Halaman

Senin, 14 Mei 2012

"Karaktermu"


Langit jernih, sejuk rasanya. Kebiruannya yang ditemani bintang menyelapkan kegelisahan dan duga-sangka. Ke mana mata ini diarahkan, diri sendiri juga yang nampak; depan, belakang, samping, seluruhnya. Hanya diri ini yang ada. Tak ada teman, tak ada pula cerita. Hanya saja musik setia menemani.

Begitulah keberadaanku pada sebuah malam sepi. Apa pun cerita hari esok, kesuksesan atau keceriaan tetap sama saja. Ketegangan hari esok, entah kecil atau besar akan membikin kau lelah. Tapi terpuaskan. Menduga-duga, esok itu seperti apa dirimu. Biarlah yang terjadi adalah kelancaran demi ketentraman hatimu.

Aku memanggilnya Iaa. Dan telah aku timbang, belum tentu benar tampilan Iaa di hadapan mata orang lain. Tapi bagiku, Iaa seterusnya benar. Aku bahkan lebih mempercayainya daripada mempercayai diriku sendiri. Hmm! Aku merasa kalau manusia itu selalu menepuk dadanya ketika berhasil. Namun sekiranya Iaa tidak seperti itu. Selayaknya ratu dari sang dewa. Biarlah engkau selalu bersahaja, jantungku.

Bulan sebentar lagi akan pergi dari atas atap bangunan yang sementara kunaungi. Dan betapa jauh jarak kita, Ambon-Jakarta. Mungkin ribuan mil jarak tempatku duduk dengan dirimu yang sedang tidur. Sudalah, biar perasaan rindu ini disimpan. Tak berani aku menyatakan perasaanku pada siapa pun. Selain dalam tulisan yang berspasi ini. Aku hanya ingin mengandai-andai; menakjubkan, menakjubkan, menakjubkan.

Iaa, lagu tentang karaktermu sebentar lagi akan dinyanyikan. Jika kau terbangun. Bergegaslah angkat sembahyang bagi “Tete yang Manis” itu. Lalu pergilah ke kamar mandi. Siramlah tubuhmu yang wangi dan halus. Kebaya masadepanmu tentu sudah disetrika dengan rapi oleh ibumu. Beliau telah menaruhnya di atas tempat tidurmu. Ketika engkau selesai memandikan tubuhmu, kenekanlah. Seterusnya ikatlah rambutmu seperti yang diajarkan oleh ayahmu. Engkau pasti mengetahui caranya agar ikatan rambutmu itu tetap kuat. Kuat seperti baja. Bukankah ikatan seperti baja itu yang diajarkan oleh ayahmu? Lalu riaslah wajahmu sedikit saja. Jangan terlalu banyak pegawetnya. Sebab pengawet tak berguna sedikitpun bagi pengusuhmu, ketika ia menyajikan santapan pagi. Nasi kuning.

Bergegaslah mengenakan sepatumu. Sudah sekian lama engkau telah berjalan dengan kaki telanjang mencari sepatu itu. Sepatu prestasi sekaligus keberhasilan. Jangan pernah engkau mencucurkan air mata di hari esok. Hari dimana kakimu akan melangkah menaiki podium wisudawan-wisudawati. Tak ada hak dirimu untuk meragukan hari-harimu. Jangan pernah bersedih cintaku. Esok adalah hari akhir sekaligus awal bagi dirimu menggapai cahaya. Kalau cahaya bulan itu seperti kelereng yang ceper. Cahaya yang menghampirimu adalah cahaya suci. Diturunkan langsung dari para dewa. kaulah sang pencarak cahaya. Pasanglah telingamu baik-baik. Dengarkanlah seruan selamat dari saudara kandungmu. Dia sangat menyayangimu.

Kemudian aku duduk diam-diam dengan memandang jauh – jauh sekali, dirimu yang manis. Berlutut, memelihara lidah sebelum menaikan syukur pada sang pemberi hidup. Bibirku mengeletar kering. Gigiku tak sempat disikat. Aku melangkah perlahan mendekati jiku tembok. Menyatukan jari-jari, siap hendak sembahyang. Lidah bernari dalam gelap mulut. Ucapan yang hanya patut didengarkan; maaf sekaligus terima kasih. Dan yang terhebat dari semua ucapan itu; sesuatu yang menyangkut azas hidup Iaa dan azas hidupku dalam kenyataan hari sekarang lagi esok. Aku sungguh mencintaimu, Iaa.

Kau aku selamanya bersama. Begitulah bibir merahmu berbisik kepadaku. Lalu degarlah bibirku yang bergetar ini berbisik kepadamu; Kekasiku, Sarjana Teknik yang akan kau kenakan itu bukanlah sebuah titel atau juga gelar. Itu adalah karaktermu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates