Karakter khas kemajemukan kehidupan beragama di Indonesia [Maluku] justru menekankan bahwa berteologi terutama harus mulai dari pengalaman sejarah dan humanis bersama, yang sejatinya terbukti bercorak lintas agama. Kemerdekaan tahun 1945 dari belenggu penjajah tidak bisa dipagari sebagai bagian dari pengalaman satu agama saja. Bahkan, seluruh agama yang berada di Indonesia (Maluku) mesti memaknainya dan meresponinya sebagai bagian dari perjuangan agamanya masing-masing.
Dari sinilah, maka segala perjumpaan manusia beragama di Indonesia [Maluku] mesti menuikan perjumpaan yang berkarakter humanis, yang di dasarkan atas prinsip-prinsip ideologi bersama, yakni pancasila. Namun, dalam pergerakan zaman global yang semakin menerawang, perjumpaan itu begitu berwarna permusuhan, pencacian, konflik, kecurigaan, kebencian, dll, yang terlalu fundamental antar agama.
Namun sepertinya hal ini tidak begitu kelihatan di atas permukaan, dia terselip dalam kemunafikan tiap pemeluk agama, tetapi ketika kita sebagai pemerhati mampu melakukan penetrasi ke dalam, maka begitu jelas akan warna itu.
Memang benar bahwa konflik antaragama masih akan berpotensi untuk menonjolkan dadanya di bumi Indonesia [Maluku] karena permusuhan, pencacian, kecurigaan, kebencian antaragama itu selalu bertepuk dada, menerawang ke sana ke mari dalam diri manusia beragama.
Keterbukaan yang makin berkembang terhadap kebaikan dan kebenaran yang terdapat dalam tradisi agama-agama semakin memburuk, padahal keterbukaan itu mesti memberi harapan bagi terbentuknya masyarakat Indonesia [Maluku] yang cerdas, pro-aktif, produktif dalam memerangi era baru saat ini. Belum lagi jika tiap agama mengklaim bahwa agamanya yang paling benar serta agamanya yang begitu utama dalam memajukan bangsa (Maluku) ini. Maju, Apa iya?
Dari sini, di manakah watak mendasar GMKI sebagai gerakan yang katanya progresif dalam melakukan pemersatuan? Sebagai gerakan yang empunya Tuhan di manakah peran GMKI untuk melakukan pemulihan terhadap hal ini? Apakah tetap tenang dan termenung saja menyaksikan permususuhan, pencacian, kecurigaan serta kebencian antar agama yang mutlak sebagai penduduk Indonesia (Maluku)? Ataukah mesti melakukan praksis terhadapnya?
GMKI mesti melakukan refleksi dan aksi [praksis] terhadap kemanusiaan antaragama di bumi Indonesia [Maluku] ini. Ketika GMKI mampu melakukan praksis, itu berarti GMKI ada dalam pilihan. Pilihan yang GMKI lakukan mesti bermuara pada kolektifitas manusia bukan subjektifitas. Ketika GMKI memilih untuk melakukan praksis, itu berarti yang GMKI pilih ialah, menjunjung tinggi nilai-nilai kemunusiaan sebagai penduduk Indonesi [Maluku], bukan yang lain. Lalu, apa praksis yang GMKI pilih itu? Refleksi atau pemikiran kritis apa yang mesti diperbincangkan oleh GMKI? Untuk melahirkan aksi seperti apa?
Begitu subjektif hal yang ditawarkan ini, namun kiranya dapat membantu GMKI dalam memeranginya. Sebagai gerakan yang berketuhanan dan di dalamnya terdapat insan-insan yang berjiwa intelek, lagi bermoral, maka hal utama yang mesti direfleksikan dan melakukan aksi terhadapnya ialah, memperdalam dan memperluas pengertian mengenai iman, kasih, hikmat, dan kemajemukkan sebagai penduduk Indonesia [Maluku], bagi tiap-tiap pemeluk agama yang begitu fundamental. Memaparkan secara ekstensif hubungan antar agama-agama dan kekerasan bagi setiap manusia beragama. Barangkali hal ini begitu sulit dilakukan, tetapi sebagai manusia yang berintelek, kita bisa memulainya dalam kehidupan keseharian kita. Jika berjumpa antar manusia yang tak seiman maupun seiman, kamuflase biarlah ditinggalkan. Hadirkanlah diolog kehidupan, yang mana saling berbagi tradisi religios, berfokus pada tindakan dalam masyarakat untuk keadilan sosial, pembangunan dan pembebasan.
Lebih jauh dari itu, mungkin yang paling mendesak adalah perlunya kerja sama antar agama-agama di Maluku dan kesediaan untuk saling belajar dari yang lain dalam menjawab krisis dilingkungannya [Maluku], seperti kekerasan, kemiskinan, pembangunan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan ekologi. Ini hanyalah salah satu di antara sekian banyaknya praksis itu, yang dapat dipikirkan dan dapat diterapkan secara bersama.
Memang benar bahwa, banyak sudah manusia yang peduli akan cinta dan kedamaian telah melakukannya, namun dalam pandangan mata serta nalar saya hal ini belum terselesaikan secara baik. Peta konflik masih terbentang luas bagi siapa saja yang mau berpetualangan di dalamnya.
Kekritisan, kritikan, tanggapan terhadap tulisan yang serba mini ini terbuka luas bagi siapa saja, demi memperoleh suatu pandangan hidup yang manusiawi dalam pluralitas agama di Indonesia [Maluku].
Untuk sang jenius [GMKI].
Salam damai!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar