Halaman

Jumat, 01 Juni 2012

Anak versus Kurikulum


Persoalan membaca dan menulis atau katakanlah persoalan belajar merupakan salah satu hal yang cukup sulit diminati oleh generasi anak saat ini. Cenderung anak memilih duduk murung, mencari duit, bermain lepas ria atau menyimak serial film-film di TV hingga larut. Boleh ditambahkan lagi. Namun paling tidak, inilah sepenggal tampilan aktual dunia anak.

Gejala anak-anak saat ini dalam rana pendidikan boleh dikata memprihatinkan. Apalagi jika tak ada kebijaksanaan dari orangtua untuk mempertegas pembelajaran bagi anak-anaknya. Mungkin anggapan sebagian besar orangtua adalah menaruh harapan kepada sang guru. Memberi kepercayaan sepenuhnya bagi sang guru. Fenomena seperti ini sesungguhnya adalah kemandulan sistem belajar anak. Daya menumbuhkembangkan minat serta kreatifitas dalam cakrawala anak, stag. Belum lagi jika ditamba dengan minimnya kapasita guru. Selanjutnya, apa yang terjadi dengan sumber daya? Dijawab sendiri.

Tapi sebelum kita memutuskan baik atau buruknya pendidikan bagi anak, sebaiknya kita melihat secara bersama peran guru yang dipercayakan orangtua, lagi jayanya dinamika kurikulum. Ini hanyalah penilaian subjektif. Silahkan ditanggapi.

Kecendrungan para guru dalam melakoni pendidikan, menempatkan anak pada posisi yang terbawah. Anak dalam dunia pendidikan seringkali dijadikan sebagai peniru mutlak. Anak tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan kreatifitas mereka secara baik. Segala sesuatu yang disajikan kepada anak pada dasarnya harus sesuai dengan keinginan para guru, yang secara sistematis telah dibingkai dalam kurikulum.

Akhirnya anak yang berada pada posisi inferior harus mengalah dan mengikuti segala macam aturan yang diturunkan dan diperuntukkan bagi mereka. Pendidikan dalam skala ini berbau dehumanisasi, yang mana menghilangkan harkat anak sebagai manusia sejati. Dengan kata yang lain, pendidikan telah menjabik fitrah anak sebagai manusia sejati, sehingga keproaktifan anak sebagai manusia bebas, dipenjara, ditekan, bahkan cakrawala berpikir anak pun dibatasi. Yang lebih merisaukan adalah kecendrungan untuk merangkul anak dengan cara menjadikannya seperti orang lain, bukan diri mereka sendiri.

Dengan melihat peran pendidikan ini, maka bahaya pembengkokan kreatifitas dan atau kebebasan anak dalam bernalar berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya secara pribadi mesti dianggap sebagai kejahatan pendidikan. Guru mesti tahu bahwa, anak memiliki daya pemikiran tersendiri, anak memiliki sumber pengetahuan sendiri, dan kesemuannya itu tidak mesti diatur atau diberikan oleh guru semata. Anak mesti memperoleh kebebasan dalam pendidikan yang secara langsung akan membuat mereka merasa untung. Untuk itu, memikirkan sasaran-sasaran pendidikan berdasarkan konteks sosial harus ditumbuhkembangkan. Dalam hal ini, taraf sasaran-sasaran pendidikan harus bertumbuh dari harapan-harapan anak atas sekolahnya.

Di titik tertentu anak mesti terlibat dalam menentukan proses belajar mereka sendiri. Sebab, anak menginginkan lebih banyak tanggungjawab untuk menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana mempelajarinya.

Tetapi dari kesemuanya itu, toh sistem pendidikan yang mapan masih saja menempatkan anak sebagai pengikut kehendak, bukan penentu keputusan belajar-mengajar. Segala hal diturunkan dari atas ke bawah (top down), bukan dari bawah ke atas (bottom up). Pendidikan seperti diturunkan dari dewa, (entah siapa itu mereka yang secara sengaja menjadikan diri sebagai orang yang mahatahu) lantaran menganggap anak itu tak tahu apa-apa tentang hidup, alias masih bodoh secara mutlak. Peran pendidikan yang sesungguhnya akhirnya pun menjadi mandul, tak berjiwa, kaku dan lesu.

Semestinya peran demokratis itu dihadirkan secara tajam, melibatkan anak dalam menentukan sasaran pengajaran bidang studinya, anak mesti ada dalam memilih jenis-jenis kegiatan belajar, anak mesti diizinkan untuk saling mengajar sesamanya dan saling menilai. Tapi usaha ini mengalami jalan buntu, karena segalanya ditentukan oleh sang tiran.

Dari kemandulan pendidikan ini, maka waktu berjalan terus. Pohon telah berganti daun dan di mana-mana terasa mekarnya hidup baru pada setiap ranting-ranting waktu. Namun demikian, pendidikan seturut saya melangkahkan kaki di sekolah dasar hingga di perguruan tinggi tetap saja berjiwa tiran. Daya cipta serentak dimatikan.

Hal inilah yang merupakan faktor anak lebih memilih nonton TV hingga larut malam, atau bermain sepuasnya, mencari duit, ketimbang belajar mengembangkan kreatifitasnya. Karena mereka telah jenuh bertemu tirani seharian, mereka jenuh belajar banyak hal seharian yang mentoknya harus mengikuti kurikulum. Anak harus belajar dari matematika hingga bahasa inggris. Padahal jika hanya satu bidang saja yang ditekuninya dari kecil, maka bagaimana hingga dia dewasa nanti.

Anak tak perlu diberikan banyak pembelajaran, sebab toh mereka punya minat, penilaian serta pilihan pribadi terhadap pendidikan. Seperti misalnya anak harus menentukan satu buah lapangan, kemudian ia menelaah semua hal dalam lapangan itu. Dan dia pun terbatas hanya pada lapangan itu saja. Tak perlu menyajikan banyak lapangan atau banyak minat untuknya. Kerena kita dewasa ini pun hanya berkembang dalam satu minat. Bukan multiminat. Semisal, saya adalah lulusan hukum, jika dari kecil saya telah ditumbuhkembangkan hanya dengan belajar hukum, bagaimana dengan saya ketika dewasa? Atau bagaimana dengan diri saya ketika telah lulus dari sebuah lembaga universitas hukum? Hanya saja saya baru belajar hukum ketika keluar dari sekolah menengah atas.

Belum lagi jika berhadapan dengan sosok sang guru yang kurang bertanggungjawab, alias otoriter dalam menjalankan proses belajar mengajar. Inilah titik radikal yang termuat dalam pikiran saya untuk memandang bahwa anak versus kurikulum itu tak ada artinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates