Halaman

Senin, 18 Juli 2011

Misteri Orang Mardika dan Orang Batu Merah [Upaya menciptakan matriks Baru untuk Dialog dan Relasi Antar Kampung] Edisi 1

Sekecup Ciuman Bagi Mardika-Batu Merah
Gejolak konflik [kekerasan] itu mengisahkan rasa pahit, dan konflik [kekerasan] itu piramida emosi yang melambungkan inti-intelektuallisme. Orang-orang yang tiba-tiba menyadari bahwa, mengobati goresan konflik [kekerasan] itu adalah bagian hidup yang sakit akan tahu dengan sendirinya bagaiman sebaiknya bersahaja.

Namun demikian, orang-orang yang terkena dampak konflik [kekerasan] juga akan tahu bagaimana caranya mendisain amarah agar terpenuhi hasrat keburukan diri. Upaya berbalas-balasan untuk saling melukai dan upaya berbalas-balasan untuk saling menyayagi adalah unsur yang tidak dapat dipungkiri dari wujud konflik. Apanya yang sulit ketika membuat konflik [kekerasan]? Tidak ada yang sulit. Sebaliknya, apanya yang mudah ketika meraih cinta akibat konflik [kekerasan]? Tidak ada yang mudah.

Sebenarnya saya tidak memiliki bukti yang otentik tentang peradaban dari kedua kampung ini [Mardika dan Batu Merah] - [Ambon-Maluku], dan saya juga sementara tidak mengulas tentang dari mana datangnya kedua kampung ini, siapa saja orang-orang yang tinggal di dalamnya. Tetapi kalaupun itu ada, hanya sedikit.

Yang ingin dituangkan adalah bagaimana kedua kampung ini membangun dialog, dan membangun relasi dari awal hingga kini. Dan kesemuaannya ditemui dari pengalaman, bahkan juga dari data lisan yang saya dapati dari orang-orang yang lebih tua umurnya dari saya. Jadi ia bersifat kontekstual karena berdasarkan pegalaman dan ia juga berifat non-tekstual karena berdasarkan cerita-cerita.

Namun demikian, cerita-cerita tersebut pun hadir dari konteks. Soal valid dan tidaknya, itu akan menjadi bagian analisa pribadi. Demikian juga akan menjadi asumsi saya yang tentunya tidak mutlak benar. Akhirnya, biarlah ada penilaian dari khalayak terhadap gagasan mungil ini, secara spesifik bagi mereka yang tahu benar soal kedua kampung ini. Sebab asumsinya adalah, barangkali saya salah, maka saya mau mendengarkan.

Hanya Melalui Pengalaman
Saya adalah manusia yang lahir di Ambon-Maluku, dan kebetulan saja dibesarkan di dalam lingkungan Mardika. Orangtua [ayah dan ibu] saya adalah orang yang tentunya berdomisili di Mardika. Saya tidak begitu tahu dengan kapan mereka ada di situ. Tetapi tampaknya mereka juga mengalami hal yang sama seperti saya, yang mana lahir di Ambon-Maluku dan kebetulan juga dihidupi dari mungil di Mardika. Jadi dapat disimpulkan bahwa, kami [keluarga saya] adalah orang yang puluhan bahkan ratusan tahun telah tinggal atau berdomisili di Mardika.

Selanjutnya saya akan mencoba merumuskan gagasan terkait dialog dan relasi antar Mardika dan Batu Merah. Batu Merah adalah sebuah perkampungan adat yang bersebelahan dengan Mardika. Sementara Mardika bukanlah kampung adat, ia hanyalah sebuah perkampungan yang murni merupakan tempat pembuangan dan perjumpaan antara orang-orang yang dulunya menjadi budak dari Bangsa Portugis setelah itu Belanda.

Di lain pihak, meskipun bukan perkampungan adat, orang-orang yang tinggal di Mardika adalah orang-orang yang tahu tentang adat. Mereka adalah anak adat. Kendati demikian ada keunikan dari kampung ini juga. Keunikan tersebut merupakan keunikan Kekristenan, yang mana perkampungan ini paling tidak merupakan salah-satu cikal-bakal dari pergerakan misi Kristen. Dan sebelumnya saya mohon maaf apabila nantinya agama akan saya pakai dalam gagasan ini. Sebab pada prinsipnya berbicara tentang kedua kampung ini, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari peradaban agama, secara khusus Islam dan Kristen.

Terhadap kampung Batu Merah, saya tidak memiliki sedikitpun informasi tentang asalnya. Tetapi sebenarnya akan di telusuri hal itu, demi memperlengkap esai ini. Lebih daripada itu, hal tersebut bukanlah substansi yang hendak saya paparkan secara tuntas. Substansinya ialah seperti yang telah dikatakan di atas. Dialog dan relasi. Bagaimana orang Mardika dan orang Batu Merah ada dan bertemu sekaligus berdialog, dan bagaimana sebenarnya relasi yang terjadi selama ini antar orang Batu Merah dan orang Mardika.

Dalam sejarah, perkembangan peradaban dari kedua kampung ini lebih banyak menyisahkan atau melukiskan permusuhan, kebencian yang tak terelakan, fanatik membenci, dan melebihinya bembunuhan. Yang semunya itu bersifat fundamental. Saya tidak tahu apakah ada hal unik relasi yang dibangun sebelumnya, ataukah tidak. Asusmsinya, pasti ada. Sebab, yang terlihat berdasarkan pengalaman saya dan berdasarkan tradisi lisan, orang Batu Merah seperti biasanya sering pergi mencari minuman keras di Mardika [sopi, minuman tradisional Maluku] dan bercerita banyak hal di situ [bermain]. Kemudian juga orang Mardika seperti biasanya sering pergi ke Batu Merah untuk membeli sesuatu [pangan] sambil bercerita pula. Dan ada pula peristiwa-peristiwa yang lain dari kedua kampung ini, yang positif dalam upaya berdialog atau berinteraksi.

Tetapi dinamika itu tidak bertahan. Kemungkinan sebelum saya mengada di bumi ini, maupun dari saya kecil hingga saat ini berusia 26 tahun, pengalaman utuh saya tentang kedua kampung ini secara fundamental dalam relasi yang dibangun selalu berakhir dengan konflik [kekerasan] antar kampung, secara khusus di kalangan pemuda. Dan konflik [kekerasan] itu telah menjadi konflik [kekerasan] laten. Namun ingat, hanya antar kampung. Tidak ada yang lebih. Seusai konflik [kekerasan], usai pula masalah saat itu. Roda hidup kembali berjalan seperti semula.

Menengok Konflik [kekerasan] Maluku [1999] dari Mardika-Batu Merah
Saya belum menemukan kunci ikatan emosional antar kedua kampung ini. Ikatan emosional yang begitu kuat, yang sulit diputuskan, seperti misalnya, bersih lingkungan secara bersamaan atau memusatkan jiwa mereka untuk menjaga alam di dalam kedua kampung tersebut. Konkritnya seperti, orang Mardika secara serempak datang dan membersihkan kampung Batu Merah yang tentunya bersama-sama dengan orang Batu Merah, sebaliknya orang Batu Merah dengan serempak pula datang ke Mardika bersama orang Mardika membersihkan kampung halamannya. Atau juga ikatan emosional yang lainnya, silahkan ditambahkan sendiri.

Hal inilah yang mungkin belum ada antar Mardika, Batu Merah. Kalau memang jadinya seperti ini, jelas-jelas saja pihak ketiga melihat kedua kampung ini sebagai sebuah potensi pemecabelah persaudaraan di Maluku. Sebab, mustahil kalau konflik [kekerasan] Maluku tidak berawal dari Mardika dan Batu Merah. Inilah titiknya, pintunya kalau mau berbicara konflik [kekerasan] di Maluku.

Lebih daripada itu, esai ini akan bias sedikit ke konflik [kekerasan] Maluku. Karena berbicara Mardika dan Batu Merah, itu berarti kita berbicara Maluku [konflik]. Maksudnya, kini Maluku secara umum dan Kota Ambon secara spesifik telah ada pada titik kondusif dari konflik [kekerasan] yang pernah terjadi kurang lebih lima sampai enam tahun lalu. Tetapi sebenarnya perdamaian itu sekali lagi mesti dilakukan secara berkala. Mesti dilakukan secara terus-menerus, mulai dan mulai lagi hingga mencapai titik terdalam, yakni perdamaian akan perdamaian itu sendiri.

Karena, Maluku [Ambon] ada pada titik kondusif, sekonyong-konyongnya tidak meresapi aras akar rumput. Secara tiba-tiba konflik [kekerasan] itu tereduksi. Dengan kata lain, seolah-olah konflik [kekerasan] yang pernah terjadi di Maluku [Ambon] dicengkam oleh para elit dan para cendikiawan. Dengan syarat mutlak para elit dan para cendikiawan tersebut akan mampu menularkannya bagi akar rumput. Namun nyatanya, penghayatan terhadap pengalaman pahit masih mengisahkan kebencian, kecurigaan, fanatik membenci yang begitu berlebihan dalam dimensi akar rumput.

Di samping itu, sepertinya legitimasi para elit dan para cendikiawan tidak mampu untuk meredam kebencian akar rumput. Bukti nyata dari perdamaian yang belum berakar pada level akar rumput terlihat jelas pada tanggal 23 Januari, tahun 2011, kurang lebih pukul 01:30 WIT orang Batu Merah dan orang Mardika kembali ricuh tanpa sebab yang jelas. Tetapi, kericuhan tersebut mampu diatasi oleh pihak keamanan. Di lain pihak, peristiwa ini menandakan damai belum sempurna. Karena itulah, upaya untuk memulai lagi akan perdamaian harus dilakukan secara tepat pada aras akar rumput, dan mesti tertera kebenaran mutlak bahwa Maluku [Ambon] telah damai, yang tentunya kedamaian tersebut diproklamasikan oleh akar rumput secara serempak. Bukan dengan sebuah simbol gong yang diprakarsai oleh kaum elit dan cendikiawan, yang hanya terbungkam dalam kebudayaan bisu semata. Kalau pun simbol tersebut adalah nada dasar untuk memulai lagi perdamaian di Maluku [Ambon], maka sasaran dari perdamaian itu mesti jelas.

Ya! Secara prinsipiil Batu Merah dan Mardika memiliki cukup banyak perbedaan. Baik menyangkut pola hidup maupun menyangkut pula rohania. Untuk itu kedua kampung ini perlu di jaga dan perlu diikat emosionalnya. Karena bisa saja ada bom waktu yang ditinggalkan, dan sewaktu-waktu akan aktif meledak. Orang Mardika dan orang Batu Merah boleh berbeda, namun yang perlu menjadi catatan ialah bahwa, orang Mardika dan orang Batu Merah adalah satu selaku warga negara Indonesia yang pastinya tahu tentang pancasila. Orang Mardika dan orang Batu Merah meskipun tidak ada ikatan adat berdasarkan tradisi di Maluku, namun orang Mardika dan orang Batu Merah adalah satu selaku orang Maluku. Dan tidak seharusnya orang Mardika dan orang Batu Merah mesti selalu hidup dalam konflik [kekerasan]. Ini sebuah kenyataan yang tidak mesti merupakan sebuah keharusan berdasarkan pola "hidup orang basudara" di Maluku.

Titik tolak dari ke dua kampung ini mesti ada dalam kesatuan sebagai orang Maluku meskipun pada prinsipnya berbeda secara rohania maupun pola hidup. Sebab, tidak ada cara yang handal terhadap validitas "hidup orang basudara" di Maluku, selain berpegangtangan untuk membangun Maluku secara bersama. Untuk itu, tidak ada samasekali hasrat alamiah yang begitu sulit ditekan seperti kesombongan dari kedua kampung tersebut kalau melihat jatidirinya sebagai orang Maluku. Kalaupun masih ada sisa kebencian dari kedua kampung tersebut serta fanatik yang berlebihan, maka hal itu tentunya tersembunyi. Bingkai konflik [kekerasan] yang pernah terjadi antar kedua kampung ini mesti dilawan, ditekan, dibekukan, bahkan disiksa secara bersama oleh kedua kampung tersebut [Mardika dan Batu Merah].

Melebihinya, mengakui perdamaian dengan cara membangun Maluku sebagai jalan utuh menuju kebenaran dan kepastian adalah keharusan yang mesti dilakoni oleh setiap masyarakat yang daerahnya pernah dilandahi konflik [kekerasan], terutama bagi kedua kampung ini. Kerena, masalah perdamaian masih punya dimensi yang lebih mendasar, yakni, ada bersama-sama dalam perbedaan untuk memulai melakukan sesuatu yang mutlak benar menurut sudut pandang masing-masing kepercayaan, ketimbang konflik [kekerasan].


Membangun Hubungan Emosional
Begitu subjektif hal yang telah dikatakan maupun yang ingin ditawarkan, tetapi kiranya bisa menjadi sesuatu yang objektif nantinya. Penawaran untuk menciptakan matriks baru antar Mardika dan Batu Merah. Dan matriks tersebut adalah, melakukan aksi sosial secara bersamaan. Matriks tersebut lebih menerobos ke arah melestarikan lingkungan secara bersama antar kedua kampung ini.

Seperti yang saya telah katakan di atas bahwa, orang Mardika dan orang Batu Merah barangkali belum pernah menganyam emosionalnya secara bersamaan. Karena itu perlu untuk membangun serta mengikat emosionalnya secara terpadu, berkelanjutan, dan bersahaja. Dan ikatan itu dilakukan dengan cara peduli terhadap alam di Maluku secara khusus di kedua perkampungan itu. Orang Mardika dan orang Batu Merah mesti mulai melakukannya, melakukan ikatan emosional dengan cara peduli lingkungan atau melangkah melakukan aksi sosial yang lain secara bersama-sama. Dari hal ini, barangkali orang Mardika dan orang Batu Merah bisa menemukan kompas yang jernih bagi kehiupan mereka dalam upaya membangun dialog dan relasi yang berkelanjutan. Dan itu positif baik.
Dengan demikian, mari memulai! [Bersambung]

Beta Mardika, cinta Batu Merah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates