Jumat, 27 Januari 2012
“LAPANG TELAH MENJADI KERDIL”
Masa kanak-kanak adalah sebuah masa yang sama sekali tidak mengenal lelah bagiku. Hari-hari yang dilalui sangat tidak asyik bila hanya diisi dengan belajar melulu. Kepatuhan pada kedua orang tuaku sudah pasti menjadi kunci dari kehidupan masa kanak-kanakku. Namun kadangkala kepatuhan itu, tak dihiraukan sedikitpun oleh aku. Bukan karena aku keras kepala, atau memberontak terhadap ayah, dan ibuku. Tapi semacam adanya perkembangan dari dalam diriku yang mengakibatkan sehingga arahan ke dua orang tuaku menjadi terkebelakang, jika dibandingkan dengan sejumlah permainan yang disajikan bagiku.
Hidup adalah bermain. Bukankah demikian? Semasa kecil, hampir separo hidupku hanya diisi dengan bermain. Bahkan bisa disebut bahwa aku adalah manusia bermain. Makanan pun telah memiliki ciri tersendiri bagiku. Dengan kata lain, ketika makan aku pun menjadikannya sebagai permainan yang menyenangkan. Masih ingatkah Anda saat menjadi anak kecil dulu? Pada saat menyantap makanan pasti Anda pernah disuap, entah oleh siapa. Silahkan dijawab sendiri. Tetapi yang ingin kutampilkan, di saat makan, makanan sering dijadikan permainan. Contohnya, sebuah sendok yang telah berisi makanan bisa menjadi pesawat terbang, yang berputar ke sana dan ke mari, setelah berputar-putar barulah dia di masukkan ke dalam mututku. Semua itu hanya ingin memberi kesan bahwa, aku sebagai anak memiliki dunia tersendiri, dunia yang penuh dengan permainan.
Permainan bisa merupakan sesuatu yang datang dari luar diriku, maupun sesuatu yang ada di dalam diriku. Permainan bisa diciptakan sendiri oleh aku, maupun diciptakan untuk aku. Sungguh duniaku adalah dunia bermain. Dan dalam setiap bentuk permainan yang kumainkan terdapat filosofinya masing-masing.
Namun demikian, semuanya itu hanya ingin menggambarkan diriku yang juga pernah menjadi seorang akan kecil. Bagiku, ketika pernah menjadi seorang anak kecil, selain halaman rumah, sebuah lapangan besar pasti akan memberikan kesan yang berbeda. Bagiku, kebebasan bisa di gapai dalam bentuk apa pun jika berada di atas sebuah lapangan yang besar. Juga dengan gagahnya aku dapat mengekspresikan diriku di atas lapangan tersebut. Dengan adanya lapangan kebersamaan bisa selalu terwujud dalam bentuk yang telah dijaleskan, bermain.
Sore ini aku hanya sekedar melangkahkan kakiku ke tempat di mana aku pernah ada bersama keceriaan. Dengan perlahan aku lalu melihat jejek yang telah punah ditelan konflik. Aku tahu, tak mungkin kenangan telanjang saat kecil dulu bisa kembali lagi. Namun setidaknya aku ingin mengembalikan sedikit memoriku untuk mengingt-ingat secercah kebahagiaan yang pernah ada di saat menjadi bocah.
Kemudian aku merapatkan diriku, menginjakkan kakiku di atas lapangan yang pernah menjadi ruang bermain. Aku hanya bisa berkata-kata kepada hatiku sendiri kalau di atas lapangan ini, aku pernah menendang bola dengan sekuat mungkin. Di atas lapangan ini, aku pernah berlari dengan cepat untuk merampas layang-layang yang berjatuhan bebas dari atas lagit biru. Dan di atas lapangan ini, aku pernah tertawa saat dikejar peluru dari tali kursi. Bahkan di atas lapangan ini, aku dan teman-temanku pernah berkelahi hingga terobeklah baju kami.
Tapi kini, aku hanya bisa mengenangnya. Mengenang semua kisah yang pernah terukir manis dua pulu tahun silam. Sekarang, di balik tembok yang hangus, aku hanya bisa melihat wajah bocah-bocah yang sungguh asing bagiku. Aku tak tahu dari mana asal mereka. Tapi apa yang sedang mereka lakukan di atas lapangan yang kian hari kian mengerdil, nyaris sama dengan apa yang pernah terjadi pada diriku dua puluh tahun lalu.
Sepertinya tak ada yang tersisa dari keceriaan yang mereka hempaskan di atas lapangan ini. Semuanya tak ada yang disembunyikan, selain kelamin mereka. Senyum, tawa, kemarahan, dikeluarkan dengan cuma-cuma, lalu persis dengan apa yang pernah menimpahi diriku dulu.
Akhirnya bermodal handphone sederhana, aku lalu mengumpulkan mereka untuk berfose sejenak. Kemudian aku hanya ingin mengukir sebuah puisi yang tak tahu hasilnya seperti apa. Namun kiranya puisi yang akan terbentuk ini bisa menyenangkan hatiku saat tak mampu menerima kenyataan pada kampung halamanku yang kian rapuh. Lalu barangkali puisi ini hanyalah seuntai curahan hatiku;
Melingkarkan cinta pada lapang seperti tak ada guna
mencari-cari sebutir kenangan hampir tak ditemukan
menuai penyesalan adalah jawaban yang kejam
teriakan tolong seakan tak pernah didegar
Lalu senja berlari, ia berlari pergi dan tak kembali lagi
dari kejahuan aku menatap dengan tajam lapang yang kian mengerdil
dengan keringat yang bercucuran di seluruh tubuh aku duduk tersenyum lalu marah,
tersenyum kepada bocah liar tak dikenal, lalu marah pada kekejaman jiwa yang tak memiliki setetes kebaikan.
Dua puluh tahun yang lalu, becekkan pada lapangan ini pernah membasahi tubuh mungil
bebatuan yang tertanam tak berudara di atasnya pernah mecederai lutut hingga terluka
dua akar kering pernah menikam perutnya hingga menjadi tiang gawang,
ya! dan dua puluh tahun yang lalu, di atas lapangan ini ratusan musim permainan mengores setiap jiwa bocah-bocah yang berdiri liar.
Namun kini, puluhan ribu kenangan bocahku telah engkau hilangkan
engkau menggantikannya dengan syair dari para bocah-bocah yang begitu asing
dengan kepala tertunduk seperti orang yang hendak dijatuhi hukuman mati aku hanya terdiam!
Hai Halong-Mardika… apakah engkau masih kuat berdiri di bawah kejamnya mentari?
sungguh engkau adalah aku…. Aku yang gelisa melihatmu semakin mengerucut kerdil.
“Lapang Telah Menjadi Kerdil”; Halong-Mardika, 27 Januari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar