang salah dapat diluruskan. Memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran dalam memandang “yang lain” dapat berlangsung secara baik. Dari sini, pada saat yang sama pula kita mesti mencoba-coba dan terus berusaha menemukan cara penyajian pendidikan umum bernuansa agama yang mudah diserap oleh anak-anak muda yang secara fungsional terbilang butaagama “yang lain”, bahkan agamanya sendiri.

Kalau kita temukan orang-orang yang tidak mampu atau tidak bersedia mengikutinya, pemecahan masalahnya bukanlah membiarkannya, melainkan bagaimana caranya supaya pendidikan itu bisa diberikan kepada mereka – yang sementara ini belum bisa dirangkul.

Yang terakhir, tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. Pada hakikatnya, perbuatan baik justru harus mengutamakan mereka yang di luar, mereka yang bukan warganya, mereka yang berbeda dan lain, bahkan musuh sekalipun. Dengan kata lain, perbuatan baik harus mempunyai wawasan yang memadai mengenai tempat atau kedudukan bagi “yang lain” [mereka yang lain daripada kita]. “Yang lain” adalah sesamaku, atau sesamaku adalah “yang lain”. Dan pemahaman akan “yang lain” inilah yang tidak ada atau barangkali belum dibangun di dalam usaha berteologi agama-agama di Maluku [Ambon].

Demikian, pendidikan agama-agama sejak dini mengisyaratkan pengajaran yang utuh, yang profesional. Pengajaran yang utuh serta profesional mengisyaratkan pengetahuan. Pengetahuan bagi saya adalah kebenaran. Dan kebenaran, di manapun, kapanpun, sama saja. Sekian dulu.





  

1 komentar:

Blogger templates