Halaman

Senin, 24 Desember 2012

“Teruntuk Keluarga Berhitu di Halong-Mardika”


Aku telah memberikan hati dan perasaanku kepada kebisuan, agar tak berbicara di saat ini. Otak dengan segala saraf yang ada di dalamnya hendak kuikat dengan baja. Sehingga berbisik pun tak bisa. Apakah aku salah, bahwa aku mempunyai perasaan namun telah kuberi bagi kebisuan? Apakah aku salah, yang memiliki otak namun hendak mengikatnya dengan baja. Aneh sekali, mustahil jika hal itu dapat tercapai. Maafkan kebodohanku. Yang kutahu bahwa aku sekarang melihat diriku dengan jelas sendiri.

Matahari masih saja bercahaya dengan wajahnya yang bersih menampak pada langit yang tenang. Kenangan-kenangan datang dengan bergurau dan berjenaka atau tersenyum dengan manisnya. Dan aku menekan hatiku, napasku, karena aku merasa terpesona sangat.

“Ingatkah kau,” mereka berbisik. “teringatkah kau waktu…”

Ah, aku menjadi gelisah, berdiri dan mundar mandir di dalam kamar mungil. Kemudian duduk lagi. Natal kali ini aku, aku… Ah, tak bisa kuterusan. Tak pernah, tak pernah diriku sendiri.

Jika tanggal 24 Desember, lampu-lampu di kotaku bercahaya terang. Cahayanya menikam ke perut bumi, sehingga segala yang hidup saling bertabur damai. Dan sudah pasti di rumahku, dari ujung dapur hingga celah-celah kusen jendela dan pintu kebaya depan rumah, aroma wangi bluder sageru tetap terapung-apung mengikuti arah angin.

Aku mengingat-ingat wajah-wajah kalian. Satu demi satu kuingat. Kubayangkan dalam-dalam. Oh! Tak ada kekuatan untuk menolak keceriaan yang telah datang, menampakkan diri di dalam hati kalian. Kalian tertawa dengan nada yang empuk dan membuat orang lain tertawa juga. Kalian sering berbagi pandangan mata yang berkilau, halus. Ah, macam jantungku yang biasanya berdegup teratur, mendadak berdegup kencang. Ya! Aku mengingat keseluruhan dari kehidupan kita.

Air mata telah tergenang dalam mataku. Aku tak sanggup menahannya. Pohon mangga di samping kamarku, dengan tenang menggerakkan daunnya. Pohon cempaka menggoyangkan puncaknya yang gelap itu. Bunga seperti hujan yang harum, jutuh ke bawah. Sungguh aku merindukan kalian.

“Lucas, Christina, Syannette, dan Zurisya. Sedang apakah kalian? Oh demi Tuhan…. Christina, tiba-tiba aku mencium aroma kueh buatanmu di sini. Aku merasa senang. Aku tak tahu apa benar nyata, atau imajiku. Namun aroma kueh buatanmu baru saja mengepul hidup di dalam kamarku ini. Dua puluh tujuh tahun aku hidup bersamamu. Aku tahu benar aroma kueh buatanmu, Christina. Aku merindukanmu. Aku benar-banar merindukan pelukanmu, tatapanmu yang bersinar-sinar. Dan aku pun merindukan masakanmu. Ah, Christina, pipiku telah berbasah. Air mata tak dapat sudah kutahan.

Luc, bagaimana kabarmu? Apa kau sudah sering pergi ke Gereja? Sejak kita keluar dari Hila, tak ada kulihat dirimu sering ke Gereja lagi. Tak tahu aku, kenapa sehingga dirimu begitu berubah. Hee, barangkali yang membuatku tak tahu itu kerena alasanmu yang terlalu banyak. Kau sering berkata, “aku tak ada sepatu untuk ke Gereja”. Jika sudah ada sepatu, kau kembali berkata, “aku belum punya cukup uang untuk membeli kemeja”. Lalu ketika kemeja dan sepatu telah ada, kau kembali berkata, celanaku untuk ke Gereja tak cocok dengan warna sepatu dan kemeja. Kau memang suka bergaya. Tapi kau seperti tak mengenal Tuhan saja. Ke Gerejalah, jika belum lagi kakimu merangkak ke situ. Percayakan saja dirimu seluruhnya untuk Tuhan yang atur. Aku yakin, kau pasti senang. Tatapan matamu yang sering terlihat kosong akan redup dan memudar perlahan. Sehingga tak kau rasa kalau bintangmu telah datang, bercahaya dengan berseri-seri di atas langit biru. Aku merindukanmu Luc. Merindukan bentakkanmu dan kebisuanmu saat menatapku.

Hai Syannette! Kau pasti terlihat cantik di hari ini. Sudah kuduga, kau pasti ke salon merapikan rambutmu yang keriting itu, bukan? Syannette, aku di sini merasa sedih dan bersendiri. Aku merasa jarak kita terlalu jauh. Juah seperti bulan dan bumi. Aku tak dapat lagi mendengar waktu lonceng Gereja berbunyi untuk kedua kalinya, dengan tegas dan lantang engkau lalu berteriak menyuruhku cepat keluar dari kamar mandi. Bertanda aku harus cepat siap-siap, Gereja hampir mulai. Aku, aku merindukanmu, Syannette. Sangat. Cepatlah selesaikan sekolahmu itu.

Zurisya! Ah, Zurisya mana senyum ceria dan menawan yang biasa tersungging di bibir tipismu. Sejujurnya aku tak pernah melihat ekspresi aneh dari pengharapan yang membosankan pernah tercermin di dalam matamu. Yang kutahu dan kulihat, disekelilingmu bertabur kerikil dari bulan yang membentuk bunga angrek. Aku merindukanmu, Zurisya. Aku merindukan kalian semua.

Dengan patuh, bibirku tidak mampu lagi mengucap sapatah kata pun. Ratusan puisi tentang cinta jika kupunya, akan kupandu puisi-puisi itu, membiarkannya berbicara sendiri tentang cinta kepada kalian berempat dan memeluk kalian dengan jantungnya.

Di sekelilingku sunyi, angin mendesir melalui rumah-rumah dengan dingin. Suara cicak di kamarku terdengar datar, bisa membuat orang jadi mengantuk. Seekor lalat baru saja terbang pergi setelah menabrak kaca jendela. Aku mulai membisingkan kamarku dengan lagu-lagu Natal. Michael Buble Cold Desember Night… ah, aku merasa itu lagu yang baik. Aku bisa berhenti menulis sebentar untuk mengambil napas.

Aku ingin minta maaf dari kalian berempat. Aku sampai sekarang masih menunggu hasil dari perjalanan yang kalian restu. Maaf pula tak bisa bersama-sama kalian di hari ini. Aku rasa, ini bukanlah sesuatu yang kebetulan. Tak ada yang kebetulan. Segala sesuatu ada alasannya. Semua ini hanya untuk mengangkat harkat kita melebihi dewan Tuhan. Akan kupastikan perjalanan ini bagi kalian berempat.

Eh, apakah kalian ingin mendengarkan cerita tentang diriku? Walau hanya sedikit, tetapi aku ingin membagikan ceritaku ini kepada kalian. Hahaha…. Jadi malu aku. Sejujurnya aku sangat bahagia. Namun sekali-sekali tidak bisa kubendung perasaan, aneh, rusuh, yang hidup bertebaran di dalam hatiku. Tapi sudahlah, aku bisa mengatasinya.

Stt! Hei… Kalian mengenal Iaa, bukan? Di antara kalian, Syannet yang sudah melihatnya. Bagaimana Syannet, bagaimana perasaan dan penilaianmu? Iaa luarbiasa bukan?

Iaa perempuan yang sangat kucintai. Tak ada kalian, Iaa yang selalu menemaniku. Menjadi pemikirku. Dan satu tahun telah berlalu antara aku dan Iaa. Aku betul-betul mengetahui kalau hatiku sangat teramat mencintainya. Iaa bukan saja mamberi oksigen untuk mempertamba napasku. Namun parasnya, hatinya, pikirannya, membuat perkataan-perkataan nampak tak punya arti. Halus, lembut, dan mempesona. Bagai embun pagi yang kian berpelukkan bersama dedauan, Iaa menampilkan sikapnya kepadaku.

Semua yang kulalui nampak tenang. Dengan nada yang genit aku sering menghabiskan waktu bersama Iaa. Dan Iaa selalu melemparkan suaranya yang manja kepadaku. Hari-hari kemudian, aku akan memperkenalkannya kepada kalian berempat. Bagaimanapun juga, Iaa adalah aku. Iaa adalah napasku, sama seperti kalian.

Berkali-kali jalan di bawah kamarku ini sepi lagi tak ada orang lalu di situ. Cahaya bulan yang jatuh ke bumi seolah menari-nari pada waktu malam yang telah datang hari ini, tenang dan terang. Aku belum juga menyelesaikan surat ini. Tak tahu aku mengakhirinya.

Namun harus sampai di sini dulu. Sudah malam, dan aku belum bersiap-siap untuk menyambut Natal. Aku sangat mencintai kalian. Aku bermimpi, cahaya matahari akan kukantungi, dan bersama Iaa, aku akan bertemu kalian kembali. Bertemu di rumah yang pernah menaungiku dari panas dan hujan. Aku yakin, kalian akan memandangnya tak heran. Syannet, Zurisnya dengan senang hati kalian berdua akan bercerita-cerita bersama Iaa di atas tempat tidur. Sungguh keluargaku, aku sangat sayang padanya.

Tak ada kalimat-kalimat yang manis, yang hendak kukatakan untuk menggakhiri suratku ini. Namun Sang Hidup pembawa damai akan selalu bergelora mendampingi kita semua. Aku akan menyurati kalian kembali. Luc, selamat Natal. Engkaulah lelaki yang mendidikku dengan kata maupun dengan pukulan. Terima kasih, karena didikan itulah yang membuat aku masih berdiri tak retak. Selamat Natal Cristina. Engkaulah cinta pertamaku. Syannette dan Zurisya, selamat Natal kuucapkan kepada kalian berdua.

Ah, tangan-tangan yang lembut, keras, berurat, tak dapat lagi kupegang. Pelukan-pelukan yang manis sudah jauh, jauh sekali. Barterima kasihlah kepada bintang-bintang yang telah datang di malam ini. Berhamburan, saling bercerita dalam cinta dan damai!



Jogya, 24 Desember 2012
Aprino Berhitu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates