Halaman

Rabu, 16 Juli 2014

FORMASI SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KEKUASAAN, KEBUDAYAAN DAN EKONOMI POLITIK INDONESIA


Siapa pun orang yang tinggal di Indonesia, berjalan-jalan di seluruh tanah air Indonesia, atau bepergian di daerah-daerah pinggiran Indonesia di mana seseorang dapat menemukan ketidakadilan, ketidakamanan manusia, kemiskinan yang paling parah, seharusnya menyadari bahwa di Indonesia ada berbagai persoalan kekuasaan, kebudayaan, ekonomi dan politik yang serius yang tidak tergambarkan dalam statistik resmi. Sebagai bukti mengenai hal itu, kita perlu mempertimbangkan fase sejarah Indonesia.

Sejarah mesti menjadi kesadaran yang fungsinya untuk memperkokoh identitas Indonesia kini dan akan datang. Selama ini, boleh dibilang lembaga-lembaga negara Indonesia telah memadatkan kenyataan-kenyataan sosial yang kompleks ke dalam struktur dan klasifikasi yang disederhanakan. Struktur-struktur (sejarah) itu didasarkan pada konsep dan kategori yang dapat digunakan negara untuk mendefenisikan dan mengendalikan masyarakat (Nordhold, Purwanto dan Saptari 2008). Menurut G.W.F. Hegel, sejarah adalah suatu proses yang rasional, dan karena itu universal. Ini berarti makna sejarah yang dikemukakannya itu tidak saja menyangkut lapisan sosial tertentu, tapi menyangkut setiap orang yang ada, tanpa pengecualian. Proses sejarah umat manusia secara keseluruhan menuju tujuan tertentu, dan proses ke arah tujuan itu berlangsung secara dialektis (dalam Fukuyama 1992). Meskipun begitu, dalam pandangan Francis Fukuyama (1992), sekalipun sejarah adalah proses yang rasional dan universal, tapi ada unsur-unsur iraional. Unsur-unsur yang tidak rasional itu diperlukan sebagai “sasaran antara” untuk mencapai tujuan sejarah.

Mengikuti pemikiran dari Fukuyama (1992), level pertama dalam tujuan sejarah bersifat ekonomis (material), dan level kedua dapat disebut sebagai perjuangan untuk memperoleh pengakuan. Pada hal yang lain, meminjam pemikiran dari Samuel Huntington (1996), yang menjadi persoalan terpenting setelah berakhirnya Perang Dingin, bukanlah persoalan-persoalan ideologis, politis, ataupun persoalan ekonomi, tapi persoalan budaya; hubungan antara kekuasaan dengan kebudayaan.

Bertolak dari pandangan di atas, esai ini mencoba untuk meletakkan orientasinya pada sejarah dan perkembangan kekuasaan dalam kaitannya dengan kebudayaan, ekonomi, lagi politik Indonesia. Secara garis besar pembahasan akan diletakkan pada pesta demokrasi yang tengah berlangsung di Indonesia.

Gagasan untuk Sejarah Era Soekarno 
Usaha untuk menentukan dasar sejarah Indonesia tidaklah gampang. Di sini, usaha untuk menentukannya dapat dimulai dengan satu pertanyaan vital, mengapa kita menjadi Indonesia atau mengapa kita disebut Indonesia? Pertanyaan ini dapat menjadi luas dan dalam ketika melihat diri kita yang cenderung senang menjadi anggota partai-partai politik atau organisasi profesional ketimbang menjadi anggota suku-suku yang berbasis adat (identitas-identitas lokal). Kita cenderung mematuhi otoritas birokrasi dengan hukum-hukumnya yang superior ketimbang mematuhi nenek moyang kita. Bahkan kita gembira di saat mampu membaca dan berbicara dalam bahasa nasional yang umum. 

Meskipun begitu, interpretasi-interpretasi itu tidak bisa menjelaskan secara riil mengapa kita menjadi Indonesia. Dalam novel Michael Dibdin, Dead Lagoon: “There can be no true friends without true enemies. Unless we hate what we are not, we cannot love what we are”  (dikutip dalam, Huntington 1996: 20). Ungkapan itu bisa dijadikan sebagai kebenaran masa lalu suku-suku bangsa di(Indonesia) dengan manjadikan kolonial Belanda sebagai musuh yang tidak memiliki lagitimasi, yang dalam sebutan Chantal Mouffe (2005) sebagai common enemy dan ia membedakannya dari adversary. Menurut Hiariej (2008: 11), musuh hampir pasti dikonsepsikan sebagai entitas yang keberadaannya tidak memiliki legitimasi apapun, dan karenanya mesti dieliminasi sampai ke akar-akarnya. Selain itu, musuh (kolonial) merepresentasikan imoralitas atau kebodohan yang bertolak belakang dan membahayakan kemajuan, kebebasan dan kemerdekaan sebagai kelebihan-kelebihan yang dapat saja dimiliki suku-suku bangsa: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua, yang saat itu terancam identitasnya. Upaya mencari identitas oleh suku-suku bangsa tersebut dapat dijelaskan melalui tampilnya Soekarno (dan rekan-rekannya) dengan ideologi nasionalisnya.

Jika ditafsirkan secara bebas, Soekarno mampu menyakini setiap orang yang mendiami suku-suku bangsa tersebut tentang “nasib bersama.” Kesamaan nasib dijajah. Kesamaan nasib itu dijadikan sebagai titik-tolak yang berguna dan merupakan satu-satunya aktivitas sosial penting yang menurut konsensus umum bersifat kumulatif dan direksional. Kolonial sebagai musuh yang tidak memiliki legitimate merupakan aspirasi politik koheren yang menjangkau perbedaan wilayah dan budaya di seluruh suku-suku bangsa. Proses kesamaan nasib memungkinkan akumulasi dan menjamin homogenisasi yang terus meningkat di seluruh masyarakat, yang pada saat itu tanpa memperhatikan asal-usul sejarah atau warisan budaya masing-masing. Poinnya ialah hasrat untuk memperoleh pengakuan, diakui oleh yang lain (Fukuyama 1992: xvi-xvii).

Hasrat untuk diakui merupakan bagian dari kepribadian masyarakat yang bersifat kritis terhadap kehidupan politik di saat menggapai kemerdekaan. Nasionalisme menjadi sasaran perjuangan untuk memperoleh pengakuan, tapi tidak sepenuhnya rasional. Karena ia didominasi oleh kelompok tertentu. Bukti empiris substansial dari hal ini dapat dilihat melalui proses pembagunan yang berkarakter Wild West. Semboyan nasional “Bhinneka Tunggal Ika,” tampak begitu melegitimasi keberagaman. Namun, justru interpretasi mengenai artinya keberagaman itu serta siapa yang dapat menentukannya yang kemudian menjadi soal pertengkaran (Kipp 1993: 262-263).

Era Soekarno lebih baik dilihat dalam kerangka demokrasi terpimpin 1959. Di era itu, persoalan mendasar terletak pada kebangkrutan ekonomi. Anggaran negara mengalami defisit sekitar 14 persen dan tingkat inflasi mencapai 635 persen. Dalam kurun waktu 1960-1963 perekonomian mengalami stagnasi total tanpa pertumbuhan sedikitpun, sementara defisit neraca pembayaran meningkat tajam dari $US 84 juta di tahun 1960 menjadi $US 248 juta di tahun 1965 (Hiariej2005: 60). Walau begitu, dalam konteks politik, secara garis besar Indonesia berada pada gerak langkah yang saling antagonistik antara militer dan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mendominasi politik Indonesia. Yang menjadi soal adalah usaha untuk memecahkan problem pengakuan. Fukuyama (1992: xxi) menulis, “recognition is the central problem of politics because it is the origin of tyranny, imperialism, and the desire todominate…..it cannot simply be abolished from political life, because it is simultaneously the psychological ground for political virtues. All political communities must make use of the desire for recognition, while at the same time protecting themselves from its destructive effects.” 

Melalui kudeta terselubung 1965-1966, yang menekankan PKI sebagai common enemy dan yang dibangkitkan dalam bentuk sentimental (baca, Mortimer 1974; Roosa 2008), Soeharto dengan jenius memperoleh pengakuan dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia, terutama angkatan bersenjata. Jika melakukan berbagai tafsiran yang berbeda tentang pemikiran Fukuyama (1992: 15-16), hal itu tentunya bukan karena kemampuan Soeharto untuk mengintimidasi mereka secara fisik. Namun hal itu bergantung pada kepercayaan mereka pada otoritas Soeharto yang legitimate. Berbagai lapisan masyarakat, dari para elit hingga kelas bawah, ataupun angkatan bersenjata barangkali dapat dikontrol dengan intimidasi. Tapi beberapa hal dalam sistem itu, Soeharto harus memiliki bawahan setia yang percaya pada otoritasnya yang legitimate. Ini berarti, Soeharto telah mampu melakukan tindakan efektif yang didasarkan pada beberapa prinsip legitimasi (lihat, Max Weber 1947: 324-423). Yaitu, Soeharto telah mendasarkan klaimnya pada legitimasi atas janji stabilitas politik melalui dominasi militer dan bagi upaya mempertahankan momentum investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Mekanisme Orde Baru dan Kehancuranya 
Fase awal pembangunan ekonomi Orde Baru bisa dijelaskan melalui pendekatan terapi kejut, yang dipimpin teknokrat liberal sejak akhir 1960-an sampai awal 1970-an (baca, Mas’oed 1989; Hill 2000; Hiariej 2005). Secara garis besar, fase ini berhasil ditangani dan mencapai puncak kejayaan ketika Indonesia memperoleh Ledakan Minyak antara awal 1970-an dan pertengahan 1980-an. Ledakan Minyak merupakan fase terbaik pembangunan ekonomi Orde Baru yang ditandai dengan kenaikan harga minyak di pasar dunia berkat desakan negara-negara pengekspor minyak (Hiariej 2005; Klinken 2007). 

Terlepas dari hal itu, Hiariej (2005: 27) menulis, “formasi sosial negara Indonesia terbentuk melalui pembangunan ekonomi yang kapitalistik dan kekuasaan politik yang otoriter.” Fitur dasar dari gagasan itu merujuk pada kelas dominan yang terdiri dari seperangkat birokrat sipil dan militer sebagai penguasa. Dua pusat kekuasaan ini bekerja sama dengan para kapitalis domentik (etnis Cina dan Pribumi), maupun dengan kapitalis internasional dalam menjalankan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang kapitalistik (Mas’oed 1989; Mortimer 1973; Hiariej 2005). Lembaga-lembaga negara selalu mudah dipenetrasi baik oleh pejabatnya maupun kelompok-kelompok non-negara untuk kepentingan pribadi. Kekuasaan negara dan para pejabatnya berpegang pada praktik memungut rent. Pungutan rent atas sumber-sumber alam merupakan praktik perampokan sumber daya milik negara untuk memperkaya diri sendiri; rent atas administrasi publik dan atas aset-aset publik (Tornquist 1990: 30-31, 37). Titik negara terlihat (mungkin) layaknya “quid pro quo,” yang dalam teori anarki, negara seperti itu adalah jahat. Negara mengungkapkan otoritas beberapa orang yang dipaksakan kepada kebanyakan orang (Giddens 1971: 62). Akhirnya, hal itu menandai pudarnya tampilan negara sebagai bentuk entitas dari masyarakat dan hubungan negara vis-à-vis masyarakat sebagai otoritas tertinggi (Schmitt 2007: 19-20).

Di ujung lain dari spektrum itu, selama rezim Soeharto, kebudayaan (etnisitas dan agama) dijinakkan dan didepolitisasi oleh negara (Schefold 1998, dalam Nordholt dan Klinken 2007). Hanya puncak-puncaknya yang diestetiskan saja yang dikemukakan untuk menyumbang pada proses nation building (Picard 1997). Di bawah pemerintahan Orde Baru, kebudayaan-kebudayaan cenderung dilembagakan dan dijadikan folklore (Accaiaioli 1985; Kipp 1993), dan secara formal dianggap tabu karena potensinya untuk meledak. Bahkan kebudayaan dirangkum dalam singkatan akronim ‘SARA.’ Secara politis singkatan itu merupakan wilayah terlarang, dan menyiratkan bahwa segala macam wacana publik menyangkut topik-topik itu akan diawasi oleh pemerintah. Hal ini tentunya akan mampu membentuk pola-pola kohesi yang sekaligus dapat membentuk disintegrasi dan konflik (Huntington 1996), jika terjadi krisis legitimasi dan hilangnya kontrol atas sistem kepercayaan (Fukuyama 1992).

Isu-isu menyangkut kebudayaan benar-benar terus dimonitor oleh aparat negara. Sementara fenomena tentang kesenjangan sosial ditutupi dengan paksa (Nordholt dan Klinken2007). Pengurasan hutan secara besar-besaran berlangsung, sedimentasi laut membekap beting karang (Klinken 2007). Proses pembentukan kesejahteraan bagi masyarakat (spesifik di Indonesia Timur) melalui pembangunan ekonomi tidak seefisien seperti yang digambarkan dalam literatur tentang negara Orde Baru di puncak kejayaan (“an affective and powerful civilian bureaucracy,” Hill 1994: xxix; 2000: bab 1). Kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi untuk proses pembangunan, pembaharuan dan intervensi sosial, semua ini secara umum hadir sebagai aparatus ideologis yang diproduksi oleh negara dan dimiliki oleh negara saja. Proses pembangunan hanya melibatkan pengkaitan antara kaum penguasa, yaitu aparatus politik dari pemerintahan (birokrasi sipil dan militer) dengan kaum pengusaha sebagai pemilik kapital ekonomi. Orde Baru dalam kendali Soeharto dan rekan-rekannya telah berhasil tidak hanya dalam mengintimidasi subjek penduduk, tapi juga memaksa penduduknya untuk menginternalisasi nilai-nilai dari para pemimpinnya.

Orde Baru berumur lebih dari tiga dekade. Pada pertengahan tahun 1980-an Orde Baru mulai memperlihatkan krisis legitimasinya (Hiariej 2005). Bersamaan dengan itu, sejak pertengahan 1980-an pula sikap asertif yang semakin besar dari kelas menengah mulai menarik perhatian (Tanter dan Young 1990). Militansi buruh juga meningkat (Hadiz 1997). Dalam gerak majunya, pada 1990-an tanda-tanda disfungsionalitas dalam rezim semakin nyata (Aspinall 2005; Eklöf 1999). Krisis moneter yang dimulai pada akhir 1997 hanya mempercepat keruntuhan rezim, dan anjloknya rupiah pada Januari 1998 memicu inflasi besar-besaran (Aspinall, Feith dan Klinken 1999). Pada 1998 masyarakat Indonesia menyaksikan munculnya gelombang demonstrasi-demonstrasi di seputar isu yang mengarah pada upaya penyingkiran Soeharto dari kursi presiden. Krisis ekonomi telah berubah menjadi krisis politik. Soeharto sadar bahwa ia harus menyingkir, dan hal itu dilakukan pada 21 Mei 1998 dengan menunjuk Wakil Presiden Habibie untuk menggantikannya. Apa yang terjadi berikutnya bisa secara umum dipahami sebagai sebuah transis rezim (O’Donnell dan Schmitter 1986; Diamond et. al. 1997).

Menyingkirnya Soeharto dari kursi presiden dapat dilihat sebagai akibat dari krisis legitimasi yang diidap, yang mencerminkan friksi internal dalam tubuh oligarki kekuasaan, oposisi kelas menengah dan pembangkangan kelas bawah. Krisis legitimasi bersumber dari ketegangan-ketegangan dalam kapitalisme negara, perseteruan antara para elit yang memegang monopoli dan antara kelas dominan dan kelas subordinan. Kontradiksi-kontradiksi mesti juga dipahami dalam konteks pergeseran struktur dasar kapitalisme negara yang disebabkan oleh krisis minyak di pertengahan 1980-an dan krisis finansial di akhir 1990-an (Hiariej 2005: 1-2; lihat pula pandangan Fukuyama 1992: 13-21, tentang krisis legitimasi).

Satu hal yang perlu digarisbawahi, sebelum Soeharto mundur dari kursi presiden, beberapa perwira dari lingkaran rezim, berhasil menempati posisi-posisi penting. Pertama, Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Wiranto menjadi Panglima angkatan bersenjata di tahun 1998, sedangkan Yudhoyono ditunjuk sebagai Wakil Kassospol sebelum kemudian dipromosikan menjadi kepala stafnya. Meskipun begitu, Soeharto tetap memegang kendali penuh. Kedua, posisi Wiranto dan Yudhoyono diimbangi dengan naiknya Letnan Jenderal Prabowo sebagai Komandan Kostrad. Sekutunya Probowo, Mayor Jenderal Muchdi Purwopranjno, menjadi Danjen Kopassus, dan Mayor Jenderal Sjafrie Syamsoeddin diangkat menjadi Panglima Kodam Jaya Jakarta. Ketiga, Soeharto juga mengendalikan kabinet dan partai Golkar melalui orang-orang dekatnya; Habibie, Ginandjar Kartasasmita dan Harmoko. Pada 1998, Habibie menjadi Wapres, sedangkan Ginandjar ditunjuk sebagai Menteri Koordinator bidang ekonomi, keuangan dan industri. Harmoko menjadi ketua Golkar dan anak-anak Soeharto berhasil mengamankan sejumlah posisi dalam Dewan Pimpinan Pusat partai. Di tahun 1997 Harmoko menjadi Ketua MPR/DPR yang membimbing anggota MPR memilih Soeharto untuk kali ketujuh (Hiariej 2005: 258-260).

Berpegang pada pandangan itu, ketika krisis finansial 1997-1998 yang berujung pada krisis politik dan krisis legitimasi dalam kubu rezim, demonstrasi meledak hampir di setiap kota Indonesia. Soeharto dan perwira-perwira kepercayaannya, terutama kubu Prabowo, memilih jalan kekerasan untuk mengatasi gerakan oposisi. Para perwira ini dipercaya terlibat dalam penculikan aktivis yang terjadi sejak akhir 1997, dan dipercaya bertanggung jawab atas penembakan di Universitas Trisakti yang memakan nyawa empat aktivis mahasiswa. Untuk mengamankan posisi dan tidak mau kehilangan kans kekuasaan dan dukungan masyarakat, Wiranto dan Yudhoyono memilih cara-cara damai (Pour 1998). Orang-orang terpercaya Soeharto mulai menjaga jarak dan mulai melakukan manuver untuk kepentingan politik masing-masing (Hiariej 2005). Oposisi dari lingkaran rezim pertama-tama berasal dari Harmoko. Harmoko bersama pemimpin parlemen lainnya, meminta Soeharto meletakkan jabatannya (Pour 1998; Forrester 1999; Aspinall dan Klinken 1999). Sementara itu, Soeharto menegaskan usulan Wiranto tentang pergantian kabinet dan pembentukan sebuah dewan reformasi, dan berusaha mengalihkan aliansi politiknya dengan meninggalkan kubu Probowo. Namun, dipimpin Ginandjar, para menteri menulis surat kepada Soeharto memberitahukan penolakannya untuk menjadi bagian dari komite reformasi maupun dalam kabinet baru (Emmerson 1999; Hiariej 2005). Soeharto segera memerintahkan Habibie untuk melakukan negosiasi dengan Ginandjar. Habibie memanfaatkan perintah itu untuk meminta Ginandjar dan para menteri ekonomi mendukung dirinya sebagai pengganti Soeharto (Hiariej 2005). Selanjutnya, Habibie juga berbagi persetujuan dengan Wiranto. Habibie akan diangkat sebagai presiden selama ia mempertahankan Wiranto sebagai Panglima angkatan bersenjata, dan menunjuk Ginandjar sebagai Menteri Koordinator bidang ekonomi. Habibie, Wiranto dan Ginandjar muncul sebagai pusat kekuasaan baru. Sementara Soeharto pada akhirnya bersedia mundur, tidak hanya karena ia telah diabaikan oleh orang-orang terdekatnya, tapi juga karena keamanan dirinya dijamin oleh koalisi kekuasaan yang baru terbentuk (Emmerson 1999; McBeth, Vatikiotis dan Cohen 1998; Schwartz 1999; Hiariej 2005). 

Di Ranah Demokratisasi 
Sejak Juni 1998, Klinken (2007: 6) mencatat wacana publik Indonesia beredar di seputar istilah disitegrasi. Istilah itu tidak hanya mengisyaratkan bahwa kesepakatan politik Indonesia tengah berantakan, tapi ikatan-ikatan sosial orang-orang Indonesia saling bertentangan. Untuk mengatasinya dan untuk menjawab apa yang diminta oleh masing-masing daerah, demokratisasi dan desentralisasi diterapkan melalui pemerintahan Habibie (Klinken 2007: 26; Nordholt 2003). Meskipun begitu, menurut Evers (1987), terdapat sebuah rangkaian revolusi birokrasi yang menimbulkan transformasi kekuasaan atau pergeseran-pergeseran dalam hubungan-hubungan kekuasaan, dan kekuasaan di Indonesia telah menaikan taruhan-taruhan politik di tingkat lokal (Klinken 2007: 30-32).

Berbagai benturan antara kebudayaan menjadi poros utama kehidupan sosial Indonesia pasca-Orde Baru. Huntington (1996: 28) menemukan paradoks dalam pergerakan kebudayaan, yang bisa dilihat sebagai bentuk paling kontemporer. “…culture is both a divisive and a unifying force.” Kekerasan antar-etnis dan agama di Kalimantan Barat dan Tengah, Sulawesi Tengah dan Maluku, menegaskan pandangan Huntington, dan revitalisasi etnis dan agama di beberapa daerah tersebut semakin menegaskan perbedaan-perbedaan budaya.

Bukankah kekerasan komunal yang terjadi di beberapa daerah tersebut adalah kehendak untuk mempertaruhkan suatu pengakuan? Tidakkah hasrat terhadap pengakuan yang tidak sama merupakan dasar kehidupan yang langgeng? Sebab, bagaimana mungkin kekerasan itu secara radikal memilih melibatkan etnis di Kalimantan dan memilih melibatkan agama di wilayah Timur? Terlebih lagi, ini adalah era reformasi. Indonesia telah berada pada gerak langkah demokrasi. Apa yang dulu (zaman Orde Baru) dipandang sebagai wilayah terlarang, secara lokal telah dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh pengakuan dan untuk merebut kekuasaan, yang bisa dipahami ketika negara sedang lemah (simak, Klinken 2007). Yang dipertaruhkan untuk memperoleh pengakuan bukan hanya soal sistem-sistem nilai dan cara-cara hidup, tapi juga wilayah teritorial dan akses ke resources. Kepentingan-kepentingan material di daerah-daerah itu mempunyai kemugkinan besar untuk membuahkan pengakuan antara satu terhadap yang lain. Meski demikian, hal ini dapat pula dipahami sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan fundamental dalam sistem politik yang pernah ada.

Istilah “putra daerah” yang dikaitkan dengan lokalisme etnis, menanjak dengan cepat dan dijadikan sebagai basis perjuangan politik bagi orang-orang Kalimantan Barat. Di Sulawesi Tengah (Poso), para birokrat menjadi pejuang gigih yang berbasis agama dan akhirnya juga berbasis etnis, di mana mereka bertarung memperebutkan posisi kekuasaan dalam ruang yang telah demokratis (Aragon dan Tanasaldy, dalam Nordholt dan Klinken 2007: 20, 49-88, 461-490; Klinken 2007). Sementara di Maluku (Ambon) perimbangan-perimbangan kekuasaan antara Muslim dan Kristen telah mendominasi lanskap politik di daerah itu. Mereka terjebak dalam ideologi religius sebagai perjuangan politik (hingga kini). Jika sains modern memungkinkan adanya senjata-senjata penghancur yang belum ada sebelumnya, seperti nuklir, maka demokrasi di Indonesia memungkinkan terciptanya agama dan etnis sebagai penjaga gerbang birokrasi. Poinnya, pengakuan terhadap keberadaan kebudayaan masing-masing (agama dan etnis) menjadi sangat penting dan etnis maupun agama akan memegang tali kocek demokratisasi dan (khususnya) desentralisasi (Klinken 2007). 

Wahid menudingkan telunjuk pada Wiranto 
Setelah satu setengah tahun berkuasa, pada November 1999, MPR mendepak Habibie. Sebagian penyebabnya, Habibie disalahkan oleh angkatan bersenjata, yang mengizinkan rakyat Timor Timur memilih kemerdekaan pada Agustus 1999. Pengganti Habibie adalah ulama terampil Abdurrahman Wahid, yang sudah lama menjadi corong para cendekiawan yang memperjuangkan toleransi dan non-kekerasan. Tapi kurang dari dua tahun kemudian Wahid diturunkan dari kursi kepresidenan. Pencapaian utama Wahid adalah menggusur Jenderal Wiranto dari Panglima angkatan bersenjata. Bagi Wahid, Wiranto harus bertanggung jawab atas keterlibatannya dalam menyulut kekerasan dan pelanggaran-pelanggaran hak asasi di Timor Timur (Tanter, Balldan Klinken 2006). Sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian Presiden Wahid, Wiranto memprovokasi kekerasan di Ambon. Namun provokasi yang dilakukan oleh Wiranto, tidak datang di tahun 1999 saat kekerasan itu terjadi. Bukti tentang keterlibatan Wiranto memprovokasikan kekerasan di Ambon datang dari tahun berikutnya, yang saat itu memberikan senjata pada milisi Muslim radikal (Klinken 2007: 29-30). 

Megawati penguasa yang tak berkuasa 
Pada Juli 2001, Megawati Sukarnoputri menjadi presiden menggantikan Wahid. Megawati begitu terkenal sebagai tokoh oposisi di masa Soeharto. Sebagai presiden, Megawati memiliki beberapa jenderal sebagai penasihatnya, dan saksi-saksi kunci militer menganggapnya bukan ancaman bagi kepentingan mereka. Sungguh, ketika Megawati menjadi presiden semua penyelidikan yang serius mengenai pelanggaran hak-hak asasi oleh militer langsung dihentikan (Klinken 2007: 27-28).

Marcus Mietzner (2003: 256) menulis fenomena ini: “With the collapse of the omnipotent central regime, the fragmentation of power in the post-Suharto era and the disengagement of the TNI (armed forces) from formal political institutions, the armed forces no longer have a stake indefending a specific political regime, either at the centre or in the regions....Accordingly, the TNI provides security services to an individual power-holder rather than offering institutional support” (dikutip dalam, Klinken 2007: 30). Pandangan ini secara aktif mesti ditaruh dalam kerangka mati dan bangkitnya militer. Sekalipun militer telah kehilangan kedudukan, tapi prinsipnya Megawati memerlukan legitimasi yang luas dari militer. Dengan memperoleh legitimasi yang luas, maka sebuah sistem pemerintahan dimungkinkan bergerak dengan baik. Kurangnya legitimasi menjadi sumber kelemahan yang krusial bagi sebuah pemerintahan, dan dipastikan akan mengalami kegagalan pada beberapa wilayah kebijakan (Fukuyama 1992).

Di masa Megawati, pemerintahan boleh dibilang sama ambisiusnya dengan Orde Baru. Keuntungan-keuntungan kembali dimiliki oleh birokrasi sipil dan militer secara tak terbatas dan memungkinkan mereka membuat replika (diri) Orde Baru di seluruh daerah Indonesia. Hal ini diperjelas dengan semakin besarnya fenomena fragmentasi (Klinken 2007: 31; Nordholt dan Klinken 2007: 19). Ini tentunya mengherankan, karena pemecahan provinsi dan kabupaten tidak ada dalam petunjuk-petunjuk pelaksanaan demokratisasi dan (khususnya) desentralisasi (Tuner et al. 2003: 156-157, 160; Klinken 2007). Tak diragukan lagi, ini hanya dapat dipahami sebagai bagian dari menambah jabatan atau memperoleh kekuasaan baru. Jelaslah pihak militer (begitupun polisi), mendukung pemekaran ini karena struktur komando teritorial mereka juga akan segera diperbaharui mengikuti perubahan itu. Logika strukturnya diistilahkan oleh Klinken (2007: 30) sebagai “warlordisme, dimana Soeharto-Soeharto kecil telah tercipta. Atau yang disebut oleh Charles Tilly (2003: 43) sebagai “zone tirani yang terfragmentasi.”

Dari segi ekonomi, keberadaan negara hanya mewakili dan memperjuangkan kepentingan elit, sementara masyarakat dilepaskan kepada belas kasihan mekanisme pasar (kapitalisme), yang tak ada sedikitpun perbedaannya ketika masa Orde Baru. Lembaga-lembaga internasional seperti IMF, USAID dan Bank Dunia, begitu dominan dalam menentukan arah dan kebijakan ekonomi. Di samping itu, konglomerat terkemuka yang mengabdi kepada rezim Soeharto masih tetap berfungsi dalam menentukan kebijakan ekonomi, yang tentunya bersesuaian dengan Washington Consensus (Rafick 2007). 

Munculnya ahli waris Orde Baru 
Orde Baru boleh almarhum tapi rezim politiknya luas dipandang penting. Literatur-literatur mengenai ekonomi politik Indonesia pasca-Orde Baru oleh Robison dan Hadiz (2004), Hiariej (2005), menyatakan bahwa kepentingan-kepentingan terselubung dari para elit politik dan ekonomi dalam lingkaran Soeharto tidak ikut hancur, dan berhasil mengamankan berbagai posisi dalam pemerintahan baru dan dengan sukses membagi-bagikan institusi-institusi negara. Sebagai bukti, seorang mantan jenderal di istana kepresidenan, Susilo Bambang Yudhoyono, pada tahun 2004 tampil sebagai presiden. Partai politik Orde Baru “Golkar,” yang menurut rumor yang berkembang saat krisis legitimasi 1998 mengerogoti tubuh rezim, dikecam bahkan hendak dibubarkan, kembali berkuasa pada tahun yang sama dengan tampilnya Jusuf Kalla sebagai Wapres (Nordholt dan Klinken 2007: x). Mereka berhasil kembali menyabot demokratisasi dan (khususnya) desentralisasi yang bisa dipastikan baru sebiji sawi.

Yang menjadi soal, sejak Habibie hingga Yudhoyono menjadi presiden, esensi dan ke-ideal-an dari konsep desentralisasi yang merupakan bagian dari demokratisasi di Indonesia sama sekali tidak menyentuh isu good governance dan civil society yang lebih kuat. Hofman dan Kaiser (2002: 7) menyatakan bahwa setelah lebih dari beberapa tahun sejak 1999 Indonesia menerapkan desentralisasi yang merupakan bagian dari demokratisasi, masih banyak yang tetap tidak jelas mengenai apa persis yang telah didemokratisasikan atau didesentralisasikan. Lebih tepat lagi jika hal semacam ini ditempatkan dalam tataran demokratisasi dan (khususnya) desentralisasi kekuasaan, korupsi, kolusi dan tindakan kekerasan politis yang di masa lampau menjadi bagian dari rezim sentral Orde Baru (Nordholt dan Klinken 2007: 14). Akhirnya, tata kepemerintahan yang baik dan kehendak untuk menciptakan masyarakat yang kuat, yang mensyaratkan transparansi dan akuntabilitas birokrasi dan penghormatan terhadap aturan hukum yang menjadi inti dari nilai-nilai demokratisasi, mengalami kemandulan (Hiariej 2005). Dalam realitanya, konsep demokratisasi di Indonesia masih berada pada tataran instrumental. 

Yudhoyono untuk kali kedua 
Setelah lima tahun menduduki kursi kepresidenan, untuk kali kedua Yudhoyono kembali berhasil menjadi presiden didampingi Boediono. Dalam priode ini, kisah-kisah tentang korupsi lebih deras mengalir. Sementara di aras lokal, para elit membajak potensi budaya (adat) demi keuntungan pribadi. Atas nama budaya lokal, kesultanan-kesultanan yang (mungkin) telah lama tertidur dari Sumatera sampai Maluku mendadak menggeliat bangun kembali. Mengatasnamakan budaya lokal, para aktivis di daerah ataupun Jakarta menjalin kesatuan bersama untuk membentuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Sebuah organisasi berbasis budaya lokal tingkat nasional yang pertama di Indonesia. Kehadirannya dapat dibilang sebagai upaya mempengaruhi kebijakan (Davidson, Henley dan Moniaga 2010). Selain itu, sejak akhir 1998 hingga kini, dengan mangatasnamakan budaya pula, anggota laskar front pembela Islam, yang megidentifikasi gaya berpakaian mereka seperti para wali dengan baik terlibat dalam setiap kepentingan-kepentingan politis institusi-institusi tertentu yang permanen (Gunawan dan Patria 2000; cetak miring dari penulis).

Meski begitu, yang perlu digarisbawahi, Indonesia bagaimanapun tidak akan pernah bisa menghindari lajunya kapitalisme liberal yang kian tampil penuh kemenangan sejak akhir 1990-an. Marx menulis, kapital hanya bisa diakumulasi dengan jalan penindasan (dalam, Hiariej 2004: 139). Fukuyama (1992) menjelaskan perkembangan kapitalisme sebagai akhir atau tujuan dari sejarah (the end of history). Sementara Barry Gills (2000) telah menemukan paradoks dalam kapitalisme. Bagi Gills, kapitalisme buka saja melemahkan setiap subjek penduduk, tapi juga sekaligus mengaktifkan kekuatan perlawanan dari subjek penduduk. Di Indonesia, dari rezim Orde Baru hingga kini, fenomena ekonomi politiknya kian menegaskan pemerintahan di bawah kendali kaum swasta. Jika menggunakan cara berpikir seperti William Reno (1995: 2-3) dan Noreena Hertz (2001: 10), perkembangan ini mencerminkan politik negara secara kontinyu ada dibawah kendali pasar (kapitalisme). Ini berarti otoritas politik telah bergeser secara radikal ke arah yang menempatkan pasar sebagai satu-satunya kekuatannya. Ironisnya untuk mendukung proses perluasan pasar, negara menggunakan propaganda yang berbau budaya (etnis dan fundamentalisme agama). Kasus-kasus perlawanan masyarakat Batak Toba Samosir terhadap Indorayon (simak, Victor Silaen 2006), gerakan perlawanan masyarakat Kepulauan Aru terhadap Menara Group, yang hingga kini boleh dibilang masih kontroversi, merupakan bukti kekuatan kapitalisme dalam mengendalikan politik, dan merupakan bukti bahwa kapitalisme akan selalu bergandeng tangan dengan perlawanan terhadap eksploitasi (Hiariej 2004; 2008). 

Prabowo and Joko Widodo; how historical values shape Indonesia human progress? 
Permasalahan mengenai apakah orang-orang atau kelompok-kelompok yang berusaha merebut kekuasaan adalah benar-benar demokrat tidak relevan untuk dibicarakan. Karena proses suksesi cenderung untuk menegaskan pentingnya kredibilitas rezim lama dengan mengekspos penyelewengan-penyelewengannya yang tidak dapat dihindari. Semua para elit atau kelompok-kelompok yang sedang berusaha merebut kekuasaan saat ini tidak hanya menjadi korban sistem, tapi juga menjadi ahli warisnya. Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Wiranto, Jusuf Kalla, Surya Paloh, mereka semua banyak menghabiskan karir mereka untuk menjadi aparat partai Golkar. Joko Widodo, Mengawati Sukarnoputri, Hatta Rajasa, dan semua sekutu Prabowo maupun sekutu Joko Widodo, dipastikan tidak dapat dilihat sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Mereka plural dan akan dideritai faksi internal yang akut. Meminjam pemikiran Mas’oed (2003: 21), semakin besar perbedaan kepentingan antara mereka, semakin besar kemungkinan bahwa masing-masing akan menolak memberi peluang kepada pihak lain. Yang lebih penting saat ini adalah menjaga kontrol atas sistem kepercayaan.

Kita hanya bisa membicarakan kemajuan Indonesia jika kita mengetahui ke mana tujuan manusia Indonesia. Kini standar hidup di Indonesia lebih meningkat, populasi menjadi lebih kosmopolit. Banyak masyarakat mencapai kualitas kehidupan yang baik melalui pendidikan. Namun di saat yang sama, mereka mulai menuntut, bukan hanya kekayaan yang lebih banyak, melainkan juga pengakuan atas status mereka. Selain itu, sebagian besar kenangan yang diidap oleh subjek penduduk Indonesia adalah kekerasan yang mematikan. Karena itu, mereka kurang siap untuk menolerasi kekuasaan militer. Meski begitu, jika memakai pemikiran dari Noreena Hertz (2001), Milton Friedman (1982), maka hal yang terpentingan dalam dunia kontemporer adalah mengembalikan politik pada titik normal. Artinya, politik dan pasar harus bersesuaian, berimbang, agar korporasi besar tidak lagi mengangkangi kekuasaan negara untuk kepentinganya. Pasar yang kian global, yang kian membuat negara-negara tembus pandang bukanlah benda yang buruk. Dunia bisnis adalah agen terbaik untuk mencapai keadilan sosial. Privatisasi kesejahteraan, kebahagiaan bisa dicapai. Asal dilakukan dengan benar oleh negara yang memiliki otoritas politik yang legitimate (Hiariej 2004).

Dengan begitu, menurut Fukuyama (1995) negara diharuskan membuka akses kepada setiap masyarakatnya untuk memperoleh resources. Resources di Indonesia selama ini bukan hanya bocor ke luar seperti yang dikatakan Prabowo, namun juga bocor ke dalam kantong-kantong kedap udara para elitnya. Memperoleh akses ke resources buka dilakukan dengan cara menyediakan kartu pintar atau pendidikan gratis. Namun bagaimana revolusi kurikulum dan kualias pendidikan ditingkatkan dan disediakan hingga ke pelosok-pelosok Indonesia. Sebab, apa bedanya pendidikan gratis atau memiliki kartu pintar dengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tak ada bedanya. Ketika anak sekolah memperoleh dana BOS yang diberikan kepada orangtuanya, dana itu dipakai bukan untuk membiayai atau menyediakan perangkat sekolah anaknya, namun cenderung digunakan untuk memperoleh sesuap nasi. Ketika pendidikan gratis, maka uang yang seharusnya digunakan untuk membiayai anak sekolah cenderung dialokasikan oleh orangtua ke keperluan hidup sehari-hari. Membuka akses ke resources, bukan dengan cara menciptakan rumah sakit yang bermutu atau menyediakan kartu sehat. Tapi, bagaimana menyediakan sanitasi yang baik dan permanen. Bagimana menciptakan rumah yang sehat bagi setiap subjek penduduk, dan bagaimana mengontrol keamanan makanan. Yang terpenting lagi, membuka akses ke resources adalah memberikan pengakuan bagi setiap kebudayaan daerah-daerah. Dengan membuka akses ke resources, maka nilai-nilai luhur seperti sifat tidak mementingkan diri sendiri, idealisme, moralitas, pengorbanan-diri, pengakuan, keamanan, keberanian, dan kehormatan manusia Indonesia akan terwujud. Inilah modal sosial kita. Akhir kata, entah Prabowo atau Joko Widodo yang terpilih sebagai presiden, kekuatan Indonesia hanya ada pada peningkatan otoritas politik dan membuka akses ke resources. Salam satu dan dua jari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates