Halaman

Senin, 14 Desember 2009

PENDIDIKAN HUMANIS “Kajian Paradigma Pendidikan ‘Paulo Freire’ dan Implikasinya terhadap Kedudukan Pendidikan bagi Manusia dalam Pencapaian Humanisasi

Oleh : Aprino Berhitu

- Paradigma Paulo Freire

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Untuk itu, ketika berada dalam dunia pendidikan, maka seseorang atau sekelompok orang mesti mengalami sebuah proses didik-mendidik dalam upaya memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Berdasarkan UU No 2/1989 (pasal 1) dengan gamblang mengungkapkan, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Dari konsep itu, jelas bahwa hakikat pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik lewat proses pendidikan agar mampu mengakses peran mereka di masa yang akan datang. Ini berarti, membekali peserta didik dengan keterampilan yang sangat dibutuhkan sesuai tuntutan zaman menjadi sebuah keniscayaan.
Bagi Freire, hakikat pendidikan haruslah berorientasi pada pegenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif atau subjektif, tapi harus kedua-duanya. Kebutuhan objektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subjektif (kesadaran subjektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang objektif. Objektivitas dan subjektivitas dalam pengertian ini menjadi dua hal yang tidak saling bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis. Kesadaran subjektif dan kemampuan objektif adalah suatu fungsi yang dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dan hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berpikir. Jadi, hubungan dialektis tersebut tidak berarti mana yang lebih benar atau yang lebih salah.
”Terlalu naif dan terlalu sederhana bila menyangkal pentingnya subjektifitas dalam proses mengubah dunia dan mengubah sejarah. Sama dengan mengakui hal yang mustahil: sebuah dunia tanpa manusia. dunia dan manusia tak terpisahkan, mereka mengada dalam interaksi berkesinambungan”
Untuk itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni:
• Pengajar
• Pelajar atau anak didik
• Realitas dunia.
Yang pertama dan kedua adalah subjek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah objek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistim pendidikan mapan selama ini.
Sistim pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) di mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi, anak didik adalah objek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis yang lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositornya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik.
Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi, guru adalah subjek aktif, sedangkan anak didik adalah objek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai objek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. (Istilah ”subjek” menunjuk pada mereka yang mengetahui dan bertindak (“pelaku”), kebalikan dari istilah “objek”, yakni yang diketahui dan dikenai tindakan (“penderita”). Lihat Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, hlm. 2-3)
Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan. Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonis pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut:
1. Guru mengajar, murid belajar
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3. Guru berpikir, murid dipikirkan
4. Guru berbicara, murid mendengar
5. Guru mengatur, murid diatur
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid
10. Guru adalah subjek proses belajar, murid objeknya.

Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal.
Konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur. Semakin banyak murid yang menyimpan tabungan yang dititipkan kepada mereka, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritis yang dapat mereka peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut. Semakin penuh mereka menerima peran pasif yang disodorkan pada dirinya, mereka cenderung menyesuaikan diri dengan dunia menurut apa adanya serta pandangan terhadap realias yang terpotong-potong sebagaimana yang ditanamkan atas diri mereka.
Dalam pemikiran dialektis, dunia dan tindakan sangat erat hubungannya dalam kesaling-tergantungan. Namun tindakan hanya bisa menjadi manusiawi apabila manjadi tindakan khusus, yakni bukan semata-mata kesibukan biasa tapi kesibukan yang tak dibedakan dari perenungan. Refleksi, yang penting artinya bagi tindakan, yakni agar manusia menjadi sadar mengaktifkan lanjutan perkembangan pengalaman-pengalaman mereka. Jadi dalam belajar, bagaimana manusia dapat berefleksi terhadap realitas objek dan bertindak berdasarkan refleksi itu, kemudian tindakan tersebut direfleksikan kembali, dan dari refleksi itu diambil tindakan baru yang lebih baik. Demikian seterusnya, sehingga proses pendidikan merupakan suatu daur bertindak dan berpikir yang berlangsung terus-menerus sepanjang hidup seseorang.
Namun selama ini dapat dikatakan, dan biar bagaimanapun juga murid itu selalu ditekan. Satu contoh kasar saja, perasaan yang paling dini ditekan adalah yang berhubungan dengan penentangan langsung dan rasa tak senang. Mula-mula tiap anak pasti menyimpan sikap menentang dan daya berontak tertentu, lantaran selalu berada dalam konflik dengan lingkungan sekitar yang cenderung menghalangi gerak-jelajahnya, dan sikap itu makin kental karena, sebagai pihak yang lebih lemah, anak biasanya harus mengalah. Proses pendidikan pun direka dengan salah satu sasaran awal berupa penghapusan tanggapan antagonistik anak ini. Metode-metodenya bermacam-macam; ada yang mengancam dan menghukum, menakut-nakuti anak; sampai ke cara-cara yang lebih samar, yakni lewat penyuapan atau ‘penjelasan’, membingungkan anak dan membuatnya menanggalkan sikap menentang semula.
Bagi Freire, sistim pendidikan sebaliknya justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Sistim pendidikan mapan selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercabut (disinherited masses) dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya, karena ia telah mendidik mereka menjadi ada dalam artian menjadi seperti, yang berarti menjadi seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri.
Pendidikan bagi Freire, bertujuan menggarap realitas manusia dan, karena itu, secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut. Inilah makna dan hakekat praxis itu, yakni “menunggal karsa, kata dan karya”, karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat. Jadi, keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya menjadi subjek-subjek, bukan subjek-objek. Objek mereka adalah realita.
Pendidikan gaya bank sangat bertentangan dengan ini, kontras dengan dialog yang tidak pernah mempertentangkan manusia dengan alam, subjek dengan objek atau guru dengan murid. Pendidikan yang memanusiakan sangat dialogis, proses ivestigasi kenyataan yang dialogis secara bersama yang dilakukan oleh para murid yang mengakui bahwa mengetahui adalah suatu proses yang tidak pernah berakhir, dan oleh guru yang mengakui bahwa mereka sebenarnya juga murid.
Corak pendidikan yang memanusiakan sepertinya jarang bahkan sulit ditemui dalam pola atau model-model pendidikan yang sementara diterapkan saat ini. Manusia mesti mencari-cari gerak untuk “mendambakan dan memperjuangkan terwujutnya pergaulan hidup yang lebih baik, bardasarkan asas perikemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia”, inilah humanis yang mengiginkan “penumbuhan rasa perikemanusiaan” (humanisasi).
Kalau masalah humanisasi, secara axiologis (pandangan axiologis adalah pandangan yang melibatkan aspek-aspek etik, estetik, dan religious) selama ini selalu dipandang sebagai masalah utama manusia, maka sekarang memiliki watak sebagai suatu keprihatinan yang tak dapat dihindarkan. Keprihatinan terhadap masalah humanisasi ini akan segera membawa seseorang pada pengakuan akan adanya masalah dehumanisasi, bukan saja sebagai sebuah kemungkinan ontologis tetapi juga sebagai realitas sejarah. Ketika orang menyadari makin meluasnya gejala dehumanisasi itu, maka akan menanyai dirinya sendiri apakah humanisasi masih merupakan sebuah kemungkinan yang dapat dipertahankan. Dalam sejarah, dalam konteks yang kongkrit dan objektif, baik masalah humanisasi maupun dehumanisasi keduanya merupakan kemungkinan yang selalu tersedia bagi seseorang sebagai makhluk belum selesai yang menyadari ketidaksempurnaannya.
“Tetapi sepanjang humanisasi ataupun dehumanisasi merupakan pilihan-pilihan yang nyata, maka hanya yang pertama itulah yang merupakan fitrah manusia”. Fitrah inilah yang senantiasa diingkari, namun demikian justru diakui melalui pengingkaran tersebut. Dipungkiri lewat perlakuan tidak adil, pemerasan, penindasan, dan kekejaman kaum pendidik (penindas); diakui oleh adanya kerinduan peserta didik (kaum tertindas) akan kebebasan dan keadilan, serta oleh perjuangan mereka untuk menemukan kembali harkat kemanusiaan mereka yang hilang.
Kalau begitu tak perlu repot-repot, sebab bagi Freire, pendidikan mesti manjadi jalan menuju pembebasan permanen, dan Freire mengakui bahwa prosesnya terdiri atas dua tahap. Pertama, manusia menjadi sadar (disadarkan) tentang penindasan yang menimpanya; harus manjalankan praksis mengubah keadaan tertindas itu. Kedua, membangun kemantapan berdasarkan apa yang sudah dikerjakan di tahap pertama; tahap ini adalah proses permanen yang diisi dengan aksi-aksi budaya yang membebaskan.

- Kedudukan Pendidikan bagi Manusia dalam Pencapaian Humanisasi

Maksud dari tulisan ini, ialah untuk menempatkan manusia pada kedudukan yang sangat terhormat di berbagai bidang kehidupan, secara khusus dalam pendidikannya. Salah satu asumsi yang melandasi pandangan tulisan ini adalah bahwa manusia pada prinsipnya merupakan pusat dari realitas, manusia pada hakekatnya sebagai pekerja atau pencipta dunianya. Oleh sebab itu, sudah sepatutnyalah kalau segala ukuran pendidikan dari semua perilaku manusia, dinilai berdasarkan tindakan praksisnya, yakni Pikiran (reflection) dan Tindakan (action).
Model pendidikan seperti ini ditandai oleh adanya kehidupan demokratis, yang dalam batas-batas tertentu manusia mempunyai kewenangan sendiri dalam keterlibatannya dengan alam dan dalam penentuan arah sejarah manusia. Oleh karena itu, humanisasi ini bertujuan untuk menumbuhkan atau menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik, lebih bebas.
Kebebasan yang diperjuangkan bukanlah kebebasan yang absolut, dalam artian bebas untuk melakukan apa saja tanpa ada norma atau aturan-aturan tertentu yang mengikat. Tetapi kebebasan yang diperjuangkan adalah kebebasan yang berkarakter manusiawi: kebebasan manusia dalam batas-batas alam (dunia), sejarah dan masyarakat.
Demikianlah ketika pendidikan ditempatkan dalam kehidupan manusia, maka upaya untuk menjadikan pendidikan itu memiliki jiwa yang bermakna bagi tindak-tanduk manusia adalah merupakan sebuah kepastian. Ketika pendidikan itu bermakna, maka segala komponen yang tergabung dalam pendidikan itupun, baik pendidik maupun peserta didik akan memiliki hak yang serupa, yakni bermakna. Bermakna di sini, ialah bagaimana pendidik dan peserta didik memiliki hak yang sama dalam proses belajar-mengajar, memiliki kapasitas yang sama (subjek), serta memiliki media pembelajaran yang sama atau objek yang sama (realitas dunia). Ketika hal ini dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan, maka kebebasan itu dengan sendirinya akan tewujut. Kebebasan untuk berpikir, kebebasan untuk berbicara mengeluarkan pendapat, bahkan sampai kepada kebebasan untuk bertindak menghadapi realitas yang menjadi objek dari pembelajaran tersebut. Bukan hanya itu, ketika manusia sebagai subjek aktif berinteraksi dalam dunia pendidikan, maka kebebasan merupakan hakekatnya. Setiap manusia sebagai subjek aktif mengkonstitusikan (menciptakan) diri dan dunianya melalui suatu pilihan bebas, yang dipilih dan diputuskan oleh manusia itu sendiri, yang terlepas, misalnya, dari tuntutan sang pendidik yang otoriter.
Eksistensi aktual manusia sebagai subjek aktif dalam dunia pendidikan adalah eksistensi yang bersumber dari satu inti, yakni eksistensi dirinya. Realitas dari luar dirinya boleh mempunyai kekuatan dan pengaruh untuk memaksa manusia sebagai subjek aktif barpikir dan bertindak. Tetapi, sumber keputusan untuk menentukan dan melakukan suatu perbuatan tertentu terlatak pada diri manusia itu sendiri dalam kapasitasnya sebagai subjek aktif. Manusia sebagai sujek aktif itulah yang menjadi kata kunci atau penentu dalam mengatakan “ya” atau “tidak” untuk suatu perbuatan tertentu. Jadi, pendidik tidak dapat dengan begitu saja memaksakan kehendaknya untuk peserta didik mengikutinya.
Di sini, upaya untuk menumbukan kesadaran akan hasrat manusia sebagai subjek aktif merupakan watak mendasar, tetapi bukan berarti menghilangkan kesadaran secara kolektif. Pendidik atau peserta didik adalah merupakan orang-orang yang berpikir serta bertindak menghadapi realitas dirinya dan realitas dunianya, yang secara efektif berlangsung terus-menerus. Pendidik akan lebih manusiawi ketika dapat menjadikan dirinya juga sebagai peserta didik, dalam pengertian pendidik ada bukan hanya untuk mengajar tetapi lebih jauh dari itu untuk belajar. Demikian hal yang serupa berlaku bagi keberadaan peserta didik, bahwa peserta didik ada bukan semata-mata untuk belajar, tetapi juga bagaimana peserta didik ada untuk mengajar. Jadi keduanya, pendidik dan peserta didik memiliki wewenang yang sama. Kendati adanya kebebasan untuk mengekspresiakna diri lewat objek pembelajaran, yakni realias dunia. Adanya arti hidup yang manusiawi, untuk secara bersama-sama belajar dan mengajar. Sekali lagi ditekankan bahwa, bukan siapa yang harus mengajarkan siapa, atau bukan pendidik yang mengajar peserta didik, bahkan juga bukan peserta didik yang hendak mengajar pendidik. Tetapi, pendidik dan peserta didik ada untuk saing mengajari.
Ketika manusia sebagai subjek aktif menjadi penting dalam dunia pendidikan, maka eksistensi manusia dalam dunia pendidikan menjadi ukuran. Kesadaran akan pentingnya mencari jawaban atas persoalan-persoalan hidup yang lebih konkret, faktual, yang dialami oleh setiap manusia dalam kehidupan sehari-harinya, menjadi sebuah keharusan. Persoalan-persoalan seperti kesenangan, kebebasan, kecemasan, penderitaan, kebahagiaan, kesepian, harapan, dan sebagainya adalah persoalan hidup yang harus dicari jawabannya atau maknanya lewat dunia pendidikan yang “humanis”. Persoalan-persoalan itu tidak mungkin diterangkan, atau dapat dijelaskan dalam karangka pemikiran dan tindakan seseorang saja kepada orang lain, tetapi lebih dari itu melibatkan pemikiran dan tindakan dari sebayak mungkin orang untuk menemukan jawabannya. Dalam pengertian bahwa, setiap manusia (individu) mempunyai tujuan yang sama, yakni, bebas, inilah nilai yang ingin diangkat dalam dunia pendidikan.
Kebebasan di sini bukanlah merupakan tujuan akhir dari dunia pendidikan, tetapi merupakan sebuah proses untuk menjadikan manusia seutuhnya sebagai subjek aktif dalam suasana belajar-mengajar. Oleh karena itu, harus diselenggarakan praktek pendidikan yang mengemukakan dan memanfaatkan situasi-situasi yang di dalamnya para pembelajar, baik pendidik maupun peserta didik dapat mengalami kekuatan dan nilai kesatuan di dalam kebinekaan. Praktek pendidikan itu tidak boleh melakukan sesuatu yang menyebabkan kurangnya solidaritas dan kebersamaan. Tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perkembangan disiplin praksis (menunggak karsa, kata dan karya) yang bersungguh-sungguh; tanpa disiplin seperti ini semua usaha untuk mencapai pengetahuan akan gagal.
Praktek pendidikan itu harus melakukan segala sesuatu untuk menjamin suasana belajar-mengajar, melakukan studi merupakan tindak-tindak yang bersungguh-sungguh, tetapi juga tindak-tindak yang mendatangkan kebahagiaan. Hanya bagi orang yang berpikir secara otoriter, tindak mendidik dapat dilihat sebagai tugas yang tidak menarik. Pendidik-pendidik humanis hanya dapat melihat tindak-tindak belajar-mengajar, melakukan studi sebagai tugas yang serius, menuntut yang tidak hanya mendatangkan kepuasan tetapi juga menyenangkan dalam dan dari dirinya sendiri.
Kepuasan yang pendidik rasakan ketika berdiri di hadapan para peserta didik, kepercayaan diri yang menjiwai pendidik ketika berbicara, sikap terbuka yang pendidik ambil ketika mendengarkan, dan keadilan yang pendidik terapkan ketika menghadapi dan menangani masalah-masalah para peserta didik menjadikan pendidik humanis menjadi teladan. Kewibawaan pendidik ditegaskan tanpa merendahkan kebebasan. Kewibawaan itu ditegaskan justru demi menghormati kebebasan. Karena pendidik menghormati kebebasan, mereka dihormati. Pendidik yang humanis, menjunjung tinggi adanya demokratis dalam suasana belajar-mengajar, dan tidak dapat membiarkan kewibawaannya mengalami atrofia, terhenti pertumbuhannya, karena atrofia ini akan memperburuk kebebasan peserta didik. Pendidik tidak dapat menentang dirinya sendiri demi kewibawaannya, dan juga tidak dapat menentang dirinya sendiri demi kebebasan peserta didik: baik otoriterisme maupun sikap permisif tidak diterimanya. Dengan demikian, daya kekuatan pendidik dan peserta didik yang ingin mewujutkan humanisasi terletak dalam sikap koheren yang pantas menjadi teladan.


- Kepustakaan

Omi Intan Naomi (peny), Menggugat Pendidikan, FUNDAMENTALIS KONSERFATIF LIBERAL ANARKIS (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (LP3ES, 2000).

Paulo Freire, Kehidupan, Karya dan Pemikiranya (Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Komunitas APIRU, 1999).

Paulo Freire, Politik Pendidikan (Research, Education and Dialogue, 2004).

Paulo Freire, Pedagogy of Hope, (New York: The Continuum Publishing Company, 1995).

Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Proses (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Paulo Freire, Pedagogi of the Heart (New York: The Continuum Publishing Company, 1999).

Zainal Abidi, Filsafat Manusia (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates