Sepatah Kata
Tulisan ini adalah tulisan yang diambil dari http://mardikabaru.wordpress.com, yang merupakan salah satu blog pribad saya. Hanya saja saya menuangkannya di sini, oleh sebab telah melakukan proses pegeditan terhadapnya. Dangan ada sedikit penambahan dan pengurangan. Tapi kiranya bisa bermanfaat bagi para pemuda di Maluku untuk memerangi keterpurukan yang silih berganti di negerinya.
Jalan-jalan ke Maluku
Suatu kenyataan objektif yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun ialah, andil dunia saat ini telah dan sedang berubah. Dalam pengertian bahwa, kita sedang hidup di dunia yang amat menantang, berubah dan senantiasa berubah. Dari dunia kuno ke dunia modern. Dari dunia yang memiliki individu-individu mulia namun sederhana ke dunia yang memiliki individu-individu sebagai dewa namun mengecewakan. Dari dunia yang saling menghargai ke dunia yang mengutamakan permusuhan yang terselip. Dunia multi-dimensional katakanlah seperti itu, namun penuh dengan konflik yang tak terbendung. Baik konflik sosial maupun konflik antarumat beragama. Itulah dunia kita saat ini yang dapat dikatakan begitu aneh dan sulit ditebak.
Dunia yang menggebu-gebu dengan kesetiakawanan sosial namun telah lelah dengan belas kasihan. Dunia yang maju dengan sains dan teknologi namun kosong dengan moral yang humanis. Inilah dunia kita yang pantas menyandang pertanyaan, apakah validitas kekuasaan tetap berlaku untuk selamanya?
Arus globalisasi sedang melanda dunia kita, dan Maluku tidak terkecuali. Maluku menghadapi bukan saja liberalisasi ekonomi, tetapi juga politik. Lebih dari itu, Maluku akan menghadapi transformasi budaya secara besar-besaran yang tidak mustahil akan mempengaruhi kehidupan budaya orang Maluku. Kehidupan sosial orang Maluku akan bergeser dengan cepat dan niscaya tidak terkendali. Moral kehidupan kita sebagai orang Maluku yang bersumber pada nasionalis Pancasila dan UUD 45 akan mengalami pukulan yang hebat. Hubungan Pela dan Gandong yang tidak mampu menjadi etika publik pun akan diseret ke dalam ruangan yang tidak berudarah. Dari hal ini maka, tentu saja kehidupan sosial dan kehidupan beragama kita mesti diperkuat selaku orang Maluku. Sebab, kejujuran untuk mempertahankan moralitas persaudaraan selaku orang Maluku paling tidak sangat bertumpuh pada kedua aspek tersebut, yakni agama dan kehidupan sosial yang tentunya bercorak majemuk.
Dalam pergerakan dunia yang semakin meningkat ini, penyakit-penyakit sosial di Maluku seperti, kemiskinan, korupsi, kolusi, nepotisme, seks bebas, pencurian, narkotika dan obat-obat terlarang, pengangguran, pemulung, fenomena anak jalanan, termasuk juga di dalamnya konflik, dan lain-lain, benar-benar mengejala dan selalu membuat pusing kepala. Tidak dapat dipungkiri bahwa, inilah kenyataan sosial yang sedang terjadi di bumi Maluku.
Namun demikian, barangkali penyakit-penyakit sosial seperti di atas ini bukanlah suatu hal yang sama sekali baru, tapi penyakit-penyakit sosial tersebut telah ada sejak kita tahu dengan sendirinya bahwa diri kita telah mengada dalam dunia ini. Tetapi lebih parah daripada itu, penyakit-penyakit sosial tersebut bukannya membaik namun lebih terpuruk sehingga Maluku telah mengalami krisis sosial yang memprihatinkan.
Salah satu di antara sekian banyaknya krisis sosial yang selalu menggejala di Maluku ialah, kemiskinan yang makin hari semakin meningkat angkanya. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam pemulung dan fenomena anak jalanan yang bertaburan liar di jalan-jalan dari pagi hari hingga petang, bahkan sampai malam hari.
Fenomena tersebut menampakkan, masyarakat Maluku belum mapan dalam kestabilan ekonomi. Kalau secara menyeluruh ekonomi masyarakat Maluku belum stabil, itu berarti indikasinya ialah, masyarakat Maluku masih ada dalam garis kemiskinan dan belum sejahterah. Memang benar tidak ada data satatistik yang digunakan di sini untuk membuktikan secara jelas keberadaan angka kemiskinan yang terjadi di Maluku. Tetapi perlu ditegaskan bahwa, esai ini tidak mengulas tentang data tersebut, namun esai ini secara prinsip ingin menuangkan secara riil kenyataan sosial dan agama yang sememntara terjadi di Maluku, terkhususnya di ibu kota Provinsinya, Ambon.
Bertolak dari realitas sosial Maluku seperti itu maka, pertanyaan mendasar yang ada dalam esai ini adalah, apakah realitas sosial seperti ini merupakan sebuah kenyataan yang tidak akan pernah berubah? Apakah realitas sosial di bumi Maluku seperti ini akan terus dan menerus berkelanjutan hingga mengalami stagnasi total? Suatu hal yang pasti dalam kepastian bahwa, kenyataan realitas sosial di bumi Maluku seperti ini bukanlah merupakan suatu keharusan. Jika suatu kenyataan menyimpang dari apa yang seharusnya, maka yang mesti dilakukan ialah perubahan terhadap kenyataan itu. Jika kenyataan Maluku ini miskin, jika kenyataan Maluku ini penuh dengan ratus bahkan ribuan pemulung, Maluku ini penuh dengan koruptor, Maluku ini sarat dengan narkotika dan obat-obat terlarang, Maluku ini ramai dengan anak jalanan, Maluku ini selalu diwarnai dengan pencurian, itu bukanlah suatu keharusan yang mesti terjadi di bumi ini (Maluku).
Lebih lanjut, corak kehidupan antarumat beragama di Maluku pasca konflik 1999 masih menyisakan perdebatan dan perlawanan yang begitu fundamental. Secara prinsipiil, orang-orang beragama di Maluku tidak lagi menganut sebuah kepercayaan yang utuh tentang cinta kasih terhadap yang satu dengan yang lainnya. Tetapi telah menganut kebencian dan kedendaman yang begitu tajam. Mengapa? Karena agama telah dipakai sebagai alat pemecah-belah yang berpotensi untuk menghancurkan. Agama telah dipakai sebagai alat sebuah proyek untuk memusnahkan solidaritas orang-orang di Maluku.
Hal ini tidak begitu terasa pada tataran para elit-elit rohaniawan di Maluku. Sebab, pada tataran itu agama disadari sebagai sebuah jalan untuk saling memberdayakan. Upaya-upaya untuk membangun dialog yang terbuka antarumat beragama di Maluku selalu di lakukan. Tetapi dialog tersebut hanya diikuti dan diketahui oleh para akademisi dan para elit rohaniawan.
Upaya untuk saling merusak dalam lingkup agama begitu terasa pada tataran masyarakat bawah di Maluku, dan pada tataran ini (masyarakat bawah di Maluku) sama sekali tidak ada yang namanya dialog. Kalaupun ada, itu hanya bersifat kamuflase belaka. Akhirnya, 11 September 2011 menjadi tanda bahwa, kebencihan masih bertepuk dada, dan Ambon-Maluku kembali di landahi konflik.
Masalah yang mesti dilihat murni tindakan kriminalitas, dibawa ke garis finis konflik massa, dan lebih jahat ketika agama harus menjadi tamengnya. Oleh karena itu, dari beberapa tahap khasus yang terjadi di Ambon pasca 19 Januari 1999 hingga 11 September 2011 kemarin seakan memberikan sudut pandang yang berkaitan dengan keyakinan yang berbaur secara keseluruhan, bahwa kebencian telah memerintah dan masih memerintah di Ambon, dan demikian akan berada dalam sejarah Ambon-Maluku.
Di samping itu, tolong jangan potong uraian saya bahwa, entah disengajakan, atau tidak disengaja, entah telah didisain, bahkan entah telah disiapkan, “maklumat perang” sepertinya secara diam-diam kembali dikeluarkan di tanah rempah-rempah ini.
Dalam setiap perjumpaan yang dilakukan, bagaimanapu juga begitu ber-“warna” permusuhan, pencacian, kecurigaan, kebencian, kedendaman, bahkan kamuflase belaka yang terlalu fundamental. Lebihnya lagi jika fanatik mencintai dan fanatik membenci antara setiap pemeluk agama masih begitu terasa di dalam setiap kepribadian. Keterbukaan yang makin berkembang terhadap kebaikan dan kebenaran yang terdapat dalam tradisi agama-agama dan tradisi manusia sebagai makhluk sosial semakin memburuk, padahal keterbukaan itu mesti memberi harapan bagi terbentuknya masyarakat Maluku yang cerdas, pro-aktif, produktif serta berpotensi untuk memerangi era baru saat ini.
Tetapi lebih jauh daripada itu, dan bagaimanapun juga mari kita simak esai berikutnya, agar barangkali bisa menemukan secercah harapan yang terpendam lama. Dan biarlah harapan itu dapat diwujudkan secara bersama untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik dalam rumah sosial dan agama kita di Maluku.
Maluku Dunia Kita
Kerukunan hidup umat beragama dalam realitas sosial bukanlah suatu hal yang baru sekali. Tapi merupakan karakter khas yang didambakan oleh setiap manusia yang menginginkan akan terwujudnya perdamaian yang sejati, yakni, perdamiaan akan perdamaian itu sendiri. Namun sekaligus juga membutuhkan perjuangan berat untuk mewujudkannya. Kemajemukan kehidupan sosial sekaligus beragama di Maluku mesti justru menekankan bahwa berteologi terutama harus mulai dari pengalaman kemanusiaan (humanis) bersama, yang sejatinya terbukti bercorak lintas agama. Dari sinilah, maka segala perjumpaan manusia beragama di Maluku mesti menuaikan perjumpaan yang berkarakter humanis, yang didasarkan atas prinsip-prinsip ideologi bersama, yakni pancasila, lagi Pela dan Gandong yang telah diyakini sebagai dasar dari kesatuan.
Dengan mengatakan bahwa konflik yang pernah terjadi di Maluku merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya krisis, maka sifat orang Maluku seperti kecerdasan membangun hubungan emosional antara satu dengan yang lainnya, dalam hal ini lintas etnis dan agama, dan sifat orang Maluku seperti berpotensi untuk saling memberdayakan telah retak.
Tetapi upaya untuk mempertanyakan siapa yang menyebabkan ini semua bukanlah substansi yang hendak diperdebatkan panjang pada bagian ini. Lebih dari itu, yang merupakan substansi sekaligus intisari tulisan pada bagian ini ialah bagaimana orang Maluku dapat memperbaiki keadaan mereka yang telah “emergency”, baik pada tatanan sosial maupun juga pada tatanan agamanya.
Dari hal ini, maka bagaimana peran pemuda di Maluku untuk bisa bersentuhan sekaligus menanganinya? Apakah pemuda Maluku adalah orang-orang yang berpotensi untuk menuntaskan masalah sosial yang terjadi di negerinya yakni, Maluku?
Sementara di satu sisi sebagian pemuda di Maluku masih terlelap dalam kesenangan pribadi yang menyesatkan. Sebagian pemuda di Maluku masih ada dalam ruang penyakit-penyakit sosial yang telah di katakan di bagian atas esai ini. Kontennya, sebagian pemuda di Maluku masih ada dalam dunia minuman keras. Narkotika dan obat-obat terlarang masih merupakan permainannya. Pemuda di Maluku masih bertahan dalam pengangguran yang hebat, pencurian, balapan liar yang tidak ada arah, dan sebagainya. Untuk menangani kepribadian pemuda saja begitu sulit, apalagi mesti menangani totalitas masalah di bumi Maluku ini.
Kemajuan dunia dan kemunduran pemuda di Maluku membuat upaya untuk merubah keyataan yang tidak mesti merupakan suatu keharusan semakin sulit. Untuk itu, pada tahap ini kunci bagi pemahaman yang benar agar orang Maluku dapat menuntaskan kenyataan di negerinya ialah, harus melakukan penetrasi pada setiap moral. Penetrasi pada moralitas orang Maluku bermuara pada pemberian pemahaman yang benar tentang pentingnya humanisasi. Namun, Maluku menderita karena perselisihan yang jelas, yang bisa disebut universal. Oleh karenanya, penetrasi pada setiap moral tidak cukup untuk memberikan kestabilan di bumi Maluku.
Keinginan-keinginan dan kecendrungan-kecendrungan alami dalam kesadaran mereka megalami ketidakpastian karena paradigma mereka telah berbeda, khususnya pemuda. Karenanya, memberikan paradigma bagi makhluk moral sebaiknya dimulai dari rohaninya. Kerohanian makhluk moral di Maluku tegasnya pemuda mesti diawali dari segi kepercayaannya pada Tuhan. Oleh sebab itu, berbicara mengenai pembenahan moral dari tingkat rohani harus memasuki lini agama atau teologinya. Sebagai manusia-manusia yang berketuhanan dan di dalamnya terdapat insan-insan yang berjiwa intelek, lagi bermoral, maka hal utama yang mesti direfleksi ialah memperdalam dan memperluas pengertian mengenai iman, kasih, hikmat, dan kemajemukan sebagai masyarakat Maluku, bagi tiap-tiap pemeluk agama yang begitu fundamental. Memaparkan secara baik hubungan antar agama-agama dan kekerasan bagi setiap manusia beragama, lagi melakukan upaya konservatif namun progresif sebagai ciri khas kehidupan sosial di bumi Maluku.
Melebihinya begitu subjektif hal yang ditawarkan ini, namun kiranya dapat membantu pemuda dalam memeranginya. Sebagai manusia yang berintelek, kita bisa memulainya dalam kehidupan keseharian kita. Jika berjumpa antar manusia yang tak seiman maupun seiman, kamuflase (kebohongan/kepura-puraan) biarlah ditinggalkan. Memang benar bahwa banyak sudah manusia yang peduli akan cinta dan kedamaian telah melakukannya, namun dalam pandangan mata serta nalar hal ini belum terselesaikan secara baik. Peta konflik masih terbentang luas bagi siapa saja yang mau berpetualangan di dalamnya.
Dalam keadaan-keadaan politik yang berubah-ubah, Maluku tentunya kekurangan kepercayaan akan masa depan di bidang sosialnya. Oleh karena itu, persatuan antar pemuda di Maluku (baik pemuda Kristen maupun pemuda Islam) mesti ditingkatkan, agar peta politik di Maluku turut ditentukan oleh pemuda. Pemuda mesti menistakan segala upaya untuk membangun nuansa politik yang nantinya tidak tertanggungjawab, dan kalau pemuda berani melakukannya itu berarti pemuda mesti siap untuk melahirkan gaya berpolitik yang demokratis, bertanggungjawab, serta menyentu dalam menjawab setiap kebutuhan masyarakat Maluku.
Hal ini pada kenyataannya ingin menegaskan bahwa, jika pemuda melakukan segala sesuatu yang mereka mampui untuk menghadirkan gerak politik menjadi yang lebih demokratis, baik dari segi kualitatif maupun kuantitatif, pemuda mesti percaya diri dalam pilihan progresifnya, tidak peduli apakah pemuda menang ataukah kalah dalam penegakan politik yang sesungguhnya. Tetapi inilah yang mesti menjadi cikalbakal pemikiran pemuda dalam kedudukan politik di Maluku. Sebab politik paling tidak, besar pengaruhnya untuk menentukan status sosial di Maluku, dan itu mutlak. Usaha pemuda untuk masuk dalam pemerintahan adalah sesuatu yang sah. Jadi, pemuda harus berada dalam struktur-struktur pemerintahan yang melayani segala elemen masyarakat, dan mengatasi sistem-sistem yang otoriter dan menciptakan kondisi-kondisi untuk pembuatan keputusan yang bersifat dilogis.
Juga, tidak ada alasan bagi pemuda Maluku untuk menyelesaikan karya yang mereka lakukan dalam bidang pengembangan profesi yang terus-menerus. Karya yang pemuda Maluku lakukan ini mesti didasarkan atas refleksi kritis tentang prakter humanisasi yang berkelimpahan. Di samping itu, perbaikan atau peningkatan yang dibutuhkan secara mendesak dalam hal mutu pemuda berkaitan dengan penghormatan yang besar pada tokoh-tokoh masyarakat yang telah berjuang gigih untuk melakukan perubahan sosial secara baik di bumi Maluku namun dimatikan oleh sebab status quo yang arogan. Inilah satu masalah yang krusial, yang mesti dituntaskan oleh pemuda Maluku. Namun demikian, ini bukan harus manjadi kendala, tetapi biarlah hal ini menjadi motifasi bagi pemuda untuk mendatangkan profetis di bumi pemberian Tuhan (Maluku).
Kemudian yang menjadi catatan penting adalah, tanpa kerendahan hati, pemuda tidak akan mudah untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, belajar keutamaan lain seperti, ketekunan, keuletan, atau kegigihan harus menjadi jiwa pemuda dalam perjuangan untuk mencapai impian barsama yakni, Maluku mutlak terlepas dari trali penjara kekrisisan sosial, yang dibingkai dalam konflik. Sebab, tidak ada provinsi yang tirani di bumi ini. Dengan demikian, pemuda mesti berjuang terus menerus, mulai dan mulai lagi demi mencapai kemerdekaan sosial.
Memperdebatkan dan menguraikan tentang perjalanan agama di Maluku merupakan pekerjaan yang keras sekaligus sulit. Oleh karenanya, esai ini hanya mencoba menjelaskan bagaimana keadaan orang-orang beragama di Maluku pasca konflik yang sejatinya telah dipaparkan permasalahannya di bagian atas esai ini. Di sini tentunya kita akan bersentuhan dengan gaya pemuda dalam menanganinya. Situasi yang melahirkan pemahaman orang beragama di Maluku telah bergesar dari esensinya. Soal sekitar kebencian, permusuhan, kecurigaan, kedendaman, bahkan kejahatan untuk saling manghancurkan, tentunya bertolakbelakang dengan kesalehan hidup beragama. Bersamaan dengan kesalehan hidup itu maka, visi untuk menegakan keadilan, kebenaran, dan cinta kasih menjadi intisari bagi pergerakan pemuda untuk memerangi masalah keagamaan di Maluku.
Mindset pemuda Maluku yang mencirikan kesalehan hidup mesti ada bersama masyarakat Maluku secara menyeluruh, dan kesalehan hidup itu mesti ada dalam bentuk-bentuk perlawanan terhadap kedurhakaan, kejahatan, bahkan kebejatan. Karena, bentuk-bentuk seperti itulah yang akan selalu menghancurkan kehidupan beragama di Maluku. Oleh karenanya, pemuda Maluku mesti menyediakan ruang untuk terjadinya dialog antarumat beragama di nagerinya. Upaya untuk menyediakan ruang itu harus diawali dengan perjumpaan-perjumpaan antarumat beragama. Sebab, bagaiman bisa berdialog kalau tidak pernah mengalami perjumpaan. Untuk itulah, setiap perjumpaan antarumat beragama harus didasari dengan kejujuran dalam membagikan pengalaman relegius. Berbagi pengalaman relegius tentunya menuju pada harapan bersama yakni, menata Maluku ke arah yang lebih baik. Lebih daripada itu, dialog tersebut mesti mengutamakan cinta kasih untuk bisa memahami secara mendalam hakikat masing-masing agama. Yang berikut dari dialog tersebut mesti tiba pada kesimpulan bersama yakni, setiap agama mengkehendaki adanya keinginan untuk saling menolong satu sama lain.
Dari hal-hal positif di antara segala segi negatif yang telah dituangkan dalam esai ini maka, pemuda Maluku tidak bisa tidak namun harus memulainya juga dengan bentuk yang santun serta yang mendasar dari semua itu adalah menghilangkan dehumanisasi dalam pemikiran setiap pemeluk agama di Maluku. Dengan demikian maka, hubungan antarumat beragama di Maluku mesti memahami kehadiran Tuhan dalam dirinya masing-masing agar, transformasi atau perubahan dapat terjadi di Maluku, yang memungkinkan pemulihan kembali perikemanusiaan orang-orang beragama di Maluku.
Yang terakir, situasi sosial di Maluku tentunya mempengaruhi keberadaan agama di Maluku, dan sebaliknya keberadaan agama di Maluku juga mempengaruhi kestabilan sosial di Maluku. Oleh karenanya, tindakan orang beragama di Maluku mesti memajukan keberadaan realitas sosial di Maluku. Keberadaan realitas sosial orang Maluku pada prinsipnya juga harus memajukan kebebasan masing-masing agama untuk menjalani kehidupannya, di samping menjaga kestabilan antara satu dengan yang lainnya, baik kestabilan sosial maupun beragama.
#Sekian dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar