Halaman

Senin, 18 Juli 2011

"Rahim Pendidikan" (Sebuah Refleksi Terhadap UNPATTI)


Saya tidak tahu secara jelas masalah/kasus yang sementara terjadi di pusat pendidikan UNPATTI, di Maluku (Ambon). Karena saya pada prinsipnya bukan mahasiswa UNPATTI, saya juga bukan alumi UNPATTI. Pengetahuan yang saya peroleh mengenai perjalanan kasus UNPATTI saat ini hanyalah melalui berita, dan terlebinya berdasarkan diskusi bersama beberapa orang teman saya yang mungkin tahu persis kunci kasus tersebut. Untuk itu, esai saya ini hanyalah semacam penyesalan terhadap manusia terdidik yang berprilaku buruk dalam dunia pendidikan.
Di sini saya sama sekali tidak mengulas panjang lebar mangenai mengapa dan bagaimana sehingga terjadi masalah di UNPATTI. Saya juga sama sekali tidak menjelaskan tentang kejadian tersebut, bahkan tidak mengulas tentang siapakah dalang dari masalah itu. Di sini atau di dalam esai ini saya hanya mencoba untuk membuat sebuah abstaksi terhadap dinamika pendidikan yang sementara terjadi di UNPATTI, dan atau semacam malukuan penetrasi terhadap pemerkosaan bagi pendidikan.
Saya kira tidak ada yang namanya tirani dalam dunia pendidikan, tidak ada yang namanya superior dan inferior. Tidak ada pula yang namanya mayoritas dan minoritas. Namun, kalau pun ada tindensi ini di dalam masalah UNPATTI hari ini, saya kira tirani, inferior, superior, minoritas, mayoritas kaum terdidik (Mahasiswa, dosen, karyawan, dll yang bergelut dalam dunia UNPATTI) sama-sama sedang menunjukkan ketidakmanusiaannya.
Masalah atau katakanlah kasus UNPATTI merupakan sebuah kasus intelek yang diperlawankan dengan perasaan. Dengan alasan pada umumnya tidak ada perimbangan inteluktual di dalam dinamika pendidikan di UNPATTI. Ketika intelektual disodorkan untuk menjadi pedang tajam maka, perasaan yang melibatkan emosi menjadi anarkis. Terhadap hal ini maka, perjalanan pertama manapak-tilas jejak inti-intelektualisme membawa saya ke karangka sejarah keagamaan. Selalu ada ketegangan historis antara rasionalisme dengan kepercayaan religius, yang secara prinsipiil melibatkan perasaan. Dan hal ini pun selalu menjadi problema umat manusia hingga sekarang, secara khusus mengenai UNPATTI.
UNPATTI biar bagaimanapun juga merupakan tempat pendidikan yang layak bagi siapa saja yang ingin menggapai cita-cita. Dengan kata lain, UNPATTI merupakan sarana pendidikan yang dibangun oleh pemerintah Indonesia, yang bertempat di Maluku (Ambon). Dan UNPATTI telah menjadi wadah bersama manusia Maluku untuk menggapai cita-citanya. Intinya UNPATTI merupakan tempat belajar-mengajar bagi siapa saja, tanpa terkecuali. Baik yang memiliki religius sebagai kaum Muslim, Kristen (katolik dan protestan), Hindu, budha, dll, yang tentunya memiliki hak yang sama untuk menyulam pendidikan di UNPATTI.
Setahu saya berdasarkan pengalaman, kasus-kasus yang sering terjadi di UNPATTI seringkali melibatkan perasaan religius sebagai titik pemecabelah. Namun harus pula diingat satu hal ini : tidak ada gunanya menerima bentuk tantangan di atas dan membela intelek dengan cara menderetkan kelebihan-kelebihannya jika dibandingkan dengan atau melawan emosi, karakter, atau kepraktisan. Intelek mesti dipahami bukan sebagai klaim melawan keunggulan-keunggulan lain yang di miliki manusia Indonesia (Maluku) - yang harus dibayar dengan harga tinggi. Intelek harus dimengerti sebagai suatu pelengkap, yang, tanpa dia, segala keunggulan tadi takkan dapat sepenuhnya diraih.
Jika segala komponen yang berada di UNPATTI mampu untuk membedakannya maka, intelektual bisa dipahami secara luas, bukan dangkal. Dan jika mereka itu merupakan kaum intelek maka, intelek pula religiusnya, intelek pula emosinya, intelek pula karakternya, dan bahkan intelek pula tindakannya.
Di samping itu, kasus UNPATTI ini bagi saya telah memperhadapkan manusia Maluku pada area pelecelah pendidikan. UNPATTI selama ini merupakan rahim yang telah melahirkan banyak sekali tokoh-tokoh penting di bangsa dan negara ini. Kalau perimbangan yang mesti menjadi kemapanan dalam dinamikan pembangunan pendidikan di UNPATI maka, perimbangan seperti apa yang dimaksudkan? Perimbangan yang maksudkan di sini sebaiknya bukan seberapa besar atau seberapa banyak kaum religius Muslim, Kristen, Hindu, Budha, dll yang mesti mendapat kedudukan yang nyaman di dalamnya. Juga bukan sebarapa besar atau seberapa banyak manusia Maluku (siapa saja), yang diterima di dalamnya untuk merajud cita-cita. Namun demikian, perimbangan tersebut mesti menuju pada seberapa besar tingkat kecerdasan manusia Maluku (siapa saja), yang mesti berpetualangan di dalamnya. Sebab, dunia akademik tentunya memilik norma atau standar-standar, ukuran-ukuran tertentu untuk menerima manusia yang ingin memperluas pendidikannya. Norma, standar, atau ukuran tersebut sudah pastinya dibuat bukan dari satu individu, atau sekelompok manusia. Terlebihnya dia dibuat secara kolektif.
Kata lain bagi hal ini ialah, perimbangan yang mesti menjadi ukuran di UNPATTI adalah sebuah perimbangan kecerdasan intelektual yang melibatkan kecerdasan religius, perasaan, karakter, dan tindakan. Karena dari kecerdasanlah, Indonesia (Maluku, Ambon) menjadi lebih manusiawi.
Saat ini jika saya belum mendapat tempat untuk merajud cita-cita di UNPATTI, atau jika saat ini saya belum memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin yang handal di UNPATTI, itu bukan karena saya belum beruntung, namun karena saya belum cerdas. Lantas bagaimana caranya agar saya bisa cerdas? Kecerdaan tidak hanya didapati ketika ada di UNPATTI atau ada di dalam wadah-wadah pendidikan formal. Kecerdasan itu dapat ditemui di mana saya yang sifatnya terpadu. Asalkan saya ingin cerdas. Pertanyaanya, saya mau tidak untuk menjadi cerdas? bukan saya bisa tidak menjadi cerdas?
Oleh karena itu, menurut saya UNPATTI adalah pilar dari keberadaan manusia-manusia cerdas. Cerdas mengembangkan diri, cerdasa membangun hubungan emosioanl, cerdas membangun hubungan sosial, bahkan cerdas melahirkan cinta. Kalau saat ini situasi di UNPATTI memprihatinkan itu berarti manusia-manusia yang ada di dalamnya sementara mengalami kemandulan kecerdasan, dan mereka sementara menyangkali rahim mereka. Sebab, percuma kita dididik dan mendidik kalau akhirnya konflik yang kita lahirkan.
Dengan demikian saya mengakhiri esai ini dengan sebuah cerita mengenai peran pendidikan, dan cerita ini saya peroleh dari hasil membaca saya dalam sebuah buku "Menggugat Pendidikan". Saya berharap kiranya cerita ini bisa menjadi vitamin dan motivasi bagi siapa saja yang peduli dengan pendidikan.
"Adolf murid yang rajin, kalau ulangan tak pernah curang, hampir tak pernah mangkir dari sekolah, dan di rapornya selalu berderet huruf A. Dia senang menggambar, tak banyak bicara, tak pernah bikin ulah. Satu-satunya keluhan para guru ; si Adolf ini kurang total menyimak pelajaran. Menurut mereka, dia terlalu berbakat jadi pelamun dan pemimpi. Hampir semua orang khawatir kalau-kalau Adolf kelak jadi penyair. Orang-orang menghela nafas lega ketika tahun demi tahun berlalu dan adolf belum juga menampakkan gejala-gejala kreatif yang ditakutkan itu. Malah Adolf menampilkan pilihan yang ditinjau dengan kacamata moneter maupun kebugaran (dan teropong mana lagi yang lebih masuk akal ketimbang ini?) - lebih sehat : Adolf ingin menjadi tentara.
Namun salah bila dikira Adolf akan sembuh dari mimpi hanya karena tidur mengeloni bedil. Di kemudian hari dunia ternganga menghadapi kenyataan antik yang selalu gagal mengajar dia : lebih baik dirundung penyair berpuisi jelek ketimbang pemimpi bersenapan. Lebih-lebih pemimpi bersenapan yang mengira dirinya titisan para dewa dan menulis buku untuk membuktikan teorinya.
Adolf, sang Fuhrer, menggelar impian kolosal, melibatkan jutaan figuran yang berperan sebagai korban, mengupah jutaan aktor lain yang, seperti kata Bertrand Russell, " barangkali beberapa di antaranya benar-benar manusia-manusia keji berdarah dingin, namun sebagian besar mungkin kurang-lebih hanya gila. kisah pendidikan "Adolf Hitler".

Dari sini, mungkin saya dan anda pernah mendapat fasilitas pendidikan yang sama. Saya dan anda mungkin pernah bersekolah atau pernah menganyam pendidikan yang sama. Tetapi siapa tahu (jika Tuhan berkehendak yang lain) anda akan menjadi pemimpin Negara ini, sementara saya sedang sibuk mengurus komunitas kumuh di HalongMardika. M E N G A P A D E M I K I A N ?

(bangunan Universitas Pattimura tidak tuhu apa-apa. dia hanyalah sarana atau media untuk kita sekalian merajud mimpi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates